24.12.12

Senja Memerah di Pulau Mandangin



Kidung Cinta Bangsacara-Ragapadmi.
Sebuah Cerpen oleh Rahadi W.

Menjelang senja, langit Pulau Mandangin semakin condong ke barat. Matahari pelan-pelan menggelinding ke batas cakrawala. Bangsacara menyeka sisa darah yang melumuri mata tombaknya. Sejak pagi hari berburu di hutan Pulau Mandangin ini, ia sudah berhasil mendapatkan empat ekor kijang. Tinggal menambah satu ekor lagi, sempurnalah ia melaksanakan titah Prabu Bidarba. 

Seorang prajurit kepatihan mengirim titah itu ke desanya kemarin. Sang Prabu menghendaki lima ekor kijang dari Pulau Mandangin, untuk hidangan perkawinan dengan selirnya yang baru. Bukan hal yang mudah menangkap kijang di pulau ini, tapi Bangsacara sudah sering melakukannya. Jurus melempar tombaknya memang tak tertandingi di seluruh Kerajaan Madura. Berkat keahliannya itu, Bangsacara sering mempersembahkan daging kijang yang sangat digemari Sang Prabu, sehingga ia pun menjadi abdi kesayangan di istana.
Bangsacara berjalan mengendap-endap di sela pepohonan dan semak-semak hutan. Kedua ekor anjingnya yang setia pun mengikutinya tanpa suara. Kijang yang diincarnya itu tampak gelisah, berkali-kali mengangkat kepala, berusaha mencium tanda bahaya di sekitarnya. Jaraknya tinggal tiga puluhan tombak saja lagi, tapi bila ia gegabah, kijang itu bisa melesat jauh dalam sekejap. Lebih baik ia menunggu sebentar, hingga binatang itu tak lagi waspada.
Sebenarnya, pikiran Bangsacara tak sepenuhnya berada di pulau ini. Bayangan ranjang pengantin, yang terlalu cepat ditinggalkannya dini hari tadi, senantiasa melintas di bilik matanya. Aduhai, malam yang hangat itu... begitu singkat rasanya, tapi tiada sepenggalpun yang hilang dari kenangan. Bahkan ia bisa memutar kembali bayangannya, detik demi detik. Masih menggema di kepalanya, harum semerbak rambut pengantin itu. Dan jari-jarinya pun serasa masih menari di halus kulit pualam itu. Sekedar memikir-kannya saja telah membuat jantungnya berdetak lebih cepat.  
Ragapadmi... ahh, Bangsacara mendesah. Dua purnama yang lalu, ia masih merasa seperti seekor pungguk ketika memandang putri bulan itu bersanding dengan Prabu Bidarba di kereta kencananya. Betapa tiap malam ia meremas-remas hatinya sendiri, meratapi saat-saat ketika bidadari itu sedang terhampar di peraduan Sang Prabu.    
Bangsacara pertama kali bertemu putri itu pada sebuah kapal kandas yang dijarah perompak. Untung, Bangsacara berhasil menyelamatkannya dari kejahilan para perompak. Sejak pertama melihatnya, Bangsacara telah terpikat dengan kecantikannya. Sayang, Prabu Bidarba mendengar kejadian itu, dan memerintahkan agar putri itu dibawa ke istana. Singkat cerita, putri cantik itu pun dijadikan selir Prabu Bidarba dan diberi nama : Ragapadmi.
Namun, baru beberapa hari usai pesta perkawinan, kehebohan melanda Keraton Madura. Wanita cantik yang entah berasal dari mana itu tiba-tiba terserang penyakit kulit yang menjijikkan. Kulit di sekujur tubuhnya melepuh, mengelupas, dan berlendir. Wajahnya pun tak terkecuali. Baunya sangat busuk. Sang Prabu murka dan selir itu pun diusir dari istana. Banyak yang mengira ia membawa penyakit menular dari negeri asing, walau ada juga yang bilang bahwa ia diracuni oleh orang yang dengki pada kecantikannya.
Mendengar kabar bahwa Selir Ragapadmi diusir dari istana, Bangsacara bergegas menghadap Sang Prabu. Ia memohon diberi kesempatan mencarikan obat untuk penyakit Ragapadmi. Sang Prabu mengijinkan, tapi tetap memerintahkan agar Ragapadmi dibawa keluar istana. Karena tak satupun tabib atau padepokan bersedia merawatnya, Bangsacara membawa Ragapadmi ke rumah ibunya di desa dekat pantai, jauh dari keraton.
Bangsacara tak berharap banyak ketika menitipkan Ragapadmi pada ibunya. Benih cinta dalam hatinya membuat ia tak tega menyaksikan penderitaan wanita itu. Ia hanya berharap ibunya mau merawatnya hingga penyakit aneh itu membawa ajal bagi Ragapadmi. Dan seperti yang diminta oleh Bangsacara, ibunya merawat wanita itu dengan telaten. Setiap hari ibunya memandikan Ragapadmi dengan air kapur dan meminumkan jamu yang diramunya sendiri.
Beberapa bulan setelah menyerahkan Ragapadmi pada ibunya, barulah Bangsacara pulang ke desa menengoknya. Semula ia mengira hanya akan menemui pusara wanita itu. Tapi betapa terkejutnya ia ketika sampai di rumah. Ada seorang wanita cantik sedang duduk menyisir rambut di balai-balai bambu depan rumah ibunya... Ragapadmi!
Dalam perawatan ibunya, Ragapadmi ternyata pulih dengan cepat. Wajahnya yang semula penuh lendir dan kulit yang terkelupas itu, kini telah kembali bersih dan berbinar-binar, bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Bangsacara terpana, tapi ia berusaha menyembunyikan perasaannya dan mengatakan akan membawa Ragapadmi kembali ke istana. Tak disangka, Ragapadmi malah menangis.
“Kakang Bangsacara... kenapa Kakang begitu tega terhadapku. Cukuplah sekali Kakang membawaku ke keraton. Cukup sudah penderitaanku. Mengapa Kakang tega membawaku kembali ke sana....”
Bangsacara terpana untuk kedua kalinya. Semula ia mengira Ragapadmi akan bahagia bisa kembali ke lingkungan istana. Selama ini ia mengira Ragapadmi bahagia dengan nasibnya menjadi istri raja, walaupun selir. Ternyata ia salah. Ragapadmi tak pernah menikmati kehidupan di istana. Ragapadmi tak pernah bahagia dengan perkawinannya. Karena tak ada cinta di sana. Cintanya telah tertambat pada Bangsacara, sejak pertama kali mereka berjumpa.
Kijang incarannya itu mulai tenang, tak lagi curiga dengan maut yang sedang mengintai. Bangsacara menimang-nimang tombak di tangannya, bersiap menyerang dengan jurus andalan. Ketika tiba saat yang tepat, Bangsacara secepat kilat keluar dari tempat persembunyiannya, berlari ke arah buruannya bagaikan seekor raja hutan. Kedua ekor anjingnya menggonggong dengan ribut sambil mengepung dari kedua sisi. Kijang itu tersentak kebingungan, serba salah hendak lari kemana, menjadikannya sasaran empuk bagi lemparan tombak Bangsacara yang segera meluncur deras. Tak pernah meleset, selalu akurat dan mematikan.
Kijang itu pun roboh dengan lengkingan menyayat. Bangsacara berjalan mendekati buruannya dengan perasaan puas. Sudah lengkap lima ekor kijang, kini ia tinggal membawanya ke keraton dan bereslah tugasnya. Besok ia bisa kembali lagi ke desanya, mengunjungi lagi ranjang pengantinnya dan melanjutkan apa yang tertunda.
“Bangsacara!” Terdengar suara seseorang menghardik. Bangsacara terlonjak kaget, tak mengira ada orang lain di hutan itu. “Berhenti kau di situ!”
Bangsacara celingukan mencari asal suara. Ia semakin terkejut ketika menemukan asal suara itu... Patih Bangsapati! Dari balik pohon besar, Sang Patih keluar, menenteng busur dan anak panah. Menyusul, tiga orang prajurit kepatihan keluar dari semak-semak, semuanya dengan pedang terhunus.
Bangsacara mendadak berdebar-debar. Ini pasti tentang Ragapadmi, pikirnya. Sejak awal ia sudah mengkhawatirkan hal ini. Begitu Ragapadmi sembuh dari penyakitnya, seharusnya Bangsacara segera menyerahkannya pada Prabu Bidarba. Tapi apa mau dikata, cinta mementahkan segalanya. Pernah terpikir untuk lari saja, bersama Ragapadmi, entah ke mana asalkan jauh dari Madura. Tapi mengingat ibunya yang lanjut usia, rencana itu tidak segera terlaksana. Dan lagi, ia tak mengira begitu cepat hal ini akan diketahui Prabu Bidarba.
Masalah lain adalah Patih Bangsapati. Bangsacara bukannya tak tahu bahwa Sang Patih itu memendam dengki kepadanya. Akhir-akhir ini, sebagai patih ia jarang dimintai pertimbangan oleh Sang Prabu. Prabu Bidarba justru semakin dekat dengan Bangsacara. Apabila Bangsacara mengembalikan Ragapadmi, tentu Sang Prabu akan semakin suka padanya. Namun sebaliknya, kini masalah Ragapadmi bisa dipakai Patih Bangsapati untuk menjatuhkan Bangsacara di mata Sang Prabu. Dan Sang Patih akan mendapat nama dengan mengembalikan Ragapadmi ke istana.
“Oh, Kanjeng Patih...,” Bangsacara berlutut memberi hormat, “Ampuni hamba, Kanjeng. Hamba tidak tahu kalau Kanjeng Patih juga sedang berburu di hutan ini.” 
“Jangan banyak mulut, Bangsacara!” bentak Sang Patih lagi. “Aku datang ke sini untuk mengakhiri hidupmu!”
Bangsacara terperanjat. Ia melirik tombaknya, masih tertancap di tubuh kijang buruannya, sepuluh langkah dari tempatnya berlutut.
“Ampun, Kanjeng... apa salah hamba?”
“Hmh, pura-pura... Apa yang sudah kaulakukan dengan Putri Ragapadmi?”
Bangsacara terdiam. Tak ada gunanya lagi berdalih. Mengganggu selir raja, tak ada hukuman baginya selain hukuman mati. Lagi, ia melirik tombaknya, menghitung jarak dengan ketiga pengawal Patih Bangsapati. Kembali melintas bayang-bayang semalam kemesraannya dengan Raga- padmi. Maafkan aku Ragapadmi... dunia ini memang bukan milik kita.... Bangsacara menarik nafas panjang. Merasa tak ada jalan untuk menyelamatkan dirinya dan Ragapadmi, ia pun nekat.
“Hei... hentikan dia!” pekik Patih Bangsapati melihat Bangsacara tiba-tiba bergerak cepat.
Ketiga prajurit kepatihan itu serentak menyerang, menghalangi langkah Bangsacara ke arah tombaknya. Beberapa sabetan pedang berhasil dihindarinya, tapi beberapa tetap menorehkan luka di tubuhnya. Melihat darah mengucur dari tubuh tuannya, kedua anjing Bangsacara menjadi kalap. Anjing-anjing itu menyalak dan menyerang para prajurit kepatihan. Sejenak perhatian para prajurit itu terpecah, Bangsacara berhasil mencapai tombaknya. Tapi tak mudah mencabut tombak yang menancap begitu dalam di tubuh kijang buruannya itu. Ketika Bangsacara sedang berusaha mencabut tombaknya, tiba-tiba sebatang anak panah menembus punggungnya, panah yang dilepaskan Patih Bangsapati.
Bangsacara berbalik ke arah Patih Bangsapati. Ia mengacungkan tombak, maju menyerang Sang Patih tanpa menghiraukan luka di punggungnya. Patih Bangsapati berlari ketakutan sambil memanggil para pengawalnya. Bagai memburu seekor kijang, Bangsacara dengan cepat mendekati Sang Patih dan bersiap melemparkan tombaknya. Tapi tiba-tiba ia mendengar lolongan menyayat dari salah satu anjingnya. Anjing kesayangannya itu sedang diinjak oleh salah seorang prajurit kepatihan, dan prajurit itu pun menebaskan pedang untuk menghentikan lolongan-nya.... Tanpa pikir panjang Bangsacara mengubah arah lemparan tombaknya. Prajurit itu pun terjengkang . 
Melihat temannya menjadi korban, prajurit yang lain dengan kalap menyerang Bangsacara. Satu tebasan pedang merobek perutnya, dan Bangsacara pun roboh. Melihat Bangsacara tak berdaya lagi, Patih Bangsapati mendekatinya. Ia menghunus keris, dan mengakhiri hidup Bangsacara.
*  *  *
Ragapadmi mendayung perahunya sekuat yang dia bisa. Gelombang laut mengombang-ambingkan perahu kecil itu, membuatnya kewalahan mengendalikan arah. Namun, walau dengan susah payah, lambat laun Pulau Mandangin kelihatan semakin dekat juga.
Tadi pagi, ia terbangun dengan sangat gelisah. Mimpi buruk di ujung fajar itu seolah menjadi penutup yang pahit dari malam hangatnya bersama Bangsacara. Menakutkan, dalam mimpi ia melihat Prabu Bidarba murka, dan Bangsacara terbujur kaku bersimbah darah. Lebih cemas lagi ia ketika menyadari bahwa Bangsacara tak lagi berbaring  di sisinya.
Ibu Bangsacara mengatakan bahwa laki-laki itu telah pergi pagi-pagi sekali untuk berburu kijang di Pulau Mandangin. Walau wanita tua itu berkali-kali meyakinkan bahwa takkan terjadi apa-apa, karena Bangsacara sudah biasa berburu di sana, tapi Ragapadmi tetap tak bisa tenang. Mengapa Prabu Bidarba murka? Apakah salah yang dilakukannya dengan Bangsacara? Bukankah raja itu telah menendangnya keluar istana, seolah dirinya anjing kudisan?
Ketika matahari makin bertambah tinggi, kegelisahan itu tak lagi bisa dibendungnya. Ragapadmi berlari ke dermaga. Ia bermaksud menyusul Bangsacara ke Pulau Mandangin. Tapi tak ada lagi perahu besar yang akan berangkat ke pulau itu. Ragapadmi hanya menemukan sebuah perahu kecil, entah milik siapa. Tanpa pikir panjang ia mendayung sendiri perahu itu ke arah Pulau Mandangin.
Senja telah merah ketika ia sampai di pantai Pulau Mandangin. Dari pantai terdengar suara anjing yang melolong-lolong menyayat hati. Anjing-anjing Bangsacara! Dengan beribu cemas ia berlari ke arah suara lolongan itu. Dan di tengah rerimbunan hutan Pulau Mandangin ia akhirnya melihat apa yang sudah ia lihat di dalam mimpinya.
Bangsacara meringkuk di tanah bersimbah darah. Di punggungnya tertancap sebatang anak panah. Di ulu hatinya terbenam sebilah keris, begitu dalam hingga hanya terlihat hulu keris itu, yang digenggam erat oleh Bangsacara. Darah menggenang di tanah, dari luka menganga di perutnya. Tiga orang laki-laki berdiri di sekitar Bangsacara, dan satu orang lagi terkapar di tempat lain.
“Kakang...!!” Ragapadmi menjerit histeris. Ia mengham- bur memeluk tubuh Bangsacara yang telah lunglai tak berdaya. Ketika menyadari bahwa ia berada dalam pelukan kekasihnya, Bangsacara membuka mata dan tersenyum. Wajahnya pucat pasi kehabisan darah.
“Yayi Ragapadmi... maafkan aku..,” bisik Bangsacara lemah.
“Kakang! Kakang Bangsacara!” jerit Ragapadmi. “Jangan tinggalkan aku....”
“Cabut keris ini Yayi... biarkan aku pergi...”
“Kakang Bangsacara, kalau Kakang pergi aku akan ikut bersamamu...” Ragapadmi menangis pilu.
Darah menyembur dari jantung Bangsacara ketika Ragapadmi mencabut keris yang menghujam dadanya. Kepala lelaki itu pun terkulai, hembusan nafas terakhirnya terbang bersama nyawanya. Kedua anjing Bangsacara melolong panjang, seolah tahu kepergian tuannya. Hal yang menakjubkan kemudian terjadi. Kedua anjing itu saling menggigit leher temannya, darah pun mengucur deras, dan keduanya pun meregang nyawa, menyusul kepergian tuannya.
Ragapadmi takjub melihat kelakuan anjing-anjing Bangsacara.
“Aduhai anjing, kalau kalian saja bisa menunjukkan kesetiaan begitu rupa, apalagi seorang istri. Kakang Bangsacara, kalau badan kita tak bisa menyatu di dunia, biarlah darah kita yang menyatu di alam sana, hingga kita terlahir kembali bersama.” Ragapadmi memandang keris yang berlumuran darah Bangsacara di tangannya.
“Ragapadmi!” seru Patih Bangsapati. “Bangsacara sudah mati. Kembalilah ke keraton. Bila kau tak ingin lagi berjumpa Prabu Bidarba, istana kepatihan pun terbuka untukmu. Akan kutinggalkan semua perempuan, bila kau mau pulang bersamaku ke kepatihan.”
Ragapadmi tak mendengar semua kata-kata itu. Tanpa sempat dicegah oleh Sang Patih, ia membenamkan ujung keris itu ke dalam jantungnya. Tanpa jerit, tanpa rintihan. Kemudian ia roboh, memeluk tubuh kekasihnya, Bangsacara.
Bangsapati diam terpaku.
Senja memerah. Matahari tenggelam ke pangkuan bumi.   
* * *
Catatan :
Pulau Mandangin terletak di Kabupaten Sampang, Madura. Pulau ini bisa dikunjungi dengan menggunakan perahu dari Pelabuhan Tanglok selama ± 45 menit. Di pulau ini terdapat situs makam Bangsacara - Ragapadmi beserta anjingnya yang setia. Kisah Bangsacara-Ragapadmi diperkirakan terjadi sekitar tahun 1305 Caka (1383 M), pada masa kerajaan Majapahit.