26.10.13

Rembulan di Tepian Lematang (Bag. 3)





Malam purnama, di puncak malam. Bulan yang telanjang bulat bersimpuh di serambi langit, bercermin di permukaan Sungai Lematang yang mengalir tenang. Percikan cahayanya membuat permukaan sungai berpendar keperak-perakan dalam temaramnya malam. Ikan dan udang berbondong-bondong mendekat ke per-mukaan, tak ingin melewatkan gelar cahaya purnama yang tak datang setiap malam itu.

Mat Sudi menebarkan jala dengan riang. Malam ini ia mendapat tangkapan lebih banyak daripada biasanya. Ah, seandai-nya tiap malam adalah malam purnama, pikirnya. Atau seandainya bumi mempunyai dua, tiga, atau empat bulan. Masing-masing bergiliran menggelar malam purnama...

Sesekali ia mengerlingkan sudut matanya ke suatu arah di kejauhan. Ke arah bayangan seseorang yang sedang berdiri di tepian sungai, mematung sepanjang malam. Malam ini, untuk ke-sekian kalinya sejak beberapa malam yang lalu, bayangan laki-laki itu selalu hadir di situ. Berdiri tengadah, menatap bulan.

Malam makin larut, makin banyak ikan dan udang me-menuhi biduknya. Mat Sudi makin bersemangat menebarkan jala. Ia tak ingat lagi untuk sesekali menengok ke arah Harun dan mengawasi tingkah lakunya. Ketika rasa lelahnya mulai datang, ia merebahkan diri di lantai biduknya. Menatap langit malam, ia me-lihat bulan purnama yang beranjak makin tinggi. Entah kenapa, tiba-tiba ada sesuatu mengusik hatinya, mengetuk pintu memori-nya. Ia teringat akan cerita lama itu. Ya, “malam itu” adalah malam purnama. Malam jahanam “itu” ketika segala bencana ini berawal, adalah malam purnama seperti ini. Ketika itu, semua makhluk air keluar dari dasar sungai dan berpesta-pora di permukaan sungai.

Ingatan itu serta-merta membuatnya kembali menengok ke arah tepian sungai, ke tempat Harun berdiri mematung. Tapi laki-laki itu, yang tadi ada di sana seperti malam-malam sebelumnya, kini tak ada lagi. Ah, mungkin dia sudah bosan berdiri terus di situ, pikir Mat Sudi menenangkan hati. Tapi rasa gelisah dan penasaran membuatnya menepikan biduk ke sana.

Di tepian sungai, yang tadinya ia lihat Harun berdiri di situ, Mat Sudi menengok kesana-kemari, tapi tak tampak siapa-siapa. Suasana sunyi-senyap, hanya ada bunyi desau angin dan sesekali lenguhan burung malam. Malam bermandikan cahaya bulan dan langit bersih dari gumpalan awan. Itu membantunya untuk melihat dengan jelas. Tapi ia tak melihat siapapun di situ. Ah mungkin dia sudah pulang ke pondoknya, pikirnya lagi. Sesaat pikiran itu menenangkan hatinya. Tapi kemudian ia melihat sesuatu yang tak ingin dilihatnya: Jejak-jejak kaki seseorang.

Jejak itu bermula dari bawah sebatang pohon balam, lalu berjalan mengarah ke sungai. Jelas menandakan bahwa pemilik jejak berjalan terus hingga ke tengah sungai, dan tidak ada jejak lain yang menandakan ia telah kembali ke darat. 

“Haruuunn!! Haruuunn!!” teriakan Mat Sudi menggema di sudut-sudut malam. Tak ada jawaban. Teriakan-teriakan itu pun lenyap bersama desau angin.  

Dini hari. Dusun di tepian Sungai Lematang itu belum lagi terlepas dari dekapan dinginnya malam ketika kehebohan baru pecah. Seisi dusun gempar. Biduk-biduk diturunkan. Para pendayung mengaduk-aduk setiap jengkal permukaan sungai. Regu-regu pencari berjalan menyusuri kedua sisi sungai, hingga beberapa kilometer ke hilir. Namun hingga tiga hari berlalu, Harun tak juga ditemukan. Jazadnya, kalau memang ia tenggelam, tak pernah muncul lagi ke permukaan.

Penduduk dusun umumnya mengira bahwa ia telah kembali ke tempat asalnya, di kegelapan sungai. Sebagian lain mengatakan bahwa ia telah dijemput oleh perempuan misterius yang telah dikawininya itu. Ada sekelompok kecil laki-laki yang sangat yakin bahwa perempuan itulah sebenarnya antu ayek. (*)


antu ayek = hantu air.

Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN

 

Rembulan di Tepian Lematang (Bag. 2)





Komentar-komentar kembali bersahutan sambung-menyambung. Teori-teori baru bermunculan. Teori-teori lama dibantah oleh para pengusungnya sendiri. Kali ini “teori hantu” mendapat goyang-an hebat. Banyak orang bergeser ke “teori akal sehat”, termasuk kaum perempuan yang mulai meragukan teorinya sendiri. Tapi kaum laki-laki, yang semula mengusung teori akal sehat itu, malah jadi ketakutan sendiri. Teori sensitif itu telah menerbitkan keresahan baru yang meluas ke seluruh penjuru dusun.

Setiap perempuan lantas memandang ke arah laki-laki di dekatnya masing-masing. Istri memandang suaminya. Ibu meman-dang anak laki-lakinya. Anak perempuan memandang bapaknya. Gadis memandang pemuda pujaannya. Saudara perempuan me-mandang saudara laki-lakinya. Yang tidak dekat dengan laki-laki memandang tetangganya yang laki-laki. Yang tidak punya tetangga laki-laki memandang ke jalanan, siapa tahu ada laki-laki lewat.


Pandangan itu adalah pandangan yang maknanya kurang-lebih adalah campuran dari kaget, marah, curiga, menuduh, penasaran, kesal, ragu-ragu, berharap bukan..., dan banyak lagi jenis-jenis perasaan yang tidak ada terjemahannya dalam bentuk kata-kata. Kelanjutan dari pandangan itu adalah konsekuensi yang harus diterima oleh laki-laki yang dipandangnya. Bagi sebagian laki-laki, konsekuensi itu terasa mengerikan. Untuk bisa terlepas dari konsekuensi itu, mereka harus mengajukan satu “alibi”. Artinya, mereka harus bisa menyebutkan di mana dan sedang apa mereka pada “malam itu” kira-kira tiga bulan yang lalu.


Laki-laki yang beristri berusaha mengingatkan istrinya bahwa “malam itu” mereka berdua sedang bersama-sama melaku-kan sesuatu, yang kebanyakan perempuan tidak ingat tentang hal itu. Laki-laki yang bujangan mengingatkan bahwa ibunyalah yang menggembok pintu rumah, dan menyembunyikan kuncinya, hingga ia tak bisa keluar rumah “malam itu”. Laki-laki yang merasa dipan-dangi oleh tetangganya akan menutup pintu dan menempelkan tulisan SEDANG DI RUMAH “MALAM ITU”. Laki-laki yang merasa dipandangi orang saat sedang lewat di jalanan akan menghardik... HEY, AKU SEDANG DI RUMAH BERSAMA ISTRIKU MALAM ITU! KALAU MAU TAHU APA YANG KULAKUKAN DI RUMAH TIAP MALAM, DATANGLAH NANTI MALAM. AKU TIDAK AKAN MENUTUP JENDELA... PUAS?!


Kebanyakan laki-laki di dusun itu kehidupannya berputar rutin. Seperti bulan mengelilingi bumi. Tak terlalu sulit bagi mereka untuk mendapatkan alibinya masing-masing. Kecuali pedagang kain itu! Hampir saja ia dihakimi massa karena lupa di mana ia berada pada “malam itu” tiga bulan yang lalu. Hampir saja, kalau orang tidak menarik bajunya hingga sakunya robek. Hampir saja, kalau tidak tersembul sobekan karcis bioskop yang sudah kusut itu dari sakunya. Walau kusut tapi masih terbaca cap tanggalnya: tanggal malam itu! Astaga... orang-orang menggeleng-gelengkan kepala, ngeri membayangkan apa yang akan terjadi pada laki-laki itu bila tidak ditemukan karcis itu. Untungnya, pedagang kain itu belum mencuci bajunya sejak tiga bulan yang lalu, sehingga karcis itu masih terbaca walaupun kusut. Seandainya ia mencucinya bajunya pasti karcis itu... hhh! Sejak saat itu si pedagang kain tidak pernah mencuci baju hingga akhir hayatnya.


Semua laki-laki sudah mengemukakan alibinya masing-masing. Semua? Hmm... tapi ada satu orang yang belum. Siapa? Kepala Dusun! Tidak ada satu pun perempuan dekat yang meman-dangnya. Istrinya sudah meninggal enam bulan yang lalu. Anak perempuannya sudah menikah dan ikut suaminya di dusun lain yang jauh. Menantu perempuannya... terlalu sibuk memelototi suaminya sendiri. Tidak ada orang yang tahu di mana dan sedang apa dia “malam itu”. Lambat-laun desas-desus mulai berhembus semilir. Desas-desus yang dibisikkan dari mulut ke telinga (baru ke mulut lagi) dari balik dinding-dinding papan rumah warga. Tapi desas-desus itu tetaplah menjadi desas-desus. Tidak ada yang berani memandang, apalagi bertanya, pada pemegang kuasa tunggal pemerintahan dusun itu.


Entah karena dinding papan itu bertelinga. Entah karena wajah warga dusun selalu menampakkan gurat-gurat penasaran terpendam. Sepertinya, kepala dusun itu merasa harus memberikan penjelasan, disertai tindakan. Ia harus memastikan tidak ada keragu-raguan yang meresahkan masyarakat. Maka, pada suatu sore yang kelam, kentongan tanda panggilan berkumpul ditabuh orang bertalu-talu. Ketika itu penduduk dusun umumnya baru pulang dari ladang. Namun, sebagaimana diinstrusikan, warga dengan cepat berkumpul di halaman rumah orang tua gadis itu. Kepala dusun itu berdiri tegap di tangga rumah panggung. Di pinggangnya terselip keris pusaka adat dusun mereka.


“Sudah sepakat seluruh tetua kampung kita...,” ucap kepala dusun dengan tegas dan lantang. Orang-orang yang merasa dirinya tua menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat-lihat sesama orang tua. Lalu keheranan, mengapa dirinya tidak tahu bahwa ada kesepakat-an di antara orang-orang tua.


“Jelas dan nyata, apa yang terjadi di kampung ini telah membahayakan kita semua!” Semua orang yang hadir di situ saling memandang. 


“Seperti kita ketahui, perempuan ini...,” Kepala dusun me-nunjuk ke pintu rumah gadis itu. “Telah dihamili oleh hantu air! Bisakah saudara-saudara membayangkan?” Semua yang hadir di situ melirik ke atas, berusaha membayangkan sesuatu.


“Bagaimana bila di kampung kita lahir anak hantu air?” Yang tadinya melirik ke atas lalu memejamkan mata, tapi belum juga menemukan bayangan yang diperintahkan oleh kepala dusun.


“Saya yakin, saudara-saudara tidak ada yang lupa apa yang diceritakan oleh tetua-tetua kita, petuah dari leluhur nenek moyang kita....” Semua yang hadir membuka mata. Mengernyitkan dahi. Berusaha mengingat sesuatu.


“Lahirnya anak hantu air di suatu kampung akan membawa bencana dan kesialan bagi penduduk kampung itu!” Kepala dusun itu berteriak lantang. Semua mata terbelalak.


“Walaupun berat bagi saya memutuskan ini, tapi demi ke-selamatan seluruh penduduk kampung....” Kepala dusun itu me-ngedarkan pandangan ke arah wajah-wajah warga yang hadir. Ia mengangguk-angguk melihat seluruh wajah itu memucat dalam ketakutan. Mata-mata itu nanar dicekam kebingungan.


“Saya putuskan perempuan ini harus dienyahkan dari dusun kita!”


Sesaat semua terdiam. Hanya lirih terdengar desau angin senja mendesis pelan.
Tiba-tiba pecah raungan seorang perempuan, ibu gadis itu, menghiba-hiba sambil bersujud dan menarik-narik kaki kepala dusun. Di sebelahnya berdiri mematung sang ayah. Matanya me-nyala oleh kegeraman. Tapi bagian wajahnya yang lain membeku dalam ketakutan. Tidak ada bagian tubuhnya yang bergerak, kecuali jari-jari tangannya yang gemetar.   

Keputusan kepala dusun tidak bisa dihapuskan oleh raungan seorang ibu semata. Keputusan itu sudah
inkracht alias berkekuatan hukum tetap. Dialah penguasa tunggal di dusun itu. Tak satupun warga berani menentang, karena akan dicap membahayakan kese-lamatan warga. Segala simpang-siur pendapat mengenai kejadian itu usai sudah. Yang harus dianut sekarang adalah interpretasi tunggal dari kepala dusun. Sudah cukup jelas dan lengkap. Tindakan yang diambil juga tegas dan meyakinkan. Segala keraguan yang semula meresahkan penghuni dusun telah musnah sama sekali.

Dalam naungan senja temaram, gadis itu berjalan ter-sandung-sandung. Penglihatannya kabur oleh genangan air mata yang tak henti berderai. Ia membawa buntalan bajunya, juga buntalan entah berisi apa di perutnya, menuju sebuah pondok di tepi sungai. Jauh, di luar dusun. Pondok yang semula adalah tempat menumpuk bongkahan karet. Tempat para penyadap karet melepas lelah sejenak di siang bolong yang panas. Pondok yang papan-papannya rapuh dan berlubang-lubang. Atap rumbianya tidak rapat lagi, sebagian telah hancur dan hilang tertiup angin.


Apa yang terjadi beberapa bulan kemudian di dalam pondok itu hanyalah kabar angin. Konon, seorang dukun beranak menolong kelahiran bayi dalam pondok itu. Pada malam bulan purnama. Saat kepala bayi hampir keluar, tiba-tiba angin berhembus sangat ken-cang. Api lampu minyak dalam pondok itu pun padam. Ruangan dalam pondok menjadi remang-remang, hanya disinari cahaya bulan yang menembus sela-sela atap rumbia. Dukun tua yang nyaris buta itu menarik kepala sang bayi dalam kegelapan. Kemudian ia mendengar suara tangis keras yang aneh, tidak seperti bayi pada umumnya. Dengan meraba-raba ia membawa bayi itu ke bagian pondok yang agak terang. Dan ketika cahaya bulan yang menerobos sela-sela atap serta lubang di dinding papan menimpa wajah bayi itu, dukun tua itu menjerit ketakutan!    


Bayi sumbing itu, sampai dewasa tetaplah sumbing. Bahkan, makin hari wajahnya makin menakutkan. Orang-orang dusun yang pergi ke ladang, kadang terpaksa bersua dengannya. Sejauh ini memang belum pernah Si Sumbing itu melakukan sesuatu yang membahayakan warga. Bahkan, tampaknya dia “tahu diri” dan menjaga jarak. Walaupun begitu, tetap saja orang was-was dengan-nya. Kalau ia memandang perempuan, walaupun dari jauh, yang dipandang merasa seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat.

Semakin dia dewasa, semakin orang mencemaskan keberadaannya. Sebagian warga terpaksa melewati pondoknya saat mereka pergi ke ladang atau menyadap karet di kebun. Perempuan-perempuan harus berjalan memutar hingga 100 meter dari pondok itu untuk menghindari tatapannya. Tapi kadang-kadang wajah menakutkan itu muncul tiba-tiba, menatap mereka dengan pan-dangan yang aneh. Menurut para perempuan, pandangan itu seperti “penuh gairah tak tersalurkan”. Bila sudah begitu, mereka akan memilih untuk ambil langkah seribu.


Ketika kegelisahan penduduk hampir mencapai titik yang memprihatinkan, kasak-kusuk pun akhirnya sampai ke meja kepala dusun. Kepala dusun yang baru tentunya, anak dari kepala dusun yang lama. Kepala dusun ini pun gusar, tapi masih bimbang. Apakah seperti ayahnya dulu, ia akan mengusir perempuan dan anak anehnya itu lebih jauh lagi? Tapi alasan apa yang bisa dikemukakan? Alasan yang harus diucapkan, seperti ayahnya berpidato di bawah tangga rumah gadis itu dulu. Sejauh ini ia belum menemukan alasan. Laki-laki aneh itu belum pernah mengganggu siapapun. Memang, para perempuan itu resah dengan pandangan matanya. Tapi, kalau pandangan laki-laki harus diadili, bukankah lebih dari separuh laki-laki di dusun ini harus diusir juga? 

Tak disangka kemudian ada kejadian lain yang kembali menghebohkan dusun itu. Kejadian yang juga meresahkan kaum perempuan. Pada suatu sore yang mendung dan gerimis, orang-orang yang baru pulang dari ladang melihat anak-anak kecil sedang mengerumuni sesuatu. Ketika ditengok ternyata ada seseorang, tampaknya perempuan, sedang tidur terkapar di bawah gardu ronda. Rambutnya panjang, kusut, dan gimbal. Mukanya coreng-moreng. Tak jelas lagi warna kulit aslinya karena dakinya begitu tebal. Sepertinya perempuan itu sudah berbulan-bulan tak ter-sentuh air. Pakaiannya compang-camping, sama sekali tak memadai untuk menutup auratnya. Ia tidur dengan nyenyaknya, tak merasa terganggu oleh ulah anak-anak yang terus mengusiknya.

Ini segera menjadi isu baru yang meresahkan, melebihi isu tentang laki-laki sumbing itu. Ibu-ibu harus berulangkali mengingat-kan bapak-bapak yang mendapat giliran ronda malam, agar tidak mendekati gardu ronda itu. Perempuan dengan baju yang tak lengkap itu, serta malam gelap, dingin, dan sepi.... Istri mana yang percaya bahwa suaminya tak mungkin berbuat khilaf?

Beberapa orang berusaha memberinya pakaian yang lebih layak, tapi dibuang saja oleh perempuan itu. Ada yang berusaha mengusirnya supaya pergi dari dusun, tapi perempuan itu bergeming. Ketika seorang ibu muda begitu gemas, hingga memukul-nya dengan tangkai sapu, perempuan itu melolong kesakitan dan berlari. Tapi ia kembali ke dusun itu lewat jalan lain, kemudian bersemayam di belakang Balai Desa. Bila ada orang perempuan yang lewat, ia menyembunyikan diri di balik semak-semak. Tapi bila orang laki-laki yang lewat, ia berani menampakkan diri, dengan pakaiannya yang compang-camping. Sungguh  menjengkelkan.

Perempuan itu sepertinya bisu. Mulutnya hanya mengeluarkan suara-suara yang tiada artinya. Air mukanya tidak menampak-kan akal budi di balik sorot matanya yang kosong. Baik ingus maupun air liur selalu berleleran di wajahnya. Bila tidur ia telentang seenaknya saja, tak peduli dengan posisinya sehubungan dengan pakaian yang tidak menutup auratnya itu. Bila tidak sedang tidur, ia terus menggumam atau meracau sekenanya. Kadang-kadang tam-paknya ia lapar, berjalan ke rumah orang-orang meminta makanan. Ia lebih banyak berbicara dengan tangannya daripada mulutnya.

Untuk sesaat keberadaan perempuan tak jelas asal-usulnya itu memusingkan kepala dusun. Tapi kemudian tiba-tiba ia seperti mendapat ilham dari langit. Dengan satu keputusan yang tepat, ia bisa menuntaskan persoalan laki-laki sumbing “anak hantu” itu, sekaligus dengan masalah perempuan edan itu. Sekali tepuk, dua lalat jatuh. Sekali merengkuh dayung, dua pulau terlampaui. Tentu saja, dengan mengawinkan keduanya. Kenapa tidak? Mereka sama-sama aneh. Itu sudah cocok dan adil bagi mereka.

Dengan sigap, kepala dusun itu segera menulis surat keputusannya. Lalu ia memanggil punggawa dusun. Ia memerintahkan untuk mengirim salinan pertama surat keputusan ke pondok di tepi sungai itu. Salinan kedua... sesaat ia agak bingung, tapi kemudian dipanggilnya istrinya. Istri kepala dusun itu begitu girang membaca surat keputusan itu. Bergegas ia mencari perempuan itu, yang akhirnya ditemukannya di balik batang-batang pisang di belakang gedung sekolah.

Bukan perkara mudah menyampaikan isi surat keputusan itu. Semula perempuan itu ketakutan melihat istri kepala dusun. Tapi akhirnya dia mengangguk-angguk juga, sambil tertawa dan menge-luarkan kata-kata yang tidak jelas, setelah istri kepala dusun berulang-ulang menyebut kata “kawin” sambil memperagakan maksudnya dengan gerakan tangan dan badannya.

Bagian yang lebih sulit adalah mengambil biodatanya untuk kepentingan administrasi di KUA. Karena perempuan itu tak bisa menyebut namanya, istri kepala dusun harus menebak dengan menyebutkan berbagai macam nama yang teringat olehnya. Tapi hingga ratusan nama disebutkan, perempuan itu tetap menggeleng. Hampir-hampir ia mengira perempuan itu berasal dari planet lain yang tidak bernama, hingga akhirnya muncul satu nama dalam memorinya: Ayu Ting-ting? Tak disangka perempuan itu tertawa renyah dan mengangguk-angguk. Sambil melepas nafas panjang dan menyeka peluh di dahinya, istri kepala dusun itu menuliskan di kolom pertama lembar biodata, nama:  Ayu.

Tanggal perkawinan pun ditetapkan. Akad nikah akan dise-lenggarakan di Balai Desa. Ditetapkan wali hakim untuk perempuan itu, dan ditunjuk dua orang saksi nikah. Pada hari yang ditetapkan, penduduk berkerumun di dalam dan di luar balai desa untuk menyaksikan kejadian langka dan bersejarah itu. Hari itu tidak ada orang yang pergi ke ladang. Para penyadap karet mengambil cuti satu hari. Anak-anak tidak pergi ke sekolah, dan guru-gurunya pun ikut berdesakan di Balai Desa.

Ke mana perempuan itu? Hingga matahari setinggi tombak tidak seorangpun melihatnya. Tak ada yang melihat saat dini hari, ketika bumi masih berselimut kabut, emak Harun keluar dari pondoknya menjemput perempuan itu. Sebenarnya, hatinya rasa teriris oleh keputusan kepala dusun yang “memaksa” anaknya mengawini perempuan yang entah datang dari mana itu. Namun ia sudah belajar untuk menjalani hidup ini, kemanapun nasib akan membawanya. Ia juga sudah mewariskan cara hidup seperti itu pada anaknya. Harun, entah menyadari atau tidak seperti apa perempuan yang harus dinikahinya, tampaknya berbeda dengan ibunya dalam menyikapi keputusan itu. Ia begitu bersemangat ketika ibunya menyuruhnya menimba air hingga bergentong-gentong, dari sebelum fajar hingga sinar matahari terasa hangat di punggungnya. Begitu banyak air yang diperlukan untuk memandi-kan perempuan itu.    

Tengah hari, ketiganya berjalan menyusuri jalanan diantara batang-batang balam yang bersemak-semak. Dari tepian sungai hingga ladang-ladang penduduk. Menyusuri pematang sawah. Menyeberangi beberapa anak sungai. Terus berjalan hingga mendekati batas dusun itu. Harun berjalan di depan, melangkah tegap dengan baju terbaik yang dimilikinya. Di belakangnya, kedua perempuan itu berjalan beriringan. Yang satu perempuan tua dengan wajah keriput yang telah kering terhisap oleh kenestapaan, berjalan terbungkuk dan tertatih-tatih. Yang satunya lagi perem-puan muda, sulit ditebak umurnya berapa, dengan rambut panjang tersanggul yang dibalut kerudung kuning pudar, dan kebaya yang bertambalan di sana-sini. Wajahnya tak lagi coreng-moreng, walau masih berliur dan beringus. Emak Harun rajin mengelapnya dengan serbet, sesering mungkin. Dan kulitnya yang kemarin gelap tertutup daki tebal itu, kini tampak kuning gading merona, kelihatan dari muka, tangan, dan ujung kakinya yang sebagian ternoda lumpur. Itu hasil setelah berjam-jam digosok dengan batu dan diguyur air berkubik-kubik.

Harun berubah jadi gugup ketika melihat begitu banyak orang “mengepung” Balai Desa. Tapi ibunya mendorongnya agar terus berjalan memasuki tempat itu. Orang-orang ternganga melihat perempuan gimbal kemarin itu telah berubah penampilan. Beberapa laki-laki mendesah dalam hati. Seandainya perempuan ini sehat akalnya, aku juga.... Lelaki-lelaki tua yang sudah lama tak melihat emak Harun berusaha melongok lebih dekat. Mereka ingin memastikan adanya sisa kecantikan yang menempel di wajah perempuan tua itu, yang dulu sering mereka gunjingkan bersama.

Setelah basa-basi panjang-lebar dari kepala dusun dan penghulu kampung, yang sama sekali tak didengarkan oleh orang banyak yang berdengung sendiri seperti pasukan lebah itu, sampai-lah pada acara yang ditunggu semua orang. Penghulu yang menjadi wali hakim bagi perempuan itu memegang tangan Harun dan meng-ucapkan : “Saya nikahkan ananda Harun bin Abihi dengan ananda Ayu binti Abiha dengan mas kawin seperangkat alat sholat...”         

Harun kelihatan sekali sangat gugup. Ia berusaha keras untuk membuka mulutnya, lalu menyambung ucapan ijab kabul dari penghulu itu. Akhirnya keluar juga suara dari mulutnya, yang tentu saja tak bisa ia kendalikan nadanya sesuai kemauannya.
 “Ngghhaayyaa ngghherrrimmmaa...”

Tiba-tiba bumi seperti bergetar. Gedung Balai Desa itu berguncang seperti mau roboh. Bukan oleh gempa, melainkan oleh ledakan tawa ratusan orang yang berdesakan di dalam dan di luar balai desa. Para penonton, mungkin sudah memperkirakan hal itu akan terjadi, sedari pagi berdesakan menunggu untuk melihat dengan mata-kepala sendiri kejadian lucu itu. Mungkin lebih lucu dari perkiraan mereka semula, sehingga mereka tak bisa menahan diri untuk tidak terpingkal-pingkal. Penghulu berteriak-teriak me-nyuruh mereka diam dan memukul-mukul meja dengan tangkai penanya. Perlu hampir setengah jam untuk menunggu suasana kembali tenang.

Penghulu mencoba kembali mengulangi proses sakral itu. Tapi sia-sia. Suara tawa kembali menggemuruh setiap kali Harun berusaha menyambung ucapan ijab kabul itu. Kalimatnya pun terhenti di tengah jalan, sehingga kedua saksi nikah memvonis: tidak sah! Harun makin pucat pasi. Matanya terus berkedip-kedip gugup dan nafasnya tersengal-sengal tak teratur. Di sudut ruangan, ibunya duduk membungkuk dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia sedang berusaha keras agar air yang menggenang di pelupuk matanya tidak sampai jatuh menetes.

Penghulu dan stafnya, serta kedua saksi, akhirnya berunding untuk mencari jalan keluar dari perkara ini. Keputusan awal sebenarnya adalah menunda prosesi akad nikah hari ini dan menyelenggarakannya di waktu dan tempat lain secara tertutup. Tapi kepala dusun segera turun tangan mengintervensi. Ia memerin-tahkan pernikahan harus diselesaikan sekarang juga! Ia melihat raut muka Harun yang putus asa dan sangat tertekan, tak mungkin bisa dipanggil lagi untuk disuruh kawin di lain hari.

Akhirnya penghulu itu mengeluarkan fatwa, bahwa pada perkara Harun ini tidak perlu melafazkan ijab kabul secara lisan. Cukup mengangguk saja untuk menjawab kalimat pernikahan yang diucapkan penghulu. Prosesi pun diulangi lagi, kali ini selesai dengan cepat. Kedua orang saksi mengira Harun mengangguk setelah penghulu menyelesaikan kalimatnya. Entahlah, Harun terus bergoyang-goyang kepalanya karena gugup dan ketakutan, dan kadang-kadang terangguk-angguk tanpa sengaja. Maka, kedua saksi itu serempak mengucapkan: sah!

Kali ini tak ada lagi gemuruh tawa. Sebagian orang meng-gumam tak puas karena menganggap prosesi terakhir itu tidak seru lagi. Sebagian lagi mulai beranjak untuk membubarkan diri. Peng-hulu masih melanjutkan dengan membaca doa-doa dan memberi-kan nasehat-nasehat perkawinan. Harun menunduk lesu, sama sekali tak mendengarkan itu semua. Dalam hatinya masih bergemu-ruh suara tawa itu. Ia kaget ketika penghulu itu akhirnya menepuk bahunya. Seolah ia seperti orang terbangun dari tidur. Sang Peng-hulu menyuruhnya pulang dengan membawa serta istrinya.

Harun berusaha berdiri walau badannya terasa melayang. Ia melihat ibunya duduk tertunduk di pojok ruangan, terisak-isak. Kemudian matanya mencari-cari... istrinya. Perlu waktu beberapa saat sebelum ia menyadari bahwa orang yang dicarinya tak ada lagi di ruangan itu.

Orang-orang lain pun terlambat menyadarinya. Ketika mereka bergerak menyingkir untuk memberi jalan bagi kedua “mempelai”, baru mereka menyadari bahwa salah satu mempelai itu telah raib. Awalnya mereka celingukan mencari, mengira perem-puan yang baru saja menjadi pengantin baru itu terselip di antara puluhan orang yang berhimpit-himpit dalam ruangan. Kehebohan pun pecah, tatkala mereka menyadari bahwa perempuan itu benar-benar telah raib.

Orang-orang pun bubar, bertebaran kesana-kemari. Semua penasaran dan mencari-cari di mana perempuan itu berada. Banyak yang menyumpah-nyumpah keheranan. Bagaimana mungkin, tak seorangpun hadirin memperhatikan, hingga perempuan itu bisa menghilang begitu saja dari kerumunan. Kemanapun mereka men-cari, perempuan itu tak terlihat lagi. Kemudian tersiar kabar dari seorang pemburu burung yang melihatnya berlari ke arah sungai. Tapi ketika dikejar ke sana, perempuan itu tidak ada lagi. Bahkan juga  tidak tertinggal jejak kakinya di sekitar sungai itu.

Kerumunan orang itu pun menyaksikan kedua anak-beranak itu berjalan gontai kembali ke pondoknya. Harun memapah ibunya yang terseok-seok dan sesenggukan sepanjang jalan. Kali ini, pondok itu terasa lebih jauh dari biasanya. Itulah terakhir kalinya orang dusun melihat perempuan tua itu. Dua minggu kemudian ia dikabarkan meninggal. Jazadnya dikubur di bawah tiang pondoknya. Hanya empat atau lima orang yang menyaksikan penguburannya. Itupun karena mereka kebetulan lewat dan merasa tak enak melihat laki-laki sumbing itu sendirian menggali kubur. 

Bersambung ke Bagian 3.

Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN

Rembulan di Tepian Lematang





L
idah malam merayap perlahan, menggerayangi permukaan bumi, lalu mendekapnya dalam kegelapan yang membekukan. Langit terhampar bagai beludru hitam dengan butir-butir berlian yang pecah menghambur. Di serambinya duduk Sang Rembulan, menyembunyikan sebagian wajahnya, bagai gadis yang mengintip dari balik tirai. Malam ini bukan malam purnama, ketika ia bisa tampil telanjang bulat, membiarkan seluruh jagat raya ternganga memandangnya. Namun, walau tidak sempurna, masih terlihat bayang-bayang bulan separuh itu berpendar di antara riak-riak sungai Lematang.

Angin berhembus dengan malas. Tak terdengar deruannya. Namun cukup membuat pucuk-pucuk daun pohon balam di se-panjang tepian sungai itu terangguk-angguk dalam kantuknya. 

Harun bersandar pada sebatang pohon balam, tidak mengantuk seperti pohon yang disandarinya. Matanya menatap bulan se-paruh yang melayang diam, dua tombak di atas permukaan sungai. Bibirnya yang sumbing dengan belahan di langit-langit mulutnya itu ternganga dalam diam. Tubuh kurusnya yang terbalut kaus robek dan celana kolor itu membeku dalam belaian angin malam. Raut mukanya mematung, tapi tidak menampakkan rasa kedinginan. Bahkan ia tidak menyilangkan lengan ke dadanya untuk menahan dingin.   

 Aku datang dari sana.... 

Harun ingat gadis itu menunjuk ke arah sungai, gadis yang melayang masuk ke dalam mimpinya itu.


Saat purnama menerangi Lematang, kau kan bisa melihatku, dan menyentuhku...

Begitu dikatakan gadis itu ketika Harun yang terpesona mengulurkan tangan untuk menyentuh wajahnya.


Tapi Harun tak merasakan ujung jarinya menyentuh sesuatu. Bayangan gadis itu beriak menggelombang. Seperti bayangannya sendiri kala ia mengaca di permukaan Lematang, yang menghambur dalam riak gelombang ketika ia meraup air. Namun itu bukan bayangan wajahnya yang sumbing, yang ia sendiri sering memejamkan mata karena tak ingin melihatnya. Itu wajah seorang gadis yang molek, dengan rambut hitam tergerai gemerlap memantulkan cahaya rembulan.


Dan itu bukan bayangan, karena ia tidak sedang mengaca. Itu betul-betul seorang gadis yang berdiri di hadapannya, namun tidak bisa disentuhnya. Ketika ia mendekat, gadis itu menjauh. Harun pun berlari mengejarnya. Gadis itu menjauh dengan berjalan tenang, bukan berlari. Namun tak terkejar olehnya.


Belum sekarang, tunggulah terangnya purnama
....

Suara merdu mendayu itu mengalun bersama hembusan angin.


Bila saatnya tiba, kau kan bisa ikut denganku
....

Harun terus mengejarnya, hingga kakinya terasa dingin dan berat karena berjalan memotong arus sungai. Gadis itu terus melayang menjauh bagai berjalan di permukaan air, hingga menghilang dalam kabut dini hari. Dan Harun pun tersentak oleh teriakan-teriakan Mat Sudi, yang dengan tergesa mendayung biduk ke arahnya. Tersadar, Harun mendapati dirinya di tengah sungai, terendam sebatas pinggang.   


Mimpi itu tak pernah diceritakannya pada siapapun, termasuk Mat Sudi. Sejak bertemu dengan gadis dalam mimpinya itu, tiap malam Harun selalu berada di tepi sungai. Ia berdiri mematung, atau bersandar ke batang pohon, memandangi bulan yang kian hari kian penuh. Atau menatap ke arah sungai yang berkabut, seperti menunggu sesuatu akan keluar dari balik kabut. Sementara Mat Sudi, yang tiap malam berperahu sambil membawa jala dan pancingnya menyusuri Lematang, memandanginya dari jauh dengan heran dan sedikit cemas.
Bagi Harun, kalau ada yang bisa disebut sebagai keluarga setelah ibunya meninggal, mungkin hanya Mat Sudilah orangnya. Mat Sudi adalah anak saudara sepupu ibunya. Biarpun Mat Sudi tak begitu perhatian terhadapnya, tapi dialah satu-satunya orang yang selalu menyapanya bila bertemu. Orang-orang lain hanya bicara dengannya bila betul-betul perlu.

Mat Sudi juga yang menceritakan pada orang-orang di dusun kejadian aneh dini hari itu. Katanya, pemuda sebatang kara itu tiba-tiba berlari seperti mengejar sesuatu hingga jauh masuk ke tengah sungai. Mat Sudi menduga pemuda itu mengigau hingga berjalan dalam tidurnya. Orang-orang yang mendengar ceritanya mengangguk-angguk setuju. Mereka juga setuju bahwa perilaku Harun beberapa hari ini agak aneh. Jangan-jangan pikiran pemuda itu sudah terganggu. Bila kejadian kemarin itu terulang, sementara tak ada orang yang menolongnya, pemuda malang itu bisa celaka dihanyutkan arus Sungai Lematang.


Orang-orang punya alasan untuk mengira bahwa pemuda itu terganggu jiwanya. Sampai dengan umurnya yang lewat empat puluh tahun, Harun tinggal berdua saja dengan ibunya di sebuah pondok di tepi sungai. Dan ibunya yang kian menua itu pun akhirnya meninggal dua minggu yang lalu. Hanya segelintir orang yang datang menyaksikan pemakamannya. Jenazahnya tidak dimakamkan di pemakaman umum di dusun, namun di bawah tiang pondoknya di tepi sungai itu. Saat itulah orang melihat wajah Harun membeku dalam raut muka yang aneh. Tidak ada ratap tangis. Tapi orang tahu pasti bahwa kematian ibunya telah memukulnya begitu berat.


Pada usianya sekarang ini, Harun tak bisa lagi disebut “anak” yatim-piatu. Namun orang memahami jika kepedihannya tidaklah kurang dari seorang anak yatim-piatu. Betapa tidak, saat ini Harun betul-betul sebatang kara. Orang seperti dia tak bisa berharap akan mempunyai teman hidup selain ibunya, yang akhirnya meninggal itu. Ya, bagaimana mungkin ada yang mau kawin dengannya? Sedangkan tak seorang pun janda, apalagi gadis, yang tak membuang muka setiap kali tampak oleh mereka wajahnya yang sumbing itu.

Masalahnya bukan hanya wajah sumbing itu. Kabar burung tentang dari mana ia mendapat wajah serupa itulah yang lebih mengerikan bagi kebanyakan orang. Orang tua-tua di dusun tentu tahu tentang cerita di balik kelahirannya empat puluh tahun yang lalu, dan mereka menceritakannya pada anak-anak serta cucu-cucu mereka. Semua orang sepakat bahwa bukan dari ibunya ia mendapat wajah mengerikan itu. Konon ibunya dulu adalah seorang gadis yang teramat cantik. Tapi jika bukan dari ibunya, lalu  siapakah bapaknya?

Bahkan Mat Sudi, yang masih kecil saat kejadian yang menggemparkan desanya itu terjadi, bisa mengatakan dengan yakin bahwa emak Harun itu dulunya tercantik diantara gadis-gadis di dusunnya. Banyak lelaki bujangan, duda, bahkan yang sudah beristri, berminat meminangnya. Orang tuanya pun menimbang-nimbang dengan bimbang karena begitu banyaknya pilihan. Namun pada akhirnya tidak satupun pinangan itu diterima.

