Bagian 2
Matanya
terpejam. Tubuhnya yang pucat dan kurus kering itu lunglai, diam tak bergerak.
Tak berdaya lagi untuk hidup. Hanya gerakan nafas di dadanya itu yang
menampakkan kalau ia masih hidup. Paling tidak, hingga saat ini ia masih
bertarung melawan maut yang menggerogotinya sekerat demi sekerat. Pada kondisi
seperti ini, apa sebenarnya yang sedang dipikirkannya? Apakah ia sedang
bermimpi? Adakah orang-orang yang menemani di dalam mimpinya? Atau ia hanya
sendirian, tenggelam dalam kesunyian?
Baca dulu Bagian 1
Bahkan di
ruangan ini, satu-satunya orang yang mengetahui namanya hanyalah aku. Sedang
aku sendiri bukan orang yang betul-betul mengenalnya. Dia sendirian di dunia
ini. Sebatang kara di ujung malam yang sepi. Sendiri di bangsal rumah sakit
yang sedang berselimut kesunyian ini. Di sekitarnya hanya ada geliat
kesenyapan. Jarang terdengar suara yang cukup bermakna, selain bunyi rintik
hujan di luar, dan kadang-kadang gelegar petir di kejauhan. Pasien-pasien lain
kebanyakan juga sedang tidur. Hanya kadang-kadang terdengar suara batuk-batuk
mereka dari kamar lain.
Aku masih
berdiri di sudut kamar, memandangnya dengan iba. Sedih, karena tak berdaya
menolongnya. Tidak bisa tidak, ingatanku terseret kembali beberapa tahun ke
belakang, ketika aku bertemu Alicia dalam keadaan yang jauh berbeda. Ketika dia
masih seorang gadis muda yang ranum dan merah pipinya. Aku teringat, ketika itu
malam dengan langit gelap dan hujan, seperti saat ini.
Seperti deja vu, ketika aku menyingkap tirai dan
memandang keluar jendela. Langit gelap, mendung tebal, dan hujan rintik-rintik.
Tiada kerlap-kerlip bintang. Yang ada hanyalah
percikan api dari petir yang kadang-kadang muncul menerangi bagian langit
tertentu. Seringkali jauh, tanpa suara. Hanya kadang-kadang terlihat agak
dekat, disusul suara menggemuruh beberapa saat kemudian. Sepertinya badai tak
lama lagi datang menjelang. Seperti itu juga pemandangan yang kusaksikan dari
buritan kapal KM Ciremai, beberapa tahun yang lalu.
Bahkan
cakrawala hampir tak bisa kupastikan di mana garisnya. Mana langit, dan mana
lautan, sulit kubedakan. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah kegelapan.
Kalau bukan karena lampu-lampu di buritan kapal serta benderang petir yang
sesekali datang menyambar, mungkin aku pun tak bisa melihat alunan ombak tinggi
yang menggoyangkan kapal ini. Naik-turun, membuatku pusing dan mual. Jalur ini
memang lumayan besar ombaknya dibanding jalur-jalur lain sepanjang pelayaran KM
Ciremai dari Jayapura sampai Jakarta. Saat ini kapal sedang berada di perairan
sekitar Maluku Utara, dalam perjalanan menuju Bitung, Sulawesi Utara, menyusuri
tepian Samudera Pasifik.
Malam
itu aku sulit tidur. Pusing dan mual akibat goyangan kapal membuatku makin
sulit tidur. Maka aku keluar dari kamar dan berjalan-jalan, hingga sampai ke
dek belakang ini. Aku salah, berjalan-jalan di atas kapal ketika sedang ombak
besar bukannya menghilangkan pusingku, justru makin menambah. Apalagi di
buritan, goyangannya lebih terasa lagi. Aku memang tidak berpengalaman soal
ini.
Lantai
dek basah karena tempias air hujan yang tertiup angin. Juga deretan kursi di
dek itu, semuanya basah. Tapi ada sepasang remaja yang tampaknya tidak peduli.
Mereka duduk berangkulan di kursi yang basah itu, asyik berbincang dengan
bisik-bisik manja dan sesekali tertawa cekikikan. Mereka tidak peduli dengan
kemunculanku. Juga pada seseorang yang telah lebih dulu dariku berada di situ.
Orang itu membelakangi mereka, berdiri merapat di pagar kapal, menatap lautan
yang tersaput kegelapan.
Tampaknya
dia seorang wanita muda. Rambutnya yang tergerai bebas menari-nari dipermainkan
angin laut. Perawakannya ramping, cukup tinggi untuk ukuran orang Indonesia,
terbalut blouse dan celana jins warna
hitam. Mukanya belum tampak olehku, karena hingga beberapa lama ia tak jua
memalingkan wajah. Lama ia hanya diam terpaku, menyilangkan lengan ke dada dan
menatap lautan seolah tiada bosan-bosannya. Entah apa yang dipandangnya,
sedangkan lautan tidak sedang enak untuk
dipandang. Bukankah yang tampak hanyalah
kegelapan semata?
Semula
aku hendak beranjak meninggalkan tempat itu. Tidak ada hal menarik di situ,
bahkan kepalaku semakin pusing dan perutku mual. Tapi entah mengapa tiba-tiba
aku mengkhawatirkan wanita muda yang berdiri di pinggir kapal itu. Sebenarnya
banyak tertulis peringatan, dilarang berdiri dekat pagar kapal. Memang, itu
sangat berbahaya. Bila kapal mendadak tergoncang, orang itu bisa terjatuh ke
laut. Apalagi ia kelihatannya sendirian.
"Permisi,
Nona," sapaku pada wanita muda itu sambil berusaha tetap berdiri tegak di
tengah goyangan kapal yang memualkan ini.Dia menoleh.
"Ya?"
sahutnya.
Itulah
saat pertama aku melihat wajahnya. Basah oleh tempias gerimis yang menerpanya.
Tersinari oleh lampu-lampu di buritan kapal yang tidak begitu terang, wajah
putih oval itu bagai purnama di tengah keremangan malam. Pipinya
kemerah-merahan. Bahkan keremangan malam tidak bisa menyembunyikan merah
pipinya itu. Betul, sejak pertama kali melihatnya, merah pipinya itu yang
membuatnya kelihatan istimewa di mataku.
"Apa
yang Nona lakukan di sini? Berbahaya berdiri di dekat pagar kapal. Apa tidak
membaca papan peringatan itu?"
Ia
menatapku. Bahkan, kurasa ia mengamati sekujur tubuhku, dari ujung rambut
hingga ujung kaki.
"Ya,
tentu saja aku bisa membacanya," jawabnya sambil tersenyum.
Apa
yang disenyumkannya? Apakah ia merasa lucu dengan aksenku yang memang terdengar
asing di Indonesia bagian timur ini?
"Terus,
mengapa masih di sini? Nona bisa jatuh ke laut kalau tidak hati-hati,"
ujarku melanjutkan.
Ia
masih terus menatapku, membuatku jadi agak gugup, bahkan salah tingkah. Belum
pernah sebelumnya aku ditatap seperti itu oleh seseorang, apalagi wanita. Ketika
aku melihat wajahnya, pandangan mata kami bertemu. Mata putih bersih dengan
biji mata sehitam pekatnya malam itu, memantulkan kerlip sinar lampu buritan
kapal. Aku tak tahan bertatapan dengannya, dan mengalihkan pandangan pada
percikan petir yang berkelebatan di sudut-sudut langit.
"Kamu
bukan pelaut," tukasnya tiba-tiba.
Aku
menoleh dan kembali memandangnya dengan heran. Memang aku bukan pelaut.
Walaupun aku mengenakan seragam putih-putih perwira PT. PELNI, tapi aku bukan
pelaut. Sepertinya dia mengenali tanda pangkat di pundakku. Dua balok kuning di
samping lambang ular melilit
gelas. Itu lambang untuk tenaga medis dengan pangkat setingkat Mualim II.
Tampaknya wanita muda ini sering naik kapal, atau bahkan mengenal awak kapal,
sehingga tahu tanda-tanda pangkatnya.
"Apa
maksudmu?" tanyaku heran.
"Kamu
dokter, bukan pelaut," katanya lagi.
"Terus,
memangnya kenapa?"
"Aku
tidak suka pelaut. Mereka penipu."
Ia
masih belum melepaskan tatapan matanya dariku.
"Ah,
tidak semuanya. Itu tergantung orangnya, tidak bisa disamaratakan begitu
saja." Aku membantahnya.
"Ya,
memang," katanya. Ia tersenyum lagi, tapi kali ini warna senyumnya agak
berbeda. Masam.
"Menyingkirlah
dari pagar itu," kataku lagi. "Aku tidak mau ada yang terjatuh ke
laut."
"Memangnya
kenapa kalau aku jatuh? Percayalah, tidak akan ada yang mencariku."
"Kami
harus bertanggungjawab kalau ada penumpang yang jatuh. Itu bisa jadi sangat
merepotkan!"
Ia
masih menatapku. Aku mulai gerah dengan percakapan ini. Lagipula perutku
rasanya makin tidak bersahabat. Mual.
"Apakah
kamu akan mencegahku seandainya aku akan terjun ke laut sekarang?"
"Hah,
ngomong apa kamu? Tentu saja takkan kubiarkan. Ada-ada saja!"
"Begitu,
ya?" Ia tersenyum lagi melihatku, kembali pada warna senyumnya semula.
Pelan-pelan ia mulai menjauhi pagar kapal itu.
"Baiklah,
aku tak akan terjun ke laut kalau kamu tidak mengijinkannya."
Aku
tertawa mendengarnya. Bagiku itu terdengar aneh dan lucu.
"Ha
ha ha... Mengapa begitu?"
"Karena
kamu suka padaku, aku tak akan terjun ke laut. Dan kurasa, aku juga suka
padamu," kata-katanya meluncur begitu saja. Polos. Aku tidak tahu apakah
ia bercanda atau berkata apa adanya.
"Hah?
Siapa bilang aku suka padamu?"
"Jadi
kamu tidak suka padaku? Baiklah, aku terjun ke laut saja."
"Hai,
jangan!" teriakku.
Aku
tertawa melihat tingkahnya. Beberapa saat rasa pusingku seolah hilang tertelan
tawa itu. Gadis itu tidak tertawa, hanya tersenyum simpul.
"Ah,
kamu ada-ada saja," kataku bersama sisa-sisa tawaku. "Sepertinya kamu
harus dibawa ke poliklinik kapal. Ada yang tidak beres denganmu."
"Oh,
jadi aku akan diborgol dan digelandang ke sana?"
"Ha
ha... Tentu tidak, Nona. Aku bilang akan membawamu ke poliklinik, bukan kamar
tahanan."
"Oh,
begitu. Jadi aku boleh tidur di poliklinik?"
"Siapa
bilang begitu? Enak aja. Kamu hanya perlu diperiksa, sedang sakit apa."
Gadis
itu menurut ketika aku mengajaknya berjalan ke poliklinik yang letaknya di
bagian tengah kapal. Di situ paling mending, goyangan kapal tidak separah di
haluan atau buritan. Melihat caranya berjalan, kelihatan kalau dia sudah
terbiasa naik kapal. Bahkan ia hanya kadang-kadang saja memegang batang besi
pegangan yang terpasang di sepanjang lorong dek itu. Sedangkan aku
hampir-hampir tak berani berjauhan dari batang besi itu, setiap saat rasanya
seperti mau jatuh.
"Siapa
namamu?" tanyaku sambil berjalan.
"Alicia."
"Mau
pergi ke mana?"
"Bitung,"
jawabnya. Jadi di pelabuhan berikutnya dia sudah akan turun.
"Naik
dari mana?"
"Sorong."
"Kelas
berapa?"
"Kelas
Ekonomi. Perlu kukeluarkan tiketku?"
"Ha
ha... tidak, jam pemeriksaan tiket sudah lewat. Kamu sendirian saja?
Barang-barangmu kamu tinggalkan di mana? Hati-hati meninggalkan barang di Kelas
Ekonomi."
"Inilah
semua barangku," katanya sambil menunjuk travel bag kecil yang
disandangnya.
Aku
melihatnya sedikit heran. Jarang orang bepergian jauh dengan sedikit barang
seperti itu, apalagi perempuan. Tidak lazim juga gadis sebelia itu bepergian
sendiri naik kapal. Umurnya mungkin baru dua puluhan, atau mungkin kurang dari
itu. Terbersit juga kecurigaan di hatiku, bahkan prasangka buruk. Walaupun
belum lama bekerja di kapal, tapi aku mendengar dan memperhatikan juga
cerita-cerita tentang aktivitas perempuan-perempuan muda yang mondar-mandir
antara Sorong dan Bitung. Tapi aku tak mau memelihara prasangka buruk seperti
itu. Itu bukan urusanku.
"Hah,
untuk apa kamu di dek luar malam-malam begini, hujan pula lagi?" komentar Suhaimi, perawat di poliklinik kapal
itu, ketika kuserahkan Alicia padanya. "Nggak pakai jaket pula, bisa masuk
angin kamu."
Gadis
itu diam saja, tak menjawab omelan perawat itu.
"Awasi
dia, Bang," kataku pada Suhaimi. "Ada bed kosong di ruang rawat kapal
kan?"
Pada
Suhaimi kubisikkan apa yang kulihat mengenai gadis itu di dek belakang tadi.
Aku mengkhawatirkan kalau-kalau dia mau bunuh diri. Mungkin dia sedang punya
masalah pribadi, entah apa. Lebih aman gadis itu diawasi sebagai pasien
daripada nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Sepanjang
sisa malam itu aku tidur di kamar Suhaimi yang terletak di samping ruang
perawatan. Enggan aku kembali ke kamarku sendiri di haluan, dekat kamar nakhoda. Di sana goyangannya lebih terasa.
Pagi harinya hingga siang, aku sibuk melayani pasien di poliklinik, dan soal
gadis itu pun terlupakan. Sesudah makan siang baru aku teringat dengannya.
Ketika kucari ke ruang perawatan dia sudah tidak ada. Rupanya ia pergi
diam-diam. Suhaimi juga tidak tahu.
Kapal
berlabuh di pelabuhan Bitung jam tujuh malam, waktu Indonesia bagian tengah.
Lagi aku teringat dengan gadis berpipi merah itu. Bukankah dia akan turun di
pelabuhan ini? Kuamati orang-orang yang berdesakan turun di tangga kapal. Tapi
aku tak melihatnya. Mungkin ia turun dari tangga satunya lagi. Kapal hanya satu
jam berlabuh di pelabuhan ini, dan akan segera berangkat lagi menuju Bau-bau
dan kemudian ke Makasar. Lima belas menit sebelum berangkat, kukira aku takkan
pernah melihatnya lagi. Bahkan sempat terlintas pikiran buruk, mungkin ia sudah
meloncat ke laut tanpa ada yang mengetahuinya.
Tiba-tiba
kulihat dia! Berdiri di antara orang-orang yang bergerombol melambai-lambaikan
tangan di dermaga. Kurasa ia melambai-lambaikan tangan ke arahku. Rupanya sejak
tadi aku memandang ke arah yang salah. Kapal ini memang cukup besar, lambungnya
memakan tempat cukup panjang di dermaga, sehingga perhatianku terbagi pada area
sepanjang itu. Lagi pula malam hari membuat penglihatanku tidak sepenuhnya
tajam.
Bergegas
aku menuruni tangga kapal. Seorang satpam mengingatkanku bahwa kapal akan
segera berangkat tak lama lagi. Aku berjanji tidak akan jauh-jauh dari dermaga.
Kutemui gadis berpipi merah itu, Alicia. Ia berdiri di dermaga, masih dengan
pakaiannya kemarin malam, menyandang travel bag kecil itu. Jadi benar waktu ia
berkata bahwa itulah semua barangnya.
"Hai,
mengapa masih di sini?" sapaku.
"Tidak
apa-apa, mau melihat kapal berangkat saja," jawabnya.
"Ada
temanmu di sana?" tanyaku sambil menunjuk ke arah kapal.
Ia
menggeleng.
"Lalu
mengapa kamu melambai-lambai?"
"Tidak
bolehkah?"
"He
he... tentu saja boleh. Siapa yang menjemputmu?" tanyaku sambil mengamati
orang-orang yang berdiri di sekitarnya.
"Tidak
ada," katanya sambil menggeleng.
"Jadi
benar-benar sendirian kamu?"
"Ya,
apa itu jadi masalah buatmu?"
Aku
tertawa. Kutanyakan beberapa hal lagi padanya, dan ia menjawab pendek-pendek
saja. Beberapa saat kemudian, peluit kapal berbunyi, mengingatkan bahwa tangga
akan segera diangkat.
"Aku
ingin pergi ke Jakarta," katanya tiba-tiba.
"Oh,
ya? Ada keluarga di sana?"
Ia
menggeleng.
"Terus,
mau apa ke Jakarta?"
Ia
hanya mengangkat bahu.
"Dua
minggu lagi," kataku. "Kapal ini akan ke Jakarta lagi. Kamu bisa
ikut, kalau ada tiket."
Tiba-tiba
wajahnya berubah muram.
Peluit
kapal berbunyi sekali lagi.
"Oke,
selamat tinggal, Alicia," kataku. "Sampai jumpa lagi."
Aku
bergegas naik ke tangga kapal.
"Hai,
Dokter!" teriaknya tiba-tiba.
"Apa?"
"Siapa
namamu?"
Aku
menunjuk name tag yang tersemat di
seragamku. Seharusnya ia sudah membacanya sejak kemarin.
"Dipanggil
apa?" teriaknya lebih keras. Aku sudah hampir sampai di puncak tangga.
"Panggil
saja Rino!" teriakku. Orang-orang memperhatikan kami, yang di atas kapal
maupun di dermaga. Tapi kelihatannya ia tak peduli. Ia lebih bersemangat lagi
melambai-lambaikan tangan.
"Bang
Rino!!!" teriaknya.
Peluit
panjang berbunyi. Tangga kapal ditarik ke atas. Tali-tali pun dilepaskan. Kapal
mulai bergerak menjauhi dermaga. Seperti biasa, terdengar lagu "Selamat
Jalan Kekasih" yang dinyanyikan biduanita kapal. Lagu itu hampir selalu
kudengar di tiap pelabuhan. Tapi kali ini terasa lain. Aku juga heran, pasti
karena gadis berpipi merah itu. Ia masih terus melambaikan tangan hingga kapal
meninggalkan dermaga begitu jauh, hingga aku tak bisa melihatnya lagi.
Kupandangi lampu-lampu dermaga Pelabuhan Bitung itu hingga betul-betul lenyap
ditelan cakrawala.
Begitulah,
hari-hari selanjutnya berjalan. Semula kukira aku takkan mengingat kejadian di
Bitung itu. Tapi ternyata kemudian, hampir tiap hari aku kembali teringat.
Alicia, gadis berpipi merah itu, selalu saja berkelebat di benakku setiap kali
pikiranku sedang santai. Dan lama-lama, aku jadi sengaja memikirkannya. Bahkan
akhirnya, merindukannya.
Dari
Jakarta, kapal segera berangkat lagi untuk melayari trip berikutnya menuju
Jayapura. Kapal singgah di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, kemudian menuju
Makasar. Dari Makasar terus ke Bau-Bau di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, terus
ke utara sampai Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah, dan akhirnya sampai lagi di
Bitung. Makan waktu empat hari sampai ke sana. Dan semakin dekat ke Bitung, aku
semakin berdebar-debar penasaran.
Bersambung ke...
Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN
wah, cerita yang sangat menarik, jadi penasaran :) salam kenal, alice :)
BalasHapusbagian 3 nya mana ya?
BalasHapusMaaf mbak Alice Sidusia, sepertinya ada error pada link ke bagian 3-nya. Akan saya perbaiki, terimakasih sudah mengingatkan.
BalasHapusCoba lagi di-klik kata "Bagian 3" di bagian bawah postingan. Kalau masih gagal juga, silakan klik dari Arsip blog: Alicia dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah # 3.
Btw, salam kenal juga. Trms apresiasinya.