Barangkali kau takkan percaya bila kukatakan bahwa di pantai ada magnit
bernama "senja". Tapi begitulah adanya. Senja itu selalu
menarik-narik diriku seperti magnit besar menarik batang-batang besi. Aku
selalu harus ke sana, mengunjungi pantai itu, setiap senja. Jangan tanya daya
tarik apa yang membuatku datang ke sana, aku takkan bisa menjawabnya. Senja
itu... ya, mungkin senja itulah semata-mata yang menarikku datang ke sana.
Semburat langit jingga di ufuk barat, dan matahari yang bulat merah
besar bagaikan mata iblis di kaki langit itu, selalu membuatku terpana. Ada
perasaan ganjil yang timbul setiap kali kumemandangnya, perasaan seperti
menjadi saksi berakhirnya dunia fana ini. Seakan bukan hanya matahari,
melainkan seluruh alam semesta, akan segera tenggelam dalam kegelapan malam.
Dan kita tak pernah tahu, kengerian apa yang menunggu di balik kegelapan itu.
Ombak di pantai... bagiku selalu tampak bagai iringan gadis-gadis
penari. Mereka tampak begitu menggemaskan. Lambaian tangannya seolah
memanggil-manggil diriku untuk ikut menari bersama mereka. Dan lautan yang luas
membentang di belakangnya... pun menawarkan petualangan indah tanpa batas
bersama penari-penari itu. Bila saja kubiarkan anganku bertualang sebegitu
jauh, pasti aku telah menceburkan diriku ke dalam barisan ombak itu, dan
membiarkan mereka membawa tubuhku entah ke mana.
Dan angin pantai di senja hari selalu menjadi bagian yang paling
kurindukan. Angin yang sejuk. Tapi bukan karena itu aku menyukainya. Sensasinya
berbeda dengan angin yang berhembus dari kipas angin listrik di dalam kedaiku.
Aku suka menikmati angin senja itu berlama-lama, membiarkannya merusak sisiran
rambutku hingga acak-acakan. Dan aku suka melihatnya meniup layar perahu-perahu
nelayan, hingga jauh ke tengah laut. Aku suka memikirkan bahwa mereka akan
setia menemani para nelayan mencari ikan, untuk penghidupan sanak-keluarga yang
menunggunya di rumah, hingga tiba waktu pagi ketika mereka akan meniup
perahu-perahu nelayan itu kembali ke pantai.
Mungkin burung-burung camar itu sudah hafal dengan kebiasaanku. Setiap
aku datang, mereka ribut menyapaku. Beberapa di antaranya terbang
berputar-putar di sepanjang garis pantai, mempersembahkan tarian selamat datang
padaku. Untuk tiap senja yang berbeda, tarian mereka juga berbeda. Aku takjub
melihat begitu kreatifnya mereka. Bagaimana mereka bisa menciptakan tarian baru
setiap hari? Ck ck ck... aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Pohon kelapa tua itu selalu mengangguk-angguk bila melihatku datang,
lalu mempersilahkan aku menyandarkan punggung di batangnya yang renta. Sebagai
makhluk yang sama-sama beranjak tua, sepertinya kami saling mengenal dari hati
ke hati. Dia juga teman mengobrol yang paling menyenangkan. Tak pernah
membantah. Tak pernah mencela. Ia hanya mengangguk-angguk mendengar segala
curahan hatiku, yang kutuangkan padanya setiap senja. Tak pernah bosan.
Setiap menjelang senja, jam empat sore, aku buru-buru menutup kedaiku.
Jangan coba-coba datang untuk membeli sesuatu di kedaiku pada jam itu, karena
aku pasti akan mengusirmu. Aku tak mau terlambat berangkat ke pantai. Aku akan
selalu mengayuh sepeda tuaku, menembus kemacetan jalanan, secepat yang aku
bisa. Dan aku tidak pernah terlambat tiba. Begitulah, seolah sudah menjadi
semacam ritual bagiku, untuk selalu menemani pantai ini melewati senjanya.
Takkan kubiarkan dia melaluinya dalam kesendirian. Seolah ada perjanjian tidak
tertulis di antara kami, untuk selalu bersama saat senja datang menyelimuti,
hingga malam menelan kami ke dalam kegelapan.
MALANG
06/09/2012
Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar