26.10.13

Dan Hujan pun Tersedu-sedu



 "Dengar, dia mulai merintih. Sebentar lagi kau akan mendengarnya menangis tersedu-sedu," ujar Mia, istriku.

"Oh, ya?" Seperti biasa, itulah komentar standar dariku.

Seperti biasa, ia duduk di kursi rotan yang menghadap ke jendela besar di ruang depan. Itu ritual rutinnya setiap sore hari sejak kami menikah dan tinggal di rumah ini, rumah yang hampir seluruh bagiannya kubangun dari kayu. Ia selalu menatap langit, mengamati mendung serta hujan yang turun menyirami lembah.

Kubangun rumah pondok kayu ini di lereng bukit. Lereng tempat kubebas memandang langit dan hamparan lembah di bawahnya. Banyak hal yang bisa kudapatkan dari tempat ini, ketenangan, kesunyian, dan segalanya yang sejenis dengan itu. Aku tidak suka keramaian. Aku benci orang banyak. Aku lebih suka menyendiri. Dan aku pasti masih menyendiri saat ini seandainya ibuku tidak memaksaku untuk membawa wanita ini—istriku—ke rumah sunyiku ini.

"Bukankah umurmu sudah lewat empatpuluh tahun?" tegur ibuku waktu itu. “Dan kau masih berjamur jadi perjaka tua."

"Ibu, aku tak berdaya dengan perempuan. Lagipula aku bukan betul-betul perjaka." Berkali-kali kukatakan itu padaIbu. Tak mungkin aku menikahi seorang perempuan sedang aku telah kehilangan kelaki-lakianku. Ibuku satu-satunya orang yang kuberitahu tentang itu. Itupun terpaksa karena aku bosan mencari alasan atas keenggananku menikah lagi.

Menikah lagi? Ah, kalau saja pernikahanku yang pertama itu bisa disebut pernikahan. Itu lebih pantas disebut tragedi.

Aku memang sempat menjadi anak nakal, tapi kurasa kenakalanku waktu itu takseberapa. Mulanya hanya nongkrong-nongkrong di pojok desa tiap malam bersama teman-teman.Itu pun karena suntuk selepas SMA, mau kuliah tak ada biaya.

Suasana jadi gerah ketika di antara kami beredar kartu-kartu remi bergambar tidak senonoh. Pada saat yang sama, beredar isu bahwa seorang janda di desaku membuka praktek prostitusi rahasia. Ia butuh uang setelah diceraikan suaminya yang kawin lagi, sedang warga desa tidak ada yang peduli padanya.Beberapa orang temanku sudah mendatangi rumah janda itu, sembunyi-sembunyi membawa sejumlah uang. Esoknya mereka menceritakan pengalaman hebat semalam, seperti gambar-gambar di kartu itu.

Saat itu aku masih begitu muda, sama seperti mereka. Darah mudaku ikut bergolak. Walau tak punya uang, aku tak surut. Kucuri uang dari lemari ibuku, dan suatu malam aku mengendap-endap ke rumah janda itu. Sungguh,apa yang kulakukan tak beda dengan teman-temanku, hanya saja aku sedang bernasib sial.

Aku belum melakukan apa-apa, baru sekedar menurunkan celana dalamku. Tapi mereka sudah mendobrak pintu. Anak-anak muda yang biasa mengaji di surau Haji Kandar, entah darimana mereka mendengar isu tentang janda itu. Mereka merangsek masuk lalu menyeretku dan janda itu keluar. Kami ditelanjangi, lalu diarak keliling desa dengan tabuh-tabuhan.

Aku ketakutan setengah mati. Entah mana yang lebih menguasaiku saat itu, rasa takut atau rasa malu, atau keduanya bertindih-tindih.

Di tanah lapang dekat pemakaman umum,pemuda-pemuda dari surau itu menggali tanah dan menyiapkan batu-batu. Katanya mereka akan menerapkan hukum rajam. Aku semakin ketakutan. Begitu takutnya, aku sampai terkencing-kencing, dan mereka tertawa terbahak-bahak.

Tapi untunglah, kehebohan segera usai ketika para tetua desa muncul dan menghentikan aksi para pemuda itu. Walau sempat terjadi perdebatan alot, tapi hukum rajam itu akhirnya digagalkan dan disepakati untuk menikahkan kami malam itu juga.

Ibuku menangis saat itu, aku tak pernah melupakannya. Akhirnya aku menikah dengan janda yang usianya lima belas tahun lebih tua dariku. Tapi hanya bertahan sebulan. Janda itu pergi meninggalkanku begitu menyadari bahwa kelaki-lakianku telah musnah. Lagipula aku bukan orang yang bisa memberi nafkah seperti yang diharapkannya.

"Kau tidak percaya?" tanya Mia dengan pandangan menuduh.

"Iya, iya, aku percaya," sahutku cepat-cepat.

"Hm, apa yang terdengar olehmu?" Ternyata Mia tak puas dengan jawaban pendekku

"Suara hujan itu kan? Mereka mulai merintih...," sambungku.

"Benar." Ia mengangguk, lalu kembali menatap langit di luar sana.

Mendung tebal menggantung di langit.Sepertinya tak lama lagi akan turun hujan. Rintik-rintik gerimis mulai membasahi pelataran rumah kami. Bunyi detak-detiknya berirama aneh ketika menimpa genting dan pepohonan. Itulah bunyi hujan, yang oleh Mia disebut sebagai suara "rintihan" mereka. Bila hujan menjadi deras, ia akan bilang mereka sedang menangis tersedu-sedu.

Begitulah Mia. Aneh, bukan? Kami menikah di musim kemarau, setahun yang lalu, ketika belum turun hujan sehingga keanehan itu belum terlihat. Semula aku mengira keanehannya hanya tentang termenung berlama-lama di depan jendela memandangi langit. Itu kuanggap biasa karena ia belum sepenuhnya terbebas dari belasungkawa setelah kehilangan anak-anaknya.

Mia adalah anak bibiku. Sebagai wanita, kesanku dia biasa-biasa saja. Tidak cantik, tapi juga tidak bisa dibilang jelek. Sebelum kami menikah, ia tampak kurus. Mukanya pucat, pipinya cekung, dan matanya merah karena kurang tidur.

Kenestapaannya selalu berhubungan dengan hujan. Suaminya dulu seorang nelayan. Suatu hari lelaki itu berangkat ke laut, dan tiba-tiba datang hujan badai. Perahunya tak pernah kembali, dan tidak juga jazadnya. Ditinggalkan suami membuat Mia harus mandiri menghidupi kedua anaknya yang baru berumur 2 dan 4 tahun.Kebetulan seorang famili mengajaknya bekerja di pabrik garmen di Jakarta Selatan. Di sana ia menumpang di rumah familinya itu di daerah Cirendeu. Suatu hari, ia masuk kerja shift malam, meninggalkan kedua anaknya tidur di rumah itu bersama seorang keponakannya, dan terjadilah musibah itu. Hujan deras, tanggul Situ Gintung jebol, dan tumpahan air bah melahap rumah-rumah di sekitarnya. Keponakannya ditemukan sudah menjadi mayat, tapi kedua anaknya raib entah ke mana.

Musibah berturut-turut itu membuat Mia seperti kehilangan akal. Setelah letih menangis berhari-hari, ia termenung berlama-lama, dan kalaupun bicara hanya tentang hujan. Ke mana hujan membawa anak-anaknya pergi, itulah selalu yang ditanyakannya. Kemudian ia mulai bicara tentang suara rintihan dan sedu-sedan yang didengarnya setiap hujan turun.

Ibu mendorong-dorongku untuk menikahinya. Beliau khawatir Mia akan jadi gila kalau tidak segera diselamatkan. Tentang kelaki-lakianku yang belum pulih,menurut ibuku tak jadi soal, karena Mia tidak sedang membutuhkannya saat ini.Dengan berjalannya waktu, bila aku tinggal serumah dengan seorang wanita, Ibu yakin kelak aku akan sembuh dengan sendirinya.

Jangan bilang aku jatuh cinta. Kurasa tidak. Aku hanya kasihan. Di rumahku, jauh dari tetangga, jauh dari orang banyak, ia bebas termenung seberapa lama ia mau. Pagi hingga siang hari kutinggalkan ia sendiri. Aku punya sedikit kesibukan, membantu mengajar murid-murid SD di lembah itu sebagai guru honorer, serta mengurus sepetak kecil ladang di lereng bukit yang kutanami sayuran. Sore hingga malam hari kutemani dia, sama-sama termenung dalam diam, atau bercakap-cakap tentang hujan.

Kini ia agak lebih gemuk dan wajahnya tak sepucat dulu. Aku senang melihatnya mulai pulih. Ia juga mengerjakan pekerjaan rumah yang selama ini kukerjakan sendiri. Memasak, mencuci baju, dan membersihkan rumah. Lambat-laun, ia semakin tampak sebagai seorang istri di rumah kayu yang terpencil ini. Tapi tentang hujan ia belum berubah, bahwa ada suara tersedu-sedu yang selalu terdengar bersama hujan turun.

Tak kusangka, ternyata ibuku benar. Hidup serumah bersama seorang wanita, tiap hari mencium aroma tubuhnya, dan kadang tak sengaja bersenggolan, menimbulkan pengaruh aneh padaku.

Dini hari tadi, ketika aku terbangun sedang hawa dingin masih menyelimuti pegunungan, bahkan lembah di bawah itu belum terlihat karena masih terlalu samar, aku terkejut. Ada sesuatu pada tubuhku yang bangun dan bergerak sendiri. Kurasakan darahku mengalir deras ke sana. Detak jantungku seketika menggebu. Sesuatu yang sudah lama tak kurasakan sejak bertahun-tahun lalu. Apa ini? Aku... sembuh?

Kulihat Mia masih tergolek meringkuk di ranjangnya. Sungguh, aku sangat ingin memberitahunya. Bahkan, aku ingin memberitahu seluruh dunia! Aku sudah sembuh! Aku sudah kembali menjadi aki-laki!

Tapi itu hanya keinginan. Aku terlalu malu dan segan untuk melakukannya.

Setengah berlari aku menuruni lereng bukit pagi ini, begitu riang. Aku sembuh! Aku sembuh!

Entah orang-orang memperhatikan atau tidak, hari ini aku mengajar anak-anak dengan hati riang. Kuajak mereka menyanyi lagu-lagu gembira. Kubuat lomba menulis puisi sukacita. Yang paling riang puisinya kuberi hadiah semua uang receh yang ada di kantongku.

Selesai mengajar, aku hendak cepat-cepat pulang. Aku ingin cepat bertemu Mia, istriku. Ah, kali ini aku menyebutnya dengan nada berbeda, i s t r i k u.

Tapi tiba-tiba Pak Kosasih, kepala sekolahku memanggil. "Pak Darus, kok buru-buru pulang...."

"Oh ya, Pak. Ada apa?" sahutku.

"Begini, besok pagi kan ada kunjungan Bapak Bupati ke desa kita, juga ke sekolah ini."

"Ya Pak, saya dengar begitu."

"Nah, tadi ada staf Pak Camat kesini. Karena acaranya mendadak, kita agak kelabakan. Sudah dibentuk panitia, tapi kekurangan personil. Pak Camat minta tolong kita ikut membantu."

"Oh, eh... ya, saya usahakan, Pak. Kapan...."

"Siang ini juga kita mulai bekerja! Sepertinya harus lembur sampai malam. Pak Darus masuk seksi perlengkapan ya, usahakan menginap malam ini di kantor desa."

"Menginap?"

"Iya, besok pagi semua persiapan harus sudah sempurna."

"Ehm... baiklah, Pak. Tapi saya pulang dulu pamit sama istri saya, sekalian ambil baju ganti."

"Oh ya, tentu saja. Silakan."

Aku pulang dengan langkah gontai. Malam ini aku sungguh ingin berada di rumah. Aku sungguh ingin berada di rumah malam ini.

Gerimis mulai turun ketika aku tiba di rumah. Kulihat Mia sedang duduk di kursi rotan depan jendela seperti biasa. Ia tidak menyapaku, tapi langsung bicara tentang suara rintihan hujan. Aku menanggapinya pendek-pendek saja. Ah, seandainya aku bisa mengatakan padanya apa yang baru saja terjadi dengan tubuhku hari ini.

"Aku akan pergi ke kantor desa," kataku. "Mungkin terpaksa menginap di sana."

Mia menoleh, menatapku sebentar, lalu kembali memandang keluar. Seolah apa yang baru saja kuucapkan bukan sesuatu yang penting. Ah, seandainya dia tahu bahwa malam ini bisa jadi berbeda kalau aku berada di rumah.

"Dengar, mereka mulai menangis tersedu-sedu,"katanya. Di luar, hujan mulai turun lebih deras.

"Hm, ya. Kedengarannya begitu." Aku menimpali ucapannya.

Kusiapkan baju ganti, jaket, sedikit makanan kecil, juga jas hujan. Aku siap berangkat. Kulihat Mia masih termenung menatap hujan yang kian menderas. Hm, kukira bisa kutunda sebentar keberangkatanku. Aku berdiri di belakangnya, memegang bahu kursi yang didudukinya. Sebenarnya aku ingin memegang bahunya. Ahh, mungkin lain kali.

Aku merundukkan badan, berusaha melihat keluar jendela, ke arah yang sedang ditatap oleh istriku. Itu membuat hidungku dekat ke rambutnya, hingga harum baunya membuatku melayang sesaat.

"Kasihan, mereka menangis. Apakah kau bersedih mendengarnya?" tanyaku.

Mia menoleh, heran mendengar kata-kata yang tak pernah kuucapkan sebelumnya. Wajah kami begitu dekat, bahkan bisa kurasakan hembusan nafasnya di pipiku. Matanya menatapku. Tatapan mata yang aneh, tapi sungguh indah.

"Tidak lagi," katanya sambil menggelengkan kepala. "Aku sudah terbiasa."

"Oh, syukurlah," sambungku.Lega rasanya, baru kali ini kudengar ia bilang begitu. "Tapi malam ini aku tak bisa menemanimu. Akan kutebus besok, aku tak akan kemana-mana lagi. Aku akan seharian bersamamu."

Kuberanikan tanganku membelai rambutnya. Ia masih memandangku, tatapannya berubah heran, tapi ia tidak menghindar ataupun menolakkan tanganku. Ia membiarkanku membelai rambutnya, sesuatu yang baru kali ini kulakukan, setelah setahun pernikahan kami.

** *

Hujan deras membuat banyak pekerjaan tertunda. Tenda-tenda belum terpasang, kursi dan meja juga belum bisa ditata di halaman kantor desa.Tapi bukan berarti tidak ada yang bisa dikerjakan. Kami sibuk sekali, begitu banyak pekerjaan kecil-kecil tapi rumit yang harus diselesaikan. Pak Camat baru ini mau tampil sempurna saat kunjungan Bupati besok.

"Pak Darus, istirahat dulu,"tegur Pak Kosasih. "Biar anak-anak gantian." Ia menunjuk serombongan pemuda yang baru berdatangan, mungkin hujan deras membuat mereka terlambat.

Jam sebelas malam. Mataku mulai terasa berat, mengantuk. Juga capek. Aku teringat istriku di rumah. Apa yang sedang kami lakukan seandainya aku di rumah malam ini?  Ahh.

Tiba-tiba bumi bergetar. Ya, kurasakan getaran itu. Gelas-gelas kopi yang ditaruh di atas meja juga bergetar. Gempakah? Kudengar suara gemuruh di kejauhan.

Kami berhamburan keluar dari kantor desa itu. Semua mengira telah terjadi gempa. Di luar hujan deras. Basah-kuyup kami semua, tapi tidak ada yang berani kembali masuk ke dalam.

"Hai, tidakkah kau dengar suara gemuruh itu?" teriak seseorang pada temannya, sayup-sayup di antara suara deras hujan.

"Ya, sepertinya dari arah bukit!"

"Hah, jangan-jangan terjadi sesuatu di atas bukit!"

Mia!

Tanpa pikir panjang lagi, dengan senter di tangan, bertelanjang kaki, aku berlari tunggang-langgang ke arah bukit. Rumahku... rumahku di lereng bukit, apa yang terjadi?

Hujan deras. Malam gelap. Hanya lampu senterku, dan lampu senter orang-orang di belakangku yang menerangi tempat itu.Tapi jelas sudah apa yang terjadi. Lereng bukit itu, tempat aku membangun rumah kayu itu, sudah tidak ada lagi. Lereng bukit itu longsor. Semuanya runtuh ke dalam jurang, bersama rumahku, bersama Mia-ku.

"Miaaa!" teriakku putus asa.

Aku terduduk lesu, lemah-lunglai. Beberapa orang menepuk-nepuk bahuku, berusaha menghibur.

"Kalian dengar suara itu?" tanyaku pada orang-orang.

"Suara apa, Pak Darus?" tanya Pak Kosasih.

"Kalian tidak mendengarnya? Bukankah jelas suara tangis tersedu-sedu itu?" Teriakanku tenggelam dalam riuh suara hujan deras diiringi petir sambung-menyambung.

Pak Kosasih dan orang-orang saling berpandangan keheranan, entah mereka paham atau tidak apa yang kukatakan.

Hujan, kaubawa ke mana istriku? (*)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar