8.1.13

Alicia, dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah # 2



Bagian 2
Matanya terpejam. Tubuhnya yang pucat dan kurus kering itu lunglai, diam tak bergerak. Tak berdaya lagi untuk hidup. Hanya gerakan nafas di dadanya itu yang menampakkan kalau ia masih hidup. Paling tidak, hingga saat ini ia masih bertarung melawan maut yang menggerogotinya sekerat demi sekerat. Pada kondisi seperti ini, apa sebenarnya yang sedang dipikirkannya? Apakah ia sedang bermimpi? Adakah orang-orang yang menemani di dalam mimpinya? Atau ia hanya sendirian, tenggelam dalam kesunyian? 
Baca dulu Bagian 1


Bahkan di ruangan ini, satu-satunya orang yang mengetahui namanya hanyalah aku. Sedang aku sendiri bukan orang yang betul-betul mengenalnya. Dia sendirian di dunia ini. Sebatang kara di ujung malam yang sepi. Sendiri di bangsal rumah sakit yang sedang berselimut kesunyian ini. Di sekitarnya hanya ada geliat kesenyapan. Jarang terdengar suara yang cukup bermakna, selain bunyi rintik hujan di luar, dan kadang-kadang gelegar petir di kejauhan. Pasien-pasien lain kebanyakan juga sedang tidur. Hanya kadang-kadang terdengar suara batuk-batuk mereka dari kamar lain.
Aku masih berdiri di sudut kamar, memandangnya dengan iba. Sedih, karena tak berdaya menolongnya. Tidak bisa tidak, ingatanku terseret kembali beberapa tahun ke belakang, ketika aku bertemu Alicia dalam keadaan yang jauh berbeda. Ketika dia masih seorang gadis muda yang ranum dan merah pipinya. Aku teringat, ketika itu malam dengan langit gelap dan hujan, seperti saat ini.
Seperti deja vu, ketika aku menyingkap tirai dan memandang keluar jendela. Langit gelap, mendung tebal, dan hujan rintik-rintik. Tiada kerlap-kerlip  bintang. Yang ada hanyalah percikan api dari petir yang kadang-kadang muncul menerangi bagian langit tertentu. Seringkali jauh, tanpa suara. Hanya kadang-kadang terlihat agak dekat, disusul suara menggemuruh beberapa saat kemudian. Sepertinya badai tak lama lagi datang menjelang. Seperti itu juga pemandangan yang kusaksikan dari buritan kapal KM Ciremai, beberapa tahun yang lalu.
Bahkan cakrawala hampir tak bisa kupastikan di mana garisnya. Mana langit, dan mana lautan, sulit kubedakan. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah kegelapan. Kalau bukan karena lampu-lampu di buritan kapal serta benderang petir yang sesekali datang menyambar, mungkin aku pun tak bisa melihat alunan ombak tinggi yang menggoyangkan kapal ini. Naik-turun, membuatku pusing dan mual. Jalur ini memang lumayan besar ombaknya dibanding jalur-jalur lain sepanjang pelayaran KM Ciremai dari Jayapura sampai Jakarta. Saat ini kapal sedang berada di perairan sekitar Maluku Utara, dalam perjalanan menuju Bitung, Sulawesi Utara, menyusuri tepian Samudera Pasifik.
Malam itu aku sulit tidur. Pusing dan mual akibat goyangan kapal membuatku makin sulit tidur. Maka aku keluar dari kamar dan berjalan-jalan, hingga sampai ke dek belakang ini. Aku salah, berjalan-jalan di atas kapal ketika sedang ombak besar bukannya menghilangkan pusingku, justru makin menambah. Apalagi di buritan, goyangannya lebih terasa lagi. Aku memang tidak berpengalaman soal ini.
Lantai dek basah karena tempias air hujan yang tertiup angin. Juga deretan kursi di dek itu, semuanya basah. Tapi ada sepasang remaja yang tampaknya tidak peduli. Mereka duduk berangkulan di kursi yang basah itu, asyik berbincang dengan bisik-bisik manja dan sesekali tertawa cekikikan. Mereka tidak peduli dengan kemunculanku. Juga pada seseorang yang telah lebih dulu dariku berada di situ. Orang itu membelakangi mereka, berdiri merapat di pagar kapal, menatap lautan yang tersaput kegelapan.
Tampaknya dia seorang wanita muda. Rambutnya yang tergerai bebas menari-nari dipermainkan angin laut. Perawakannya ramping, cukup tinggi untuk ukuran orang Indonesia, terbalut blouse dan celana jins warna hitam. Mukanya belum tampak olehku, karena hingga beberapa lama ia tak jua memalingkan wajah. Lama ia hanya diam terpaku, menyilangkan lengan ke dada dan menatap lautan seolah tiada bosan-bosannya. Entah apa yang dipandangnya, sedangkan lautan  tidak sedang enak untuk dipandang. Bukankah yang tampak hanyalah kegelapan semata?
Semula aku hendak beranjak meninggalkan tempat itu. Tidak ada hal menarik di situ, bahkan kepalaku semakin pusing dan perutku mual. Tapi entah mengapa tiba-tiba aku mengkhawatirkan wanita muda yang berdiri di pinggir kapal itu. Sebenarnya banyak tertulis peringatan, dilarang berdiri dekat pagar kapal. Memang, itu sangat berbahaya. Bila kapal mendadak tergoncang, orang itu bisa terjatuh ke laut. Apalagi ia kelihatannya sendirian.
"Permisi, Nona," sapaku pada wanita muda itu sambil berusaha tetap berdiri tegak di tengah goyangan kapal yang memualkan ini.Dia menoleh.
"Ya?" sahutnya.
Itulah saat pertama aku melihat wajahnya. Basah oleh tempias gerimis yang menerpanya. Tersinari oleh lampu-lampu di buritan kapal yang tidak begitu terang, wajah putih oval itu bagai purnama di tengah keremangan malam. Pipinya kemerah-merahan. Bahkan keremangan malam tidak bisa menyembunyikan merah pipinya itu. Betul, sejak pertama kali melihatnya, merah pipinya itu yang membuatnya kelihatan istimewa di mataku.
"Apa yang Nona lakukan di sini? Berbahaya berdiri di dekat pagar kapal. Apa tidak membaca papan peringatan itu?"
Ia menatapku. Bahkan, kurasa ia mengamati sekujur tubuhku, dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Ya, tentu saja aku bisa membacanya," jawabnya sambil tersenyum.
Apa yang disenyumkannya? Apakah ia merasa lucu dengan aksenku yang memang terdengar asing di Indonesia bagian timur ini?
"Terus, mengapa masih di sini? Nona bisa jatuh ke laut kalau tidak hati-hati," ujarku melanjutkan.
Ia masih terus menatapku, membuatku jadi agak gugup, bahkan salah tingkah. Belum pernah sebelumnya aku ditatap seperti itu oleh seseorang, apalagi wanita. Ketika aku melihat wajahnya, pandangan mata kami bertemu. Mata putih bersih dengan biji mata sehitam pekatnya malam itu, memantulkan kerlip sinar lampu buritan kapal. Aku tak tahan bertatapan dengannya, dan mengalihkan pandangan pada percikan petir yang berkelebatan di sudut-sudut langit.
"Kamu bukan pelaut," tukasnya tiba-tiba.
Aku menoleh dan kembali memandangnya dengan heran. Memang aku bukan pelaut. Walaupun aku mengenakan seragam putih-putih perwira PT. PELNI, tapi aku bukan pelaut. Sepertinya dia mengenali tanda pangkat di pundakku. Dua balok kuning di samping lambang ular melilit gelas. Itu lambang untuk tenaga medis dengan pangkat setingkat Mualim II. Tampaknya wanita muda ini sering naik kapal, atau bahkan mengenal awak kapal, sehingga tahu tanda-tanda pangkatnya.
"Apa maksudmu?" tanyaku heran.
"Kamu dokter, bukan pelaut," katanya lagi.
"Terus, memangnya kenapa?"
"Aku tidak suka pelaut. Mereka penipu."
Ia masih belum melepaskan tatapan matanya dariku.
"Ah, tidak semuanya. Itu tergantung orangnya, tidak bisa disamaratakan begitu saja." Aku membantahnya.
"Ya, memang," katanya. Ia tersenyum lagi, tapi kali ini warna senyumnya agak berbeda. Masam.
"Menyingkirlah dari pagar itu," kataku lagi. "Aku tidak mau ada yang terjatuh ke laut."
"Memangnya kenapa kalau aku jatuh? Percayalah, tidak akan ada yang mencariku."
"Kami harus bertanggungjawab kalau ada penumpang yang jatuh. Itu bisa jadi sangat merepotkan!"
Ia masih menatapku. Aku mulai gerah dengan percakapan ini. Lagipula perutku rasanya makin tidak bersahabat. Mual.
"Apakah kamu akan mencegahku seandainya aku akan terjun ke laut sekarang?"
"Hah, ngomong apa kamu? Tentu saja takkan kubiarkan. Ada-ada saja!"
"Begitu, ya?" Ia tersenyum lagi melihatku, kembali pada warna senyumnya semula. Pelan-pelan ia mulai menjauhi pagar kapal itu.
"Baiklah, aku tak akan terjun ke laut kalau kamu tidak mengijinkannya."
Aku tertawa mendengarnya. Bagiku itu terdengar aneh dan lucu.
"Ha ha ha... Mengapa begitu?"
"Karena kamu suka padaku, aku tak akan terjun ke laut. Dan kurasa, aku juga suka padamu," kata-katanya meluncur begitu saja. Polos. Aku tidak tahu apakah ia bercanda atau berkata apa adanya.
"Hah? Siapa bilang aku suka padamu?"
"Jadi kamu tidak suka padaku? Baiklah, aku terjun ke laut saja."
"Hai, jangan!" teriakku.
Aku tertawa melihat tingkahnya. Beberapa saat rasa pusingku seolah hilang tertelan tawa itu. Gadis itu tidak tertawa, hanya tersenyum simpul.
"Ah, kamu ada-ada saja," kataku bersama sisa-sisa tawaku. "Sepertinya kamu harus dibawa ke poliklinik kapal. Ada yang tidak beres denganmu."
"Oh, jadi aku akan diborgol dan digelandang ke sana?"
"Ha ha... Tentu tidak, Nona. Aku bilang akan membawamu ke poliklinik, bukan kamar tahanan."
"Oh, begitu. Jadi aku boleh tidur di poliklinik?"
"Siapa bilang begitu? Enak aja. Kamu hanya perlu diperiksa, sedang sakit apa."
Gadis itu menurut ketika aku mengajaknya berjalan ke poliklinik yang letaknya di bagian tengah kapal. Di situ paling mending, goyangan kapal tidak separah di haluan atau buritan. Melihat caranya berjalan, kelihatan kalau dia sudah terbiasa naik kapal. Bahkan ia hanya kadang-kadang saja memegang batang besi pegangan yang terpasang di sepanjang lorong dek itu. Sedangkan aku hampir-hampir tak berani berjauhan dari batang besi itu, setiap saat rasanya seperti mau jatuh.
"Siapa namamu?" tanyaku sambil berjalan.
"Alicia."
"Mau pergi ke mana?"
"Bitung," jawabnya. Jadi di pelabuhan berikutnya dia sudah akan turun.
"Naik dari mana?"
"Sorong."
"Kelas berapa?"
"Kelas Ekonomi. Perlu kukeluarkan tiketku?"
"Ha ha... tidak, jam pemeriksaan tiket sudah lewat. Kamu sendirian saja? Barang-barangmu kamu tinggalkan di mana? Hati-hati meninggalkan barang di Kelas Ekonomi."
"Inilah semua barangku," katanya sambil menunjuk travel bag kecil yang disandangnya.
Aku melihatnya sedikit heran. Jarang orang bepergian jauh dengan sedikit barang seperti itu, apalagi perempuan. Tidak lazim juga gadis sebelia itu bepergian sendiri naik kapal. Umurnya mungkin baru dua puluhan, atau mungkin kurang dari itu. Terbersit juga kecurigaan di hatiku, bahkan prasangka buruk. Walaupun belum lama bekerja di kapal, tapi aku mendengar dan memperhatikan juga cerita-cerita tentang aktivitas perempuan-perempuan muda yang mondar-mandir antara Sorong dan Bitung. Tapi aku tak mau memelihara prasangka buruk seperti itu. Itu bukan urusanku.
"Hah, untuk apa kamu di dek luar malam-malam begini, hujan pula lagi?" komentar Suhaimi, perawat di poliklinik kapal itu, ketika kuserahkan Alicia padanya. "Nggak pakai jaket pula, bisa masuk angin kamu."
Gadis itu diam saja, tak menjawab omelan perawat itu.
"Awasi dia, Bang," kataku pada Suhaimi. "Ada bed kosong di ruang rawat kapal kan?"
Pada Suhaimi kubisikkan apa yang kulihat mengenai gadis itu di dek belakang tadi. Aku mengkhawatirkan kalau-kalau dia mau bunuh diri. Mungkin dia sedang punya masalah pribadi, entah apa. Lebih aman gadis itu diawasi sebagai pasien daripada nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Sepanjang sisa malam itu aku tidur di kamar Suhaimi yang terletak di samping ruang perawatan. Enggan aku kembali ke kamarku sendiri di haluan, dekat kamar nakhoda. Di sana goyangannya lebih terasa. Pagi harinya hingga siang, aku sibuk melayani pasien di poliklinik, dan soal gadis itu pun terlupakan. Sesudah makan siang baru aku teringat dengannya. Ketika kucari ke ruang perawatan dia sudah tidak ada. Rupanya ia pergi diam-diam. Suhaimi juga tidak tahu.
Kapal berlabuh di pelabuhan Bitung jam tujuh malam, waktu Indonesia bagian tengah. Lagi aku teringat dengan gadis berpipi merah itu. Bukankah dia akan turun di pelabuhan ini? Kuamati orang-orang yang berdesakan turun di tangga kapal. Tapi aku tak melihatnya. Mungkin ia turun dari tangga satunya lagi. Kapal hanya satu jam berlabuh di pelabuhan ini, dan akan segera berangkat lagi menuju Bau-bau dan kemudian ke Makasar. Lima belas menit sebelum berangkat, kukira aku takkan pernah melihatnya lagi. Bahkan sempat terlintas pikiran buruk, mungkin ia sudah meloncat ke laut tanpa ada yang mengetahuinya.
Tiba-tiba kulihat dia! Berdiri di antara orang-orang yang bergerombol melambai-lambaikan tangan di dermaga. Kurasa ia melambai-lambaikan tangan ke arahku. Rupanya sejak tadi aku memandang ke arah yang salah. Kapal ini memang cukup besar, lambungnya memakan tempat cukup panjang di dermaga, sehingga perhatianku terbagi pada area sepanjang itu. Lagi pula malam hari membuat penglihatanku tidak sepenuhnya tajam.
Bergegas aku menuruni tangga kapal. Seorang satpam mengingatkanku bahwa kapal akan segera berangkat tak lama lagi. Aku berjanji tidak akan jauh-jauh dari dermaga. Kutemui gadis berpipi merah itu, Alicia. Ia berdiri di dermaga, masih dengan pakaiannya kemarin malam, menyandang travel bag kecil itu. Jadi benar waktu ia berkata bahwa itulah semua barangnya.
"Hai, mengapa masih di sini?" sapaku.
"Tidak apa-apa, mau melihat kapal berangkat saja," jawabnya.
"Ada temanmu di sana?" tanyaku sambil menunjuk ke arah kapal.
Ia menggeleng.
"Lalu mengapa kamu melambai-lambai?"
"Tidak bolehkah?"
"He he... tentu saja boleh. Siapa yang menjemputmu?" tanyaku sambil mengamati orang-orang yang berdiri di sekitarnya.
"Tidak ada," katanya sambil menggeleng.
"Jadi benar-benar sendirian kamu?"
"Ya, apa itu jadi masalah buatmu?"
Aku tertawa. Kutanyakan beberapa hal lagi padanya, dan ia menjawab pendek-pendek saja. Beberapa saat kemudian, peluit kapal berbunyi, mengingatkan bahwa tangga akan segera diangkat.
"Aku ingin pergi ke Jakarta," katanya tiba-tiba.
"Oh, ya? Ada keluarga di sana?"
Ia menggeleng.
"Terus, mau apa ke Jakarta?"
Ia hanya mengangkat bahu.
"Dua minggu lagi," kataku. "Kapal ini akan ke Jakarta lagi. Kamu bisa ikut, kalau ada tiket."
Tiba-tiba wajahnya berubah muram.
Peluit kapal berbunyi sekali lagi.
"Oke, selamat tinggal, Alicia," kataku. "Sampai jumpa lagi."
Aku bergegas naik ke tangga kapal.
"Hai, Dokter!" teriaknya tiba-tiba.
"Apa?"
"Siapa namamu?"
Aku menunjuk name tag yang tersemat di seragamku. Seharusnya ia sudah membacanya sejak kemarin.
"Dipanggil apa?" teriaknya lebih keras. Aku sudah hampir sampai di puncak tangga.
"Panggil saja Rino!" teriakku. Orang-orang memperhatikan kami, yang di atas kapal maupun di dermaga. Tapi kelihatannya ia tak peduli. Ia lebih bersemangat lagi melambai-lambaikan tangan.
"Bang Rino!!!" teriaknya.
Peluit panjang berbunyi. Tangga kapal ditarik ke atas. Tali-tali pun dilepaskan. Kapal mulai bergerak menjauhi dermaga. Seperti biasa, terdengar lagu "Selamat Jalan Kekasih" yang dinyanyikan biduanita kapal. Lagu itu hampir selalu kudengar di tiap pelabuhan. Tapi kali ini terasa lain. Aku juga heran, pasti karena gadis berpipi merah itu. Ia masih terus melambaikan tangan hingga kapal meninggalkan dermaga begitu jauh, hingga aku tak bisa melihatnya lagi. Kupandangi lampu-lampu dermaga Pelabuhan Bitung itu hingga betul-betul lenyap ditelan cakrawala.
Begitulah, hari-hari selanjutnya berjalan. Semula kukira aku takkan mengingat kejadian di Bitung itu. Tapi ternyata kemudian, hampir tiap hari aku kembali teringat. Alicia, gadis berpipi merah itu, selalu saja berkelebat di benakku setiap kali pikiranku sedang santai. Dan lama-lama, aku jadi sengaja memikirkannya. Bahkan akhirnya, merindukannya.
Dari Jakarta, kapal segera berangkat lagi untuk melayari trip berikutnya menuju Jayapura. Kapal singgah di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, kemudian menuju Makasar. Dari Makasar terus ke Bau-Bau di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, terus ke utara sampai Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah, dan akhirnya sampai lagi di Bitung. Makan waktu empat hari sampai ke sana. Dan semakin dekat ke Bitung, aku semakin berdebar-debar penasaran.

Bersambung ke...
  Bagian 3
 
Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN 

3 komentar:

  1. wah, cerita yang sangat menarik, jadi penasaran :) salam kenal, alice :)

    BalasHapus
  2. Maaf mbak Alice Sidusia, sepertinya ada error pada link ke bagian 3-nya. Akan saya perbaiki, terimakasih sudah mengingatkan.

    Coba lagi di-klik kata "Bagian 3" di bagian bawah postingan. Kalau masih gagal juga, silakan klik dari Arsip blog: Alicia dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah # 3.

    Btw, salam kenal juga. Trms apresiasinya.

    BalasHapus

Komentar