Sebagaimana gadis-gadis remaja lainnya, emak Harun suka bermain di sungai. Namun dibanding gadis-gadis lain, dialah yang paling suka bermain di sungai. Ia suka berlama-lama di sungai, seringkali hingga lewat senja hari. Orang tuanya pun sering me-negurnya. Mereka menganggap ia mencari-cari alasan saja untuk berlama-lama di sungai.


Pada suatu hari, gadis remaja itu tidak pulang dari sungai sampai hari gelap. Keluarganya pun cemas. Orang-orang sibuk mencarinya ke segala penjuru, tapi tak menemukannya. Saat fajar menyingsing, ada seorang pedagang berperahu yang sedang meng-hilir Sungai Lematang, melintasi dusun itu. Ia penasaran melihat sesuatu teronggok di bagian sungai yang agak dangkal, lalu di-dekatinya. Alangkah terkejutnya ia melihat onggokan itu. Ternyata seorang perempuan yang sedang duduk berendam di sungai. Matanya terbeliak. Mulutnya komat-kamit mengeluarkan kata-kata yang tak jelas. Kontan saja pedagang itu berteriak-teriak memanggil penduduk dusun.


Gadis itu segera digotong ke rumahnya. Dukun kampung pun dipanggil. Orang-orang sedusun mengerubunginya. Yang tidak kebagian tempat di dalam rumah berdesak-desakan di bawah rumah. Entah apa yang dikatakan gadis itu mengenai kejadian yang menimpanya. Entah apa pula “diagnosis” dukun kampung yang memeriksanya. Yang jelas, desas-desus dengan cepat menjalar di antara orang-orang yang berdesakan itu.


Komentar yang paling populer adalah bahwa gadis itu telah diculik antu ayek, hantu air. Bahasa ilmiahnya: tenggelam terseret pusaran air dalam sungai. Karena menolak diperistri oleh hantu itu, maka ia dikembalikan ke permukaan sungai. Orang-orang tua memuji gadis itu karena tidak mudah terbius oleh rayuan hantu air. Padahal kebanyakan orang tak kuasa menolaknya. Kedua orang tuanya sangat bersyukur. Acara selamatan pun digelar. Untuk itu mereka memotong seekor kerbau, kerbau terbesar di dusun itu.


Namun tentu saja, tak pernah ada pendapat bulat. Walau-pun orang-orang tua di dusun sepakat dengan pendapat tersebut, tapi perempuan-perempuan muda punya komentar tersendiri. Ter-tama mereka yang belum laku kawin. Menurut mereka, bukan gadis cantik itu yang berjaya menolak rayuan, melainkan hantu itu yang kecewa karena gadis itu tidak perawan lagi. Ups! Begitu mereka pura-pura menutup mulut saat mengatakannya. Mereka bilang, hantu itu marah dan menendang gadis itu keluar istananya dengan kutukan dan sumpah-serapah. Akibat kutukan itulah, hingga bebe-rapa hari dia masih seperti orang linglung. Untuk membuktikan teori ini, tentu saja harus diadakan tes keperawanan!


Kaum lelaki di dusun, yang mengklaim selalu menggunakan akal sehat, punya teori lain. Bukan berarti mereka tidak percaya bahwa ada hantu bertahta di dalam sungai. Mereka juga sama mengimani hal itu. Tapi mereka mencatat bahwa ada dua hal yang tidak masuk akal. Pertama, tidak mungkin seorang perempuan bisa selamat dari hantu itu. Sedangkan orang laki-laki, yang tenggelam sebelumnya, tidak ada yang kembali dalam keadaan hidup. Dan kedua, seandainya mereka yang jadi hantu air, tak mungkin dilepas-kannya gadis secantik itu. Tak peduli dia mau dikawini dengan sukarela atau tidak! Maka, mereka membuat teori sendiri. Mereka lebih percaya kalau yang menculik gadis itu semalam adalah... diantara mereka sendiri (sambil saling melirik curiga). Tapi soal tes keperawanan mereka setuju-setuju saja. Siapa tahu, mereka yang diserahi tugas melakukan tes itu.


Sebetulnya masih ada satu teori lain. Tapi yang ini minoritas sekali. Pengusungnya hanya satu orang, pedagang kain yang baru pulang dari kota. Ia sering nonton film layar lebar di sana. Dengan yakin pedagang itu menyatakan bahwa gadis itu telah diculik oleh UFO. Usai dijadikan kelinci percobaan oleh makhluk-makhluk asing itu, lalu dikembalikan ke tepi sungai. Eksperimen makhluk luar angkasa itulah yang membuat gadis itu menjadi linglung. Sampai sore, orang itu mengoceh panjang-lebar tentang teorinya. Diam-diam orang meninggalkannya satu per satu. Jadilah ia mengoceh sendirian. Selanjutnya, tak pernah lagi pedagang kain itu diundang sebagai pembicara di warung kopi, setiap kali diskusi mengenai kasus itu digelar.


Waktu terus berjalan. Kejadian itu pun makin pudar dari perhatian orang, tersapu oleh isu-isu baru yang terus datang silih-berganti. Selang tiga purnama sesudah kejadian itu, tak ada lagi orang membicarakannya. Bahkan, mungkin sudah betul-betul dilupakan. Seandainya tetap begitu, kejadian itu akan terhapus selamanya dari kenangan penduduk dusun. Namun kemudian, satu kabar tiba-tiba menyeruak, melambung, dan pecah berderai-derai: gadis itu hamil!  


Bersambung ke Bagian 2.

Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN