26.10.13

Rembulan di Tepian Lematang





L
idah malam merayap perlahan, menggerayangi permukaan bumi, lalu mendekapnya dalam kegelapan yang membekukan. Langit terhampar bagai beludru hitam dengan butir-butir berlian yang pecah menghambur. Di serambinya duduk Sang Rembulan, menyembunyikan sebagian wajahnya, bagai gadis yang mengintip dari balik tirai. Malam ini bukan malam purnama, ketika ia bisa tampil telanjang bulat, membiarkan seluruh jagat raya ternganga memandangnya. Namun, walau tidak sempurna, masih terlihat bayang-bayang bulan separuh itu berpendar di antara riak-riak sungai Lematang.

Angin berhembus dengan malas. Tak terdengar deruannya. Namun cukup membuat pucuk-pucuk daun pohon balam di se-panjang tepian sungai itu terangguk-angguk dalam kantuknya. 

Harun bersandar pada sebatang pohon balam, tidak mengantuk seperti pohon yang disandarinya. Matanya menatap bulan se-paruh yang melayang diam, dua tombak di atas permukaan sungai. Bibirnya yang sumbing dengan belahan di langit-langit mulutnya itu ternganga dalam diam. Tubuh kurusnya yang terbalut kaus robek dan celana kolor itu membeku dalam belaian angin malam. Raut mukanya mematung, tapi tidak menampakkan rasa kedinginan. Bahkan ia tidak menyilangkan lengan ke dadanya untuk menahan dingin.   

 Aku datang dari sana.... 

Harun ingat gadis itu menunjuk ke arah sungai, gadis yang melayang masuk ke dalam mimpinya itu.


Saat purnama menerangi Lematang, kau kan bisa melihatku, dan menyentuhku...

Begitu dikatakan gadis itu ketika Harun yang terpesona mengulurkan tangan untuk menyentuh wajahnya.


Tapi Harun tak merasakan ujung jarinya menyentuh sesuatu. Bayangan gadis itu beriak menggelombang. Seperti bayangannya sendiri kala ia mengaca di permukaan Lematang, yang menghambur dalam riak gelombang ketika ia meraup air. Namun itu bukan bayangan wajahnya yang sumbing, yang ia sendiri sering memejamkan mata karena tak ingin melihatnya. Itu wajah seorang gadis yang molek, dengan rambut hitam tergerai gemerlap memantulkan cahaya rembulan.


Dan itu bukan bayangan, karena ia tidak sedang mengaca. Itu betul-betul seorang gadis yang berdiri di hadapannya, namun tidak bisa disentuhnya. Ketika ia mendekat, gadis itu menjauh. Harun pun berlari mengejarnya. Gadis itu menjauh dengan berjalan tenang, bukan berlari. Namun tak terkejar olehnya.


Belum sekarang, tunggulah terangnya purnama
....

Suara merdu mendayu itu mengalun bersama hembusan angin.


Bila saatnya tiba, kau kan bisa ikut denganku
....

Harun terus mengejarnya, hingga kakinya terasa dingin dan berat karena berjalan memotong arus sungai. Gadis itu terus melayang menjauh bagai berjalan di permukaan air, hingga menghilang dalam kabut dini hari. Dan Harun pun tersentak oleh teriakan-teriakan Mat Sudi, yang dengan tergesa mendayung biduk ke arahnya. Tersadar, Harun mendapati dirinya di tengah sungai, terendam sebatas pinggang.   


Mimpi itu tak pernah diceritakannya pada siapapun, termasuk Mat Sudi. Sejak bertemu dengan gadis dalam mimpinya itu, tiap malam Harun selalu berada di tepi sungai. Ia berdiri mematung, atau bersandar ke batang pohon, memandangi bulan yang kian hari kian penuh. Atau menatap ke arah sungai yang berkabut, seperti menunggu sesuatu akan keluar dari balik kabut. Sementara Mat Sudi, yang tiap malam berperahu sambil membawa jala dan pancingnya menyusuri Lematang, memandanginya dari jauh dengan heran dan sedikit cemas.
Bagi Harun, kalau ada yang bisa disebut sebagai keluarga setelah ibunya meninggal, mungkin hanya Mat Sudilah orangnya. Mat Sudi adalah anak saudara sepupu ibunya. Biarpun Mat Sudi tak begitu perhatian terhadapnya, tapi dialah satu-satunya orang yang selalu menyapanya bila bertemu. Orang-orang lain hanya bicara dengannya bila betul-betul perlu.

Mat Sudi juga yang menceritakan pada orang-orang di dusun kejadian aneh dini hari itu. Katanya, pemuda sebatang kara itu tiba-tiba berlari seperti mengejar sesuatu hingga jauh masuk ke tengah sungai. Mat Sudi menduga pemuda itu mengigau hingga berjalan dalam tidurnya. Orang-orang yang mendengar ceritanya mengangguk-angguk setuju. Mereka juga setuju bahwa perilaku Harun beberapa hari ini agak aneh. Jangan-jangan pikiran pemuda itu sudah terganggu. Bila kejadian kemarin itu terulang, sementara tak ada orang yang menolongnya, pemuda malang itu bisa celaka dihanyutkan arus Sungai Lematang.


Orang-orang punya alasan untuk mengira bahwa pemuda itu terganggu jiwanya. Sampai dengan umurnya yang lewat empat puluh tahun, Harun tinggal berdua saja dengan ibunya di sebuah pondok di tepi sungai. Dan ibunya yang kian menua itu pun akhirnya meninggal dua minggu yang lalu. Hanya segelintir orang yang datang menyaksikan pemakamannya. Jenazahnya tidak dimakamkan di pemakaman umum di dusun, namun di bawah tiang pondoknya di tepi sungai itu. Saat itulah orang melihat wajah Harun membeku dalam raut muka yang aneh. Tidak ada ratap tangis. Tapi orang tahu pasti bahwa kematian ibunya telah memukulnya begitu berat.


Pada usianya sekarang ini, Harun tak bisa lagi disebut “anak” yatim-piatu. Namun orang memahami jika kepedihannya tidaklah kurang dari seorang anak yatim-piatu. Betapa tidak, saat ini Harun betul-betul sebatang kara. Orang seperti dia tak bisa berharap akan mempunyai teman hidup selain ibunya, yang akhirnya meninggal itu. Ya, bagaimana mungkin ada yang mau kawin dengannya? Sedangkan tak seorang pun janda, apalagi gadis, yang tak membuang muka setiap kali tampak oleh mereka wajahnya yang sumbing itu.

Masalahnya bukan hanya wajah sumbing itu. Kabar burung tentang dari mana ia mendapat wajah serupa itulah yang lebih mengerikan bagi kebanyakan orang. Orang tua-tua di dusun tentu tahu tentang cerita di balik kelahirannya empat puluh tahun yang lalu, dan mereka menceritakannya pada anak-anak serta cucu-cucu mereka. Semua orang sepakat bahwa bukan dari ibunya ia mendapat wajah mengerikan itu. Konon ibunya dulu adalah seorang gadis yang teramat cantik. Tapi jika bukan dari ibunya, lalu  siapakah bapaknya?

Bahkan Mat Sudi, yang masih kecil saat kejadian yang menggemparkan desanya itu terjadi, bisa mengatakan dengan yakin bahwa emak Harun itu dulunya tercantik diantara gadis-gadis di dusunnya. Banyak lelaki bujangan, duda, bahkan yang sudah beristri, berminat meminangnya. Orang tuanya pun menimbang-nimbang dengan bimbang karena begitu banyaknya pilihan. Namun pada akhirnya tidak satupun pinangan itu diterima.

Sebagaimana gadis-gadis remaja lainnya, emak Harun suka bermain di sungai. Namun dibanding gadis-gadis lain, dialah yang paling suka bermain di sungai. Ia suka berlama-lama di sungai, seringkali hingga lewat senja hari. Orang tuanya pun sering me-negurnya. Mereka menganggap ia mencari-cari alasan saja untuk berlama-lama di sungai.


Pada suatu hari, gadis remaja itu tidak pulang dari sungai sampai hari gelap. Keluarganya pun cemas. Orang-orang sibuk mencarinya ke segala penjuru, tapi tak menemukannya. Saat fajar menyingsing, ada seorang pedagang berperahu yang sedang meng-hilir Sungai Lematang, melintasi dusun itu. Ia penasaran melihat sesuatu teronggok di bagian sungai yang agak dangkal, lalu di-dekatinya. Alangkah terkejutnya ia melihat onggokan itu. Ternyata seorang perempuan yang sedang duduk berendam di sungai. Matanya terbeliak. Mulutnya komat-kamit mengeluarkan kata-kata yang tak jelas. Kontan saja pedagang itu berteriak-teriak memanggil penduduk dusun.


Gadis itu segera digotong ke rumahnya. Dukun kampung pun dipanggil. Orang-orang sedusun mengerubunginya. Yang tidak kebagian tempat di dalam rumah berdesak-desakan di bawah rumah. Entah apa yang dikatakan gadis itu mengenai kejadian yang menimpanya. Entah apa pula “diagnosis” dukun kampung yang memeriksanya. Yang jelas, desas-desus dengan cepat menjalar di antara orang-orang yang berdesakan itu.


Komentar yang paling populer adalah bahwa gadis itu telah diculik antu ayek, hantu air. Bahasa ilmiahnya: tenggelam terseret pusaran air dalam sungai. Karena menolak diperistri oleh hantu itu, maka ia dikembalikan ke permukaan sungai. Orang-orang tua memuji gadis itu karena tidak mudah terbius oleh rayuan hantu air. Padahal kebanyakan orang tak kuasa menolaknya. Kedua orang tuanya sangat bersyukur. Acara selamatan pun digelar. Untuk itu mereka memotong seekor kerbau, kerbau terbesar di dusun itu.


Namun tentu saja, tak pernah ada pendapat bulat. Walau-pun orang-orang tua di dusun sepakat dengan pendapat tersebut, tapi perempuan-perempuan muda punya komentar tersendiri. Ter-tama mereka yang belum laku kawin. Menurut mereka, bukan gadis cantik itu yang berjaya menolak rayuan, melainkan hantu itu yang kecewa karena gadis itu tidak perawan lagi. Ups! Begitu mereka pura-pura menutup mulut saat mengatakannya. Mereka bilang, hantu itu marah dan menendang gadis itu keluar istananya dengan kutukan dan sumpah-serapah. Akibat kutukan itulah, hingga bebe-rapa hari dia masih seperti orang linglung. Untuk membuktikan teori ini, tentu saja harus diadakan tes keperawanan!


Kaum lelaki di dusun, yang mengklaim selalu menggunakan akal sehat, punya teori lain. Bukan berarti mereka tidak percaya bahwa ada hantu bertahta di dalam sungai. Mereka juga sama mengimani hal itu. Tapi mereka mencatat bahwa ada dua hal yang tidak masuk akal. Pertama, tidak mungkin seorang perempuan bisa selamat dari hantu itu. Sedangkan orang laki-laki, yang tenggelam sebelumnya, tidak ada yang kembali dalam keadaan hidup. Dan kedua, seandainya mereka yang jadi hantu air, tak mungkin dilepas-kannya gadis secantik itu. Tak peduli dia mau dikawini dengan sukarela atau tidak! Maka, mereka membuat teori sendiri. Mereka lebih percaya kalau yang menculik gadis itu semalam adalah... diantara mereka sendiri (sambil saling melirik curiga). Tapi soal tes keperawanan mereka setuju-setuju saja. Siapa tahu, mereka yang diserahi tugas melakukan tes itu.


Sebetulnya masih ada satu teori lain. Tapi yang ini minoritas sekali. Pengusungnya hanya satu orang, pedagang kain yang baru pulang dari kota. Ia sering nonton film layar lebar di sana. Dengan yakin pedagang itu menyatakan bahwa gadis itu telah diculik oleh UFO. Usai dijadikan kelinci percobaan oleh makhluk-makhluk asing itu, lalu dikembalikan ke tepi sungai. Eksperimen makhluk luar angkasa itulah yang membuat gadis itu menjadi linglung. Sampai sore, orang itu mengoceh panjang-lebar tentang teorinya. Diam-diam orang meninggalkannya satu per satu. Jadilah ia mengoceh sendirian. Selanjutnya, tak pernah lagi pedagang kain itu diundang sebagai pembicara di warung kopi, setiap kali diskusi mengenai kasus itu digelar.


Waktu terus berjalan. Kejadian itu pun makin pudar dari perhatian orang, tersapu oleh isu-isu baru yang terus datang silih-berganti. Selang tiga purnama sesudah kejadian itu, tak ada lagi orang membicarakannya. Bahkan, mungkin sudah betul-betul dilupakan. Seandainya tetap begitu, kejadian itu akan terhapus selamanya dari kenangan penduduk dusun. Namun kemudian, satu kabar tiba-tiba menyeruak, melambung, dan pecah berderai-derai: gadis itu hamil!  


Bersambung ke Bagian 2.

Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar