7.1.13

Senja di Pantai



Barangkali kau takkan percaya bila kukatakan bahwa di pantai ada magnit bernama "senja". Tapi begitulah adanya. Senja itu selalu menarik-narik diriku seperti magnit besar menarik batang-batang besi. Aku selalu harus ke sana, mengunjungi pantai itu, setiap senja. Jangan tanya daya tarik apa yang membuatku datang ke sana, aku takkan bisa menjawabnya. Senja itu... ya, mungkin senja itulah semata-mata yang menarikku datang ke sana.

Semburat langit jingga di ufuk barat, dan matahari yang bulat merah besar bagaikan mata iblis di kaki langit itu, selalu membuatku terpana. Ada perasaan ganjil yang timbul setiap kali kumemandangnya, perasaan seperti menjadi saksi berakhirnya dunia fana ini. Seakan bukan hanya matahari, melainkan seluruh alam semesta, akan segera tenggelam dalam kegelapan malam. Dan kita tak pernah tahu, kengerian apa yang menunggu di balik kegelapan itu.
Ombak di pantai... bagiku selalu tampak bagai iringan gadis-gadis penari. Mereka tampak begitu menggemaskan. Lambaian tangannya seolah memanggil-manggil diriku untuk ikut menari bersama mereka. Dan lautan yang luas membentang di belakangnya... pun menawarkan petualangan indah tanpa batas bersama penari-penari itu. Bila saja kubiarkan anganku bertualang sebegitu jauh, pasti aku telah menceburkan diriku ke dalam barisan ombak itu, dan membiarkan mereka membawa tubuhku entah ke mana.
Dan angin pantai di senja hari selalu menjadi bagian yang paling kurindukan. Angin yang sejuk. Tapi bukan karena itu aku menyukainya. Sensasinya berbeda dengan angin yang berhembus dari kipas angin listrik di dalam kedaiku. Aku suka menikmati angin senja itu berlama-lama, membiarkannya merusak sisiran rambutku hingga acak-acakan. Dan aku suka melihatnya meniup layar perahu-perahu nelayan, hingga jauh ke tengah laut. Aku suka memikirkan bahwa mereka akan setia menemani para nelayan mencari ikan, untuk penghidupan sanak-keluarga yang menunggunya di rumah, hingga tiba waktu pagi ketika mereka akan meniup perahu-perahu nelayan itu kembali ke pantai.
Mungkin burung-burung camar itu sudah hafal dengan kebiasaanku. Setiap aku datang, mereka ribut menyapaku. Beberapa di antaranya terbang berputar-putar di sepanjang garis pantai, mempersembahkan tarian selamat datang padaku. Untuk tiap senja yang berbeda, tarian mereka juga berbeda. Aku takjub melihat begitu kreatifnya mereka. Bagaimana mereka bisa menciptakan tarian baru setiap hari? Ck ck ck... aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Pohon kelapa tua itu selalu mengangguk-angguk bila melihatku datang, lalu mempersilahkan aku menyandarkan punggung di batangnya yang renta. Sebagai makhluk yang sama-sama beranjak tua, sepertinya kami saling mengenal dari hati ke hati. Dia juga teman mengobrol yang paling menyenangkan. Tak pernah membantah. Tak pernah mencela. Ia hanya mengangguk-angguk mendengar segala curahan hatiku, yang kutuangkan padanya setiap senja. Tak pernah bosan.
Setiap menjelang senja, jam empat sore, aku buru-buru menutup kedaiku. Jangan coba-coba datang untuk membeli sesuatu di kedaiku pada jam itu, karena aku pasti akan mengusirmu. Aku tak mau terlambat berangkat ke pantai. Aku akan selalu mengayuh sepeda tuaku, menembus kemacetan jalanan, secepat yang aku bisa. Dan aku tidak pernah terlambat tiba. Begitulah, seolah sudah menjadi semacam ritual bagiku, untuk selalu menemani pantai ini melewati senjanya. Takkan kubiarkan dia melaluinya dalam kesendirian. Seolah ada perjanjian tidak tertulis di antara kami, untuk selalu bersama saat senja datang menyelimuti, hingga malam menelan kami ke dalam kegelapan.

MALANG 06/09/2012
Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar