22.12.14

Jangan Biarkan Anakmu Mengail Bintang di Langit




"Hai, mau ke mana, Adit?"
"Mengail bintang di langit, Ayah."
"Hah?"
 * * *




 Namanya Adit. Umurnya belum genap sembilan tahun. Ia anakku yang kedua. Gurunya di sekolah menyebutnya anak yang aneh.
"Kemarin kita dipanggil wali kelasnya," cerita istriku suatu hari. Memang selama ini dialah yang menangani urusan apapun di sekolah anak-anak.
"Ada apa?" tanyaku.
"Gurunya bilang ia sedikit... aneh."
"Aneh bagaimana?"
"Di sekolah ia sering melamun, tidak memperhatikan guru yang sedang mengajar, bahkan kadang-kadang bergumam sendiri."
"Apa pelajarannya di sekolah terganggu?" tukasku khawatir.
"Tidak, nilai-nilainya selalu bagus," jawab istriku, jadi kupikir belum terlalu mencemaskan.
Aku teringat, waktu aku masih SD, ibuku pun sempat dipanggil ke sekolah gara-gara aku suka bicara sendiri alias mengkhayal. Guruku bilang, jangan-jangan aku punya bakat sakit jiwa. Hi hi hi... ibuku pulang sambil mengomel panjang-pendek. "Masa iya, anakku dibilang sakit jiwa. Itu guru sinting 'kali ya?" Dan saran untuk membawaku ke psikiater sama sekali tak dihiraukan, malah aku mendapat dua jeweran di kuping, dan beberapa hari harus mendengar omelan tentang jangan bertingkah memalukan orang tua.
Namanya juga anak, wajar kalau tingkah-lakunya tidak beda jauh dengan bapaknya.
Kali ini pun sama, wali kelas Adit menyarankan kami berkonsultasi dengan psikolog anak. Bahkan sudah diberikannya kartu nama psikolog itu dan tarifnya. Bisa pula diundang ke sekolah untuk konsultasi secara kolektif. Aku mengiyakan saja. Paling tidak, Bu Guru anakku ini lebih pintar bicara daripada guruku dulu, buktinya istriku sama sekali tidak tersinggung, bahkan mau pula keluar uang gara-gara itu.
Gara-gara omongan gurunya itu, aku jadi lebih memperhatikan tingkah laku Adit. Setiap ada kesempatan di rumah, walau tidak lama, aku selalu mengamatinya dengan curiga, kira-kira keanehan apa yang dilakukannya.
Mungkin gurunya betul juga. Setelah kuamat-amati dengan seksama, anakku sepertinya menunjukkan tanda-tanda keanehan. Kemarin ia memanaskan sabun colek di atas wajan. Katanya ia ingin tahu apakah sabun colek itu bisa dipakai untuk menggoreng, karena warnanya sama dengan margarine. Itu mengingatkanku pada kejadian sebelumnya, ia menumbuk obat nyamuk bakar yang berwarna coklat, lalu mencampurnya dengan air, dan membalurkannya ke kaki adiknya yang keseleo. Katanya itu param kocok, warnanya sama coklatnya.
Suatu hari, kebetulan pulang kantor agak cepat, aku melihat Adit sedang bermain masak-masakan dengan beberapa anak perempuan di sudut lorong menuju rumahku. Mereka memasak batu kerikil, pecahan genting, serta gumpalan tanah liat yang dibulat-bulat. Adit kulihat membuat cairan berwarna coklat-kehitaman dan dimasukkannya ke dalam botol bekas Coca-Cola. Sepertinya itu air comberan yang dicampur sisa cat bekas, karena kulihat ada beberapa kaleng bekas cat di situ. Ketika kutanya untuk apa itu, ia menjawab itu pura-puranya minyak untuk memasak. Syukurlah, tadinya kukira ia sedang membuat Coca-Cola sendiri.
Tapi karena masih curiga ia menyembunyikan ide lain tentang cairan itu, maka kusuruh anak itu cepat pulang, meninggalkan permainan dan kawan-kawannya. Aku khawatir ia akan benar-benar meminum "Coca-cola" yang dibuatnya itu. Hm, entahlah, jangan-jangan aku sudah jadi paranoid gara-gara omongan gurunya.
Hari ini aku pulang telat, seperti biasa. Jamaah sholat magrib baru saja bubar ketika aku lewat di depan musholla dekat rumahku itu. Hampir aku bertabrakan dengan Adit di depan pintu ketika anak itu berlari keluar, seperti terburu-buru. Kulihat ia memegang gelas plastik bekas air mineral, berisi beras hampir penuh.
"Hai, mau kemana, Adit?" Sergahku sambil menahan bahunya. Sudah lewat magrib, harusnya ia tidak boleh keluar rumah.
"Aku mau mengail bintang di langit, Ayah."
"Hah?"
Aku mengernyitkan dahi. Jawaban yang aneh.
"Maksudmu?"
"Mengail bintang... di langit," ulangnya, tidak ada penjelasan lain selain tangannya yang menunjuk ke atas.
"Ah, mana ada orang mengail bintang? Dan mengapa pula bawa-bawa beras?"
"Oh, Ayah pasti belum tahu, mengail bintang di langit itu pakai secanting beras. Itu ada di buku, Yah."
Aku melongo. "Buku apa?"
Adit berlari masuk ke dalam kamar. Aku mengikutinya. Ia membongkar tumpukan buku-buku dalam tas sekolahnya, lantas mengambil sebuah buku dengan sampul bernuansa kecoklatan bergambar pohon besar.
"Kubilang akan mengail bintang di langit dengan secanting beras...." Adit membacanya dengan irama khas anak SD.
"Mana.... Ayah lihat!" sahutku sambil menyambar buku itu dari tangannya.
Dentang Kesunyian, begitu judul yang tertulis di sampul depan. Ah, ternyata ini buku kumpulan puisi. Tidak terlalu tebal, hanya 100 halaman. Nama penerbitnya tidak kukenal, mungkin penerbit baru. Juga nama-nama penulisnya yang ada lima puluh lebih itu, tak satu pun yang pernah kudengar. Ah, memang aku bukanlah pembaca tulen. Terakhir kali aku membaca puisi sudah dua puluhan tahun lalu, ketika masih SMP, itu pun terpaksa karena mengerjakan tugas Bahasa Indonesia.
"Ini kan buku puisi? Apa hubungannya dengan...."
"Baca ini, Yah... yang tentang mengail bintang," sela Adit sambil menunjuk halaman yang tadi dibacanya.
Puisi itu berjudul Di Langit pun Ada Kapitalisme. Ah, judulnya saja sudah aneh. Tapi kuteruskan juga membacanya.

Mereka tertawa
waktu kubilang akan mengail bintang di langit
dengan umpan secanting beras
Entahlah,
Apa harus kusediakan sebongkah berlian
untuk menarik bintang-bintang itu turun ke bumi
Baru kutahu,
di langit pun ada kapitalisme.

"Secanting itu seberapa, Ayah?"
Aku terkejut. Ketika sedang tercenung memikirkan makna puisi itu, pertanyaan Adit mengagetkanku. Secanting? Aku lupa itu seberapa, sepertinya itu perangkat ukuran jaman kuno.
"Mmm... mungkin sebaskom itu," jawabku asal saja sambil menunjuk baskom plastik di atas meja.
"Ups, berarti ini kurang," sahut Adit. Ia segera menyambar baskom plastik itu dan lari ke dapur, tempat ibunya menyimpan beras.
"Hai, mau kemana?" panggilku.
"Ke lapangan sebelah musholla itu, Ayah. Aku mau mengail bintang."
"Jangan, ini sudah lewat maghrib."
"Besok libur... kenapa nggak boleh main?" Raut wajahnya memelas.
"Ya, tapi jangan jauh-jauh, di belakang rumah saja."
"Banyak pohon di belakang rumah, Ayah. Apa bintang-bintang bisa melihat umpan ini?"
Huh, seharusnya anak ini kuberi penjelasan, sebesar apa sebenarnya bintang-bintang itu, dan bahwa tidak mungkin mengailnya seperti mengail ikan. Puisi itu hanya kiasan, tentu penulisnya punya maksud lain yang susah dicerna anak SD. Tapi sayang, waktunya tidak tepat, aku sedang terlalu capek untuk membicarakan hal itu.
"Ah, coba saja dulu!" kataku akhirnya.
Adit langsung lari ke belakang rumah. Ada sepetak halaman kosong di sana, cukup lapang untuk bermain anak-anak. Masalahnya tidak jauh dari situ ada saluran irigasi yang kadang-kadang airnya cukup dalam, serta deretan rumpun bambu yang rimbun di sepanjang tepiannya. Aku sudah memagari halaman belakang itu dengan bilah-bilah bambu, tapi aku tahu anak-anak bisa menerobosnya.
"Jangan keluar pagar, Adit!" Teriakku memperingatkan.
"Iya, Yah!"
Selesai mandi dan sholat magrib, aku duduk ruang tengah, menunggu istriku menyiapkan makan malam. Semula aku hendak membaca koran, tapi kemudian perhatianku kembali terpaut pada buku puisi yang tadi diperlihatkan Adit. Kubuka-buka lagi buku itu, penasaran. Ada cap perpustakaan sekolah, berarti Adit meminjamnya dari sana. Tapi seharusnya ini bukan untuk anak SD, mestinya petugas perpustakaan memilah buku apa saja yang boleh dipinjam anak umur sembilan tahun.
Mengail bintang di langit... apa yang dimaksud oleh penulisnya? Hm, bagi orang dewasa mungkin tak sulit menebak maknanya. Bintang di langit itu bisa diartikan para petinggi. Mereka bisa pemerintah, anggota dewan, penegak hukum, atau yang semacam itu. Mengail bintang? Dengan secanting beras? Mungkin maksudnya menarik perhatian mereka terhadap kesengsaraan rakyat kecil, atau bisa juga diartikan menyuap.
Ternyata di langit pun ada kapitalisme....
Di lembaga tinggi negara, misalnya Mahkamah Agung, atau Mahkamah Konstitusi, yang keputusannya bersifat final dan mengikat... Ya ampun, final dan mengikat? Seperti firman Tuhan saja! Harusnya tak boleh ada kesalahan.
Ya, keputusan "langit" tak boleh salah. Tapi bagaimana kalau ternyata langit bisa disuap? Ketua Mahkamah Kontitusi pun ternyata bisa disuap. Ternyata dia memang manusia biasa, bukan malaikat. Kalau tak bisa disuap dengan secanting beras, bawakanlah segenggam berlian. Kalau tak mempan dengan duit semilyar, bawakanlah sepuluh milyar. Akhirnya toh takluk juga.
"Ayah! Ayah!" Tiba-tiba Adit menghambur masuk sambil berteriak-teriak. Aku tersentak. Anak itu pucat-pasi ketakutan sambil tangannya menunjuk-nunjuk belakang rumah.
"Ada apa, Adit?" tanyaku heran. Adit berusaha menjawab, tapi suaranya terbata-bata tak jelas. Di luar mulai terdengar suara gemeretak sambung-menyambung.
"Astaga... Yah! Bambu-bambu itu terbakar!" teriak istriku.
Aku menghambur keluar. Betul, rumpun bambu di tepi saluran irigasi itu sedang berkobar oleh api yang dengan cepat menjalar. Sudah hampir enam bulan tidak turun hujan, rumpun bambu itu memang sedang kering. Aku berteriak mengingatkan para tetangga. Ini sangat berbahaya. Beberapa rumah di komplek kami sangat dekat dengan rumpun bambu itu.
Suasana petang yang semula hampir menggelap itu mendadak berubah heboh. Langit menjadi benderang lagi akibat kobaran api dari rumpun bambu itu. Orang-orang berhamburan keluar rumah. Semua membawa ember, timba, gayung, atau apa saja yang bisa dibawa. Untung masih ada cukup air di saluran irigasi itu, jadi walaupun sempat cemas, akhirnya api berhasil dipadamkan.

Beberapa saat setelah api padam, aku masih sempat mengobrol dengan para tetangga sambil memeriksa kalau-kalau masih ada sisa bara api. Tidak ada yang tahu bagaimana asal mulanya timbul api, tapi kebanyakan menduga ada orang ceroboh membuang puntung rokok atau anak-anak bermain kembang api di sekitar situ.
Ketika kembali masuk ke rumah, aku terkejut melihat Adit meringkuk di pangkuan ibunya. Bibirnya gemetar, mukanya pucat. Ibunya berusaha menenangkannya, tapi kelihatan ia masih ketakutan. Adiknya yang berumur lima tahun ikut-ikutan memegangi kaki kakaknya dengan raut muka antara takut dan bingung.
"Tidak apa-apa, Adit. Apinya sudah padam," ujarku menghiburnya.
"Aku tidak akan mengail bintang lagi, Ayah," katanya dengan suara gemetar.
"Oh iya, memang bintang itu tidak bisa dikail begitu saja seperti...."
"Harusnya aku tidak mengail bintang yang merah!" sahutnya.
"Maksudmu?"
"Bintang itu jatuh di bambu-bambu, untung bukan di rumah kita." Ia mengatakan itu sambil menggelengkan kepala, seperti takut membayangkan sesuatu.
"Adit melihat orang membuang puntung rokok atau anak-anak bermain api?" tanyaku untuk meluruskan.
"Bukan Ayah, bintang merah itu jatuh dan menimpa bambu-bambu!" sahutnya meyakinkan.
"Bintang merah apa?"
"Yang kita lihat kemarin. Bintang yang kutunjukkan pada Ayah itu... yang merah."
Sejenak aku berusaha mengingat-ingat.... Ah ya, beberapa hari lalu ketika kami sedang duduk-duduk di beranda rumah, Adit menunjuk sebuah bintang di langit, lantas bertanya mengapa bintang itu berwarna merah. Aku tidak tahu mengapa. Soal bintang-bintang bukanlah urusanku. Tentunya ada orang yang berwenang mengurusnya, bukan aku. "Bacalah buku IPA-mu, mungkin ada tertulis di sana," jawabku asal saja. Aku lupa kalau ia masih kelas 3 SD. Apakah ilmu perbintangan ada di buku pelajaran kelas 3 SD? Ah, tak tahulah.
"Apa makan malam sudah siap?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Adit, makanlah. Sudah itu bobok, ya. Besok bangun pagi-pagi, kita jalan-jalan."
Adit hanya diam tak bereaksi, tapi adiknya bersorak sambil meloncat-loncat kegirangan. Aku memang jarang meluangkan waktu berjalan-jalan dengan anak-anak, walau aku tahu mereka menyukainya. Kakak Adit yang hampir lulus SD melongok sebentar dari kamar mendengar sorakan adiknya, lalu kembali sibuk dengan permainan game online-nya.
Malam ini Adit makan sedikit sekali, itu pun setelah dipaksa-paksa ibunya. Aku sempat khawatir dia menjadi stres gara-gara kejadian tadi. Tapi kekhawatiran itu kukira tak beralasan ketika kemudian adiknya menghidupkan TV, serial favorit mereka, Spongebob Squarepants. Kedua anak itu tertawa terkekeh-kekeh menonton episode yang mungkin sudah ratusan kali mereka tonton. Syukurlah, kuharap ia sudah melupakan soal bintang jatuh itu.
"Cari apaan sih?" tanyaku penasaran melihat istriku sibuk mencari-cari sesuatu.
"Baskom plastik, perasaan tadi kutaruh di sini," jawabnya sambil menunjuk meja.
Hah, aku jadi teringat. Baskom kecil itu tadi dibawa Adit ke belakang rumah untuk mewadahi beras. Bergegas aku pergi ke belakang, jangan-jangan Adit meninggalkannya di sana. Kalau hilang, pasti aku yang kena marah.
Betul, baskom itu tergeletak di halaman belakang, pasti Adit meninggalkannya karena lari ketakutan. Tapi yang aneh... tak sebutir beras pun ada di baskom itu. Juga tak ada bekas tumpahan beras di sekitarnya. Penasaran, aku mengambil senter dan menyoroti seluruh sudut halaman belakang rumahku, sampai ke balik pagar dan rumpun bambu yang masih sedikit mengepulkan asap itu. Betul-betul tak kutemukan sebutir beras pun. Kemana anak itu membuangnya?
Aku tak bisa menanyakan pada Adit. Tak ada gunanya mengungkit-ungkit kejadian yang telah membuat anak itu ketakutan.  Kupandangi langit yang kelam. Jutaan bintang bertaburan di sana. Aku mencari-cari bintang merah yang beberapa hari lalu kusaksikan bersama Adit, tapi aku tak menemukannya. Bintang merah itu tidak ada lagi.

* * *

Jam sepuluh malam. Aku berada di dalam kamar Adit, meminjam meja belajarnya untuk mengetik tugas yang kubawa dari kantor. Aku biasa begitu, karena hanya lampu kamar Adit yang kami biarkan menyala sepanjang malam. Anak itu memang tak bisa tidur dengan lampu dimatikan.
Selesai mengetik, laptop kumatikan dan aku bersiap hendak tidur, ketika kudengar anakku memanggil dengan berbisik, "Ayah...."
Aku menoleh, kulihat Adit sedang duduk di atas tempat tidurnya.
"Hai, kamu belum tidur, Adit?"
Raut mukanya aneh, seperti menyimpan pertanyaan besar.
"Ayah...."
"Ya?"
"Kalau kita panggil bulan, apakah ia akan datang?"
Aku terhenyak.
Mataku seketika tersangkut pada sebuah buku yang tergeletak di meja belajarnya. Dari tadi aku melihatnya, tapi tak menarik perhatianku. Seperti buku pertama yang membikin masalah itu, sepertinya ini juga buku puisi. Judulnya tak kalah aneh: Bulan, Datanglah.
"Hus! Ini masih malam, Adit. Tidurlah!"
Anak itu merebahkan tubuhnya ke atas kasur seraya menutup mukanya dengan bantal. (*)

5.8.14

Ilalang Berbisik dan Lentera Bibi Gurnish




"Ilalang Berbisik akan memberimu jawaban," ujar Paman Lenoch. Laki-laki cebol berjanggut putih itu mengatakannya setelah Akelia mengancam akan membeberkan rahasianya pada penduduk desa.
Gadis berambut coklat itu membuntuti laki-laki cebol yang oleh penduduk desa disebut Paman Lenoch, Si Pencuri Lentera, hingga ke tempat persembunyiannya. Ternyata orang aneh itu tinggal di bawah sebuah pohon beringin raksasa. Dengan menggaruk batangnya lantas mengucap, "Demi lentera Neptunus, bukalah!" akar-akar pohon besar itu tiba-tiba bergerak. Pohon terangkat dan tampak lubang besar di tanah. Pencuri lentera itu meloncat masuk dan lubangnya kembali tertutup pohon besar.
Malam sangat gelap. Bahkan ini malam tergelap dalam sebulan. Tak secuil bulan pun bertengger di langit. Ini malam ketika orang-orang tua berkata pada anak-anak, "Tidurlah lekas-lekas, pejamkan matamu rapat-rapat, jangan sampai kau melihat Paman Lenoch mencuri lentera."
Penduduk desa menandai kalender, supaya tidak terlewat akan tibanya malam gelap ini. Bila saatnya tiba, mereka memasang lentera di depan rumah masing-masing. Tengah malam, Paman Lenoch akan datang mencuri salah satu lentera itu, dan keesokan harinya, salah satu penghuni rumah yang kehilangan lentera akan jatuh sakit. Demam berkepanjangan, kadang sembuh dan kadang meninggal.
Bagaimana bila seluruh desa kompak tidak memasang lentera? Konon, wabah penyakit justru akan menyebar ke seluruh penduduk desa.
"Jangan pernah memergoki Paman Lenoch mencuri lentera, karena ia akan membawamu pergi. Siapapun yang dibawanya pergi, takkan pernah kembali," begitu kata orang-orang tua.
Nenek Humbia, perempuan paling tua di desanya, pernah bercerita bahwa laki-laki cebol itu dulu juga penduduk desa ini. Karena merasa diperlakukan buruk, ia menjual jiwanya pada setan untuk membalas dendam pada penduduk desa.
Walau takut, Akelia merasa senasib dengan Paman Lenoch. Orang-orang sering mengolok-olok rambutnya yang coklat dan asal-usulnya yang tidak jelas. Sejak kecil ia tinggal bersama keluarga Gurnish. Tapi walau ia menyebut mereka paman dan bibi, mereka tak memperlakukannya sebagai keponakan. Di rumah itu, Akelia diperlakukan lebih rendah dari keledai penarik pedati.
Setiap malam tergelap itu datang, ia berharap Paman Lenoch mengambil lentera keluarga Gurnish. Harapan itu pernah terwujud sekali, beberapa tahun lalu, sehingga Paman Gurnish jatuh sakit. Pamannya sembuh setelah membeli obat-obat yang mahal, tapi meninggal kemudian akibat mabuk dan jatuh dari kereta.
Akelia tidur di gudang jerami, menempel tapi tidak satu rumah dengan Bibi Gurnish. Tengah malam, ketika ia terjaga antara takut dan penasaran, terdengar suara denting lonceng kecil di luar pondoknya. Itu dia! Menurut cerita, Paman Lenoch mengenakan kalung berlonceng kecil, yang berdenting-denting bila ia berjalan terpincang-pincang.
Akelia mengintip dari celah pintu. Dilihatnya orang cebol berkerudung hitam itu berjalan menenteng sebuah lentera. Pasti itu lentera Bibi Gurnish! Besok, jika bukan bibinya, bisa jadi dirinya yang terkapar sakit. Tak mungkin Bibi Gurnish mau membelikannya obat. Pasti ia akan dibiarkan saja mati.
Tiba-tiba timbul ide di benak Akelia. Ia harus pergi meninggalkan rumah ini agar kutukan itu tidak mengenai dirinya. Ke mana? Mungkin mengikuti Paman Lenoch. Jika benar orang aneh itu dulu penduduk desa ini, pasti dia telah hidup sangat lama. "Mungkin dia tahu rahasia-rahasia tentang asal-usulku," pikir Akelia.
Akelia berjalan mengendap-endap sambil meraba-raba, membuntuti orang cebol yang menenteng lentera itu. Malam sangat gelap, gadis remaja itu berkali-kali terantuk batu dan tergores duri semak-semak. Walau kesakitan, ia menahan mulutnya agar tak bersuara. Nyanyian burung hantu mengalun bersama desau angin, membuat suasana malam semakin mencekam.
Jauh di luar desa, akhirnya ia melihat pohon beringin raksasa itu, dan bagaimana Paman Lenoch masuk ke dalam lubang di bawahnya. Akelia sempat termangu-mangu, antara takut dan penasaran. Ia hendak berbalik pulang ke rumah Bibi Gurnish, tapi hatinya memaksa untuk kembali ke pohon besar itu. Lagipula hampir mustahil menemukan jalan pulang di malam segelap ini tanpa lentera.
Akhirnya rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya.
"Demi lentera Neptunus, bukalah!" serunya setelah menggaruk batang pohon beringin itu seperti dilakukan Paman Lenoch. Berderak-derak, pohon besar itu terangkat. Sebuah lubang besar menganga di bawahnya.
Terdengar seseorang mengomel dengan suara serak. Orang cebol itu merangkak keluar dari dalam lubang. Ketika tangan dan kepalanya muncul di permukaan tanah, Akelia terkejut. Orang itu begitu hitam dan berbulu. Lentera Bibi Gurnish menerangi wajahnya yang hampir seperti monyet.
"Siapa kau?" bentak Paman Lenoch sambil mengangkat lenteranya tinggi-tinggi, menyinari wajah Akelia yang jauh lebih tinggi darinya.
"Namaku Akelia."
"Mau apa kau menggangguku di sini?"
"Aku sudah mengetahui persembunyianmu di sini. Kalau kuberitahu penduduk desa, besok pagi mereka akan mencarimu."
"Owh, jangan lakukan itu!"
"Baiklah, tapi lakukan sesuatu untukku. Aku ingin tahu asal-usulku, dan aku ingin penduduk desa tidak lagi berlaku buruk padaku."
"Aku tidak bisa, tapi Ilalang Berbisik akan memberimu jawaban."
"Ilalang Berbisik? "
"Berjalanlah ke arah barat, kau akan menemukan padang ilalang di antara dua kuil Neptunus. Kau akan menemukan jawaban yang kauinginkan."
"Baiklah, aku akan ke sana, tapi berikan lentera bibiku itu padaku!"
Paman Lenoch merengut, tapi ia terpaksa memberikan lentera itu pada Akelia.
"Hati-hati dengan kucing-kucing hitam," gumam orang cebol itu.
Akelia berjalan ke arah barat. Lama ia berjalan menembus semak-belukar, hingga kemudian sampai ke padang ilalang yang luas. Di kejauhan, sedikit disinari bintang-bintang redup di langit, dua buah kuil berdinding putih teronggok di ujung-ujung cakrawala.
"Itukah kuil Neptunus?" pikir Akelia. "Tapi di mana Ilalang Berbisik?"
Ia terus berjalan, tidak menyadari bahwa suara yang dikiranya desau angin itu terdengar lebih mirip suara perempuan terisak. Bukan satu, tapi mungkin ratusan atau ribuan. Ia baru menyadari keanehan ketika mendengar suara perempuan bercakap-cakap diselingi tawa cekikikan. Suara-suara yang dilantunkan pelan-pelan, seperti takut terdengar oleh orang yang tak diinginkan. Betul, itu suara bisikan!
"Hai, kaliankah itu, Ilalang Berbisik?" teriak Akelia penasaran.
Suara-suara itu seketika terdiam. Sunyi-senyap. Akelia mengulangi teriakannya.
"Ssttt... Diam! Mengapa kau berteriak-teriak?" terdengar suara bisikan lirih di belakangnya. Akelia menoleh, tapi ia tak melihat apa-apa selain rumput-rumput ilalang yang bergoyang-goyang diterpa angin malam.
"Kaliankah itu, Ilalang Berbisik?" Akelia mencoba bertanya dengan berbisik.
"Ya, kami. Mengapa kau datang mengganggu?" Ada lagi yang berbisik, tapi Akelia tak melihat dari mana suara itu datang.
"Maaf, tapi Paman Lenoch menyuruhku ke sini. Aku ingin tahu asal-usulku dan aku ingin penduduk desa tidak memperlakukanku dengan buruk."
Suara cekikikan terdengar di mana-mana ketika Akelia menyebut nama Lenoch.
"Siapa namamu?" tanya sebuah bisikan.
"Akelia."
"Akelia? Oh ya, ada suami-istri berambut coklat lewat di sini beberapa tahun yang lalu, mereka membawa bayi perempuan bernama Akelia."
"Oh, apa yang terjadi dengan mereka?" seru Akelia penasaran.
"Ssttt... Jangan keras-keras. Kucing-kucing hitam mengabarkan, mereka dibunuh oleh penduduk desa dan bayinya dijual untuk dijadikan budak."
"Oh, kejam sekali!" Akelia menggigit bibir karena geramnya.
"Ya, penduduk desa itu jahat-jahat. Mereka juga jahat kepada Lenoch. Kau mau membalas dendam?" tanya bisikan yang lain.
Akelia menggeleng. "Sudah kubilang, aku hanya ingin tahu asal-usulku. Dan aku ingin penduduk desa tidak lagi memperlakukanku dengan buruk. Bagaimana caranya?"
"Bagaimana caranya? Entahlah. Nasehati mereka. Kalau mereka berkelakuan baik, tak ada kutukan apapun yang bisa menyentuh penduduk desa itu."
"Kutukan? Ah ya, kutukan pencuri lentera. Jadi kalau mereka berkelakuan baik, kutukan itu tak berlaku lagi, bukan? Kuharap Nenek Humbia bisa membantu menasehati orang-orang."
Terdengar suara tawa di mana-mana.
"Mengapa?" tanya Akelia.
"Penduduk desa itu tak bisa dinasehati, mereka jahat. Lebih baik kaubalaskan dendammu pada mereka."
"Untuk apa aku membalas dendam?"
"Juallah jiwamu pada kami. Kami akan membelinya dengan kutukan yang membuat penduduk desa itu tak pernah hidup tenang selama-lamanya."
"Lalu aku...?"
"Kau akan hidup abadi dalam pemeliharaan kami."
"Seperti Paman Lenoch?"
"Begitulah."
"Tidak, bukan hidup seperti Paman Lenoch yang kuinginkan. Hidup sendiri dalam lubang di bawah pohon beringin. Terasing, mendendam seumur hidup. Itu lebih menderita daripada menahan kekejaman orang dengan sabar. Begitu kata Nenek Humbia padaku," ujar Akelia.
"Jangan kaudengar omongan perempuan tua itu!"
"Tapi aku percaya padanya."
"Kurang ajar! Pergilah kau kembali padanya. Coba saja menyadarkan penduduk desa itu kalau bisa. Tapi itu bila kau bisa melewati kucing-kucing hitam."
"Kucing-kucing hitam?"
Kucing-kucing hitam itu tiba-tiba bermunculan dari delapan penjuru mata angin. Mereka menggeram-geram seperti kucing yang siap bertarung. Akelia berteriak ngeri, lantas berlari ketakutan. Kucing-kucing itu mengejar. Padang ilalang itu menjadi ribut oleh suara geraman kucing yang semakin buas.
Akelia terkepung. Kucing-kucing itu mencabik-cabik tubuhnya dengan cakar dan taring mereka yang tajam. Putus asa dan kesakitan, Akelia roboh ke tanah sambil melemparkan lentera yang masih menyala itu ke rimbunan ilalang.
Lentera Bibi Gurnish itu pecah, minyaknya tumpah, dan api langsung menyambar ilalang kering di sekitarnya. Dalam waktu sekejap, padang ilalang itu berubah menjadi lautan api. Suara lolongan yang menyayat dari ribuan ilalang memenuhi langit malam yang menjadi terang-benderang.
Akelia tak pernah kembali ke desa Bibi Gurnish. Seperti kata orang, siapapun yang melihat Paman Lenoch mencuri lentera, takkan pernah kembali. Nenek Humbia bercerita, seekor kucing hitam yang hampir mati karena seluruh tubuhnya terbakar datang padanya dan bercerita tentang Akelia. Gadis itu telah membakar habis Ilalang Berbisik dan kuil-kuil Neptunus. Ia menyampaikan pesan untuk Nenek Humbia agar menasehati penduduk desa. Tapi tak ada orang yang mendengarkan cerita perempuan tua itu, selain seorang anak kecil.
Bila malam tergelap dalam sebulan tiba, penduduk desa masih memasang lentera untuk Paman Lenoch. Tapi Si Pencuri Lentera itu tak pernah muncul lagi.
Oh ya, tentang Bibi Gurnish... perempuan gemuk itu jatuh sakit keesokan harinya setelah Akelia menghilang. Ia enggan membeli obat, dan meninggal beberapa hari kemudian. Harta peninggalannya diperebutkan oleh tetangga-tetangganya.(*)
Rahadi W. Pandoyo

T A M A T