Siapa tidak ingin jatuh cinta? Tentu semua orang ingin jatuh cinta.
Tidak terkecuali aku. Tapi.... Nah, itulah masalahnya. Ada "tapi"
yang selalu menghantui hidupku. "Tapi" yang membuatku selalu ragu dan
takut jatuh cinta.
Ketika Agus, teman sekantorku, mulai melirik-lirik ke arahku, aku malah
jadi bete. Padahal... kurang apa Si
Agus? Jabatannya lumayan di kantor, baru saja diangkat menjadi Asisten Manajer
Personalia. Kalau hubunganku baik dengannya, bisa kumanfaatkan untuk menunjang
karirku. Dia juga tidak jelek. Cukup ganteng malah. Tapi itulah, ada yang
mengganjal. Sikapnya yang sok alim itu membuatku takut.
Aku takut laki-laki itu akan menuntutku menyerahkan sesuatu yang kini
tak kupunyai lagi... kegadisanku. Ya, aku sudah tidak gadis lagi. Bahkan status
janda pun lebih baik dibandingkan keadaanku sekarang. Betapa bodohnya aku! Tapi
seribu kali mengutuk diri pun takkan mengubah keadaan. Nasi telah menjadi
bubur. Kegadisanku telah terenggut dengan sia-sia. Masih pedih rasanya bila
mengingat kejadian itu.
Waktu itu aku baru lulus SMA, masih lugu-lugunya. Euforia memenuhi
rongga dadaku. Aku senang sekali, dan sangat bersemangat. Apalagi ketika Mama
dan Papa mengijinkan aku kuliah di Bandung, meninggalkan kampung halamanku di
Sukabumi. Rasanya senang sekali bisa bebas dari mereka yang mengungkungku sejak
kecil. Kuanggap angin lalu semua nasihat mereka untuk berhati-hati, bahwa dunia
tak selalu sebaik yang kukenal selama ini.
Begitulah, situasi berkembang dengan cepat. Di Bandung, tak kusangka aku
begitu cepat mengenal apa yang disebut "pacaran". Jangan tanya soal
cinta. Aku ragu apakah waktu itu aku mengerti apa itu "cinta". Yang
aku tahu, cowok itu tampak keren di mataku. Namanya Randy, katanya dia juga
suka sama aku. Maka kami pun "jadian". Aku mengabaikan isu yang santer terdengar bahwa dia cowok berandalan. Masalah minum-minum bir sedikit, waktu itu
malah kuanggap macho.
Malapetaka itu terjadi saat liburan semester. Bukannya pulang
kampung ke Sukabumi, aku malah ikut Randy dan geng motornya bertamasya ke Puncak. Kami menginap
di sebuah villa, entah milik
siapa. Tak kusangka, malam itu Randy dan teman-teman cowoknya minum-minum dan
menghisap sabu-sabu. Aku takut melihatnya, lalu menyendiri saja di kamar. Tengah
malam, tiba-tiba Randy menyergapku. Aku tak kuasa melawan. Dan pedihnya, ketika
dia selesai, teman-temannya pun ikut bergiliran
menggasakku.
Parahnya lagi, menjelang subuh, tiba-tiba villa itu digerebek polisi.
Kami semua ditangkap. Polisi menganggap aku cewek panggilan, karena geng Randy
sudah terendus biasa melakukan pesta semacam itu. Untung Papa punya koneksi
dengan orang-orang penting, sehingga aku terbebas dari jerat hukum.
Betapa syok dan malunya aku saat itu. Bagiku, dunia serasa sudah kiamat. Mama dan Papa sampai tak bisa berkata apa-apa lagi karena begitu sedihnya. Walaupun tak
kunyatakan, tapi aku merasa sangat berdosa pada mereka. Aku pun terpaksa putus kuliah. Tak sanggup aku bertemu muka dengan teman-temanku setelah
kejadian itu. Bahkan membuka tirai jendela pun aku tak berani. Selang dua tahun kemudian barulah aku berani kuliah lagi. Tapi di tempat yang jauh, di Malang, dengan pengawasan ketat tanteku.
Kini usiaku tiga puluh delapan tahun, belum menikah, dan masih tinggal
dengan Mama dan Papa. Bukannya aku tidak tahu bahwa banyak orang membicarakanku. Mungkin mereka
menganggap aku “jual mahal” dan terlalu pilih-pilih. Tiada yang tahu perasaanku
sebenarnya. Tiada yang tahu betapa tersiksanya aku oleh perasaan ini. Perasaan
ingin sekali, tapi takut mencoba.
Aku ingin sekali jatuh cinta. Aku ingin sekali menambatkan hatiku pada
seorang laki-laki. Ingin kusandarkan kepalaku di dadanya yang bidang, dan
membiarkan diriku terlelap dalam pelukannya. Seperti bayi terlelap dalam
pelukan ibundanya. Tenang dan damai, seperti tak ada masalah apa pun di dunia
ini, di masa lalu maupun yang akan datang. Tapi... mungkinkah?
Setiap malam aku melamun sambil menatap langit-langit
kamarku. Kubiarkan khayalanku mengembara ke mana-mana. Kutayangkan segala macam
kisah cinta dan adegan romantis di dalam benakku sendiri. Bahkan kuputar
berulang-ulang tayangan itu. Aku berharap, dengan demikian, dalam tidurku aku
akan bermimpi tentang adegan-adegan itu. Dan tentu saja, akulah yang menjadi
pelaku utamanya. Namun, mimpi itu sangat jarang menghampiri diriku. Kalaupun
ada mimpi yang datang, bukan aku menjadi aktrisnya. Bahkan aku menjadi penonton
adegan mesra orang lain. Bah!
Sepertinya, di bawah sadar, aku bahkan juga takut
bermimpi. Mungkin aku takut, mimpi indah yang romantis itu tiba-tiba terkoyak
saat laki-laki itu terhenyak, “Kau... tidak perawan lagi?” Bah, itu lagi... itu
lagi.... Mengapa masalah keperawanan menjadi begitu penting? Tidak ada lagikah
laki-laki yang menghargai seorang wanita yang telah menyesali kebodohannya? Tidak
bernilaikah penyesalanku, yang telah membuatku menghukum diri sendiri selama
bertahun-tahun?
Kalau selaput dara itu begitu penting, mengapa tidak
kujahit saja lagi apa yang telah robek? Aku pernah mendengar itu bisa
dilakukan, asal kita punya uang untuk membayar dokternya. Tapi Mama menentang
keras. Nilai keperawanan bukan pada
selaput dara, katanya, tapi pada
kejujuran dan akhlakmu. Benarkah? Aku tidak tahu.
Setiap kali ada lelaki mendekatiku, apalagi yang bertampang alim, aku
langsung ketakutan sendiri. Bagaimana bila dia mengetahui aku tidak perawan
lagi? Lebih parah lagi, bagaimana kalau dia akhirnya tahu apa yang terjadi
sehingga aku tidak perawan lagi?
Begitulah, aku semakin ketakutan ketika Agus
semakin aktif mendekatiku. Aku pura-pura cuek
kepadanya, walaupun pada malam hari aku selalu berkhayal dibelai-belainya,
hingga kubawa ke dalam mimpi. Ketika aku sudah tidak tahan lagi dengan perasaan
seperti ini, aku pun memutuskan untuk keluar saja dari pekerjaanku sekarang,
supaya tak bertemu lagi dengannya. Maka siang ini, dengan memasang muka datar, aku menyerahkan surat pengunduran diri
pada manajerku di kantor.
"Sebentar, Mbak Nayla," kata Pak Broto, manajerku.
"Tapi ada pesan dari Asisten Manajer Personalia untuk menyerahkan surat
ini pada Mbak Nayla kalau jadi mengundurkan diri."
Surat itu tersegel rapi, dalam amplop dengan cap CONFIDENTIAL (SANGAT
RAHASIA). Ketika kubuka, kudapati selembar surat tulisan tangan Agus sendiri:
Dear Nayla,
Maafkan aku, tapi
aku mohon pertimbangkan lagi pengunduran dirimu. Sudah bertahun-tahun aku mencarimu, dan aku tidak mau kehilanganmu lagi.
Pamankulah pemilik villa celaka itu, jadi aku tahu semua apa yang telah terjadi padamu. Aku juga kuliah di Bandung, dan aku sangat menyesal
tidak berhasil mencegah apa yang terjadi padamu waktu itu. Aku jatuh cinta
padamu pada pandangan pertama, dan akan tetap begitu selamanya. Apapun yang
terjadi padamu tidak akan memupuskan cintaku. Izinkanlah aku bertahta di hatimu
hingga akhir hayat kita berdua.
Dari pecinta rahasiamu,
Agus Melas.
Glek!
MALANG
21/09/2012
Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar