Bagian 1
Alicia! Bayangan wajah dengan pipi yang selalu kemerah-merahan itu tiba-tiba menyeruak lagi dalam benakku. Aku tersentak. Heran. Mengapa sesuatu yang sudah begitu lama kulupakan tiba-tiba bisa muncul kembali. Padahal, demi membuang gambar wajah itu dari dinding otakku, aku telah mengelupas dinding itu begitu dalam, hingga bekas lukanya bertahun-tahun kemudian baru mengering.
"Pah,
aku takut...," rintih istriku. Ia meremas tanganku kuat-kuat. Aku
tersentak, lagi. Kesadaranku seketika terseret kembali ke dunia nyata.
Kutemukan lagi diriku, sedang berdiri di samping pembaringan istriku. Lengan
kiriku merangkul bahu kirinya, dan tangan kananku menggenggam jari-jari tangan
kanannya. Jari-jari tangan itu, pada selang waktu tertentu, mencengkeram
tanganku begitu erat. Itu menandakan ia sedang mengalami kontraksi di perutnya,
yang mungkin terasa begitu nyeri. Aku tetap memegang tangannya, memberinya
dukungan, dan menjaga agar ia tidak membuat jarum infus yang terpasang di
punggung tangannya itu terlepas.
"Ah,
tenang aja, Mah. Itu biasa kok, namanya juga mau melahirkan," kataku
berusaha menenangkannya. Tapi aku sendiri juga tidak tenang melihatnya.
"Tapi
sakit...," keluhnya lagi.
"Iya,
tahankan ya. Aku tahu Mama pasti kuat. Takkan lama lagi."
"Berapa
lama lagi? Aku sudah nggak tahan. Kok lama sih..."
"Hus,
nggak boleh bilang begitu. Mama pasti tahan. Ayoh, sebut nama Allah. Jangan
mengeluh, perbanyak dzikir. Jangan mengejan dulu, ingat apa kata Dokter Betty
tadi. Perlu waktu untuk jalan lahir terbuka lengkap. Hemat tenaganya.
Oke?!"
"Iya,
Pah. Doakan Mama kuat ya." Istriku mengangguk. Ia mendongakkan kepala,
berusaha melihat wajahku. Aku membalas pandangannya, berharap itu bisa
memberinya kekuatan. Ia tersenyum. Aku pun tersenyum. Untung ia tidak melihat
ketika pikiranku sedang pecah entah ke mana tadi.
Istriku
memejamkan mata, tampak lebih tenang. Mungkin kontraksinya sedang mereda.
Kulihat sedikit gerakan di bibirnya, pasti ia melanjutkan dzikirnya yang
kadang-kadang terputus setiap kali rasa sakit itu datang. Ini adalah persalinan
pertamanya. Anak kami yang pertama. Seolah rasa sakit yang menderanya itu ikut
menjalar ke perutku. Aku ikut menegangkan perut dan menggertakkan gerahamku
setiap kali ia merintih menahan sakit.
"Dokter
Rino...." Tiba-tiba kudengar seseorang memanggil namaku.
"Iya,
saya. Kenapa?" Aku menoleh, ternyata Bu Bidan itu yang memanggilku.
"Ada
telepon, Dok!"
"Mencari
saya?"
Aku
mengernyitkan dahi, heran.
"Iya,
mencari Dokter Rino, dari Ruang 29."
"Tapi
saya nggak sedang jaga lho, Mbak?"
"Ya
nggak tahu, Dokter. Memang mencari Dokter Rino kok, bukan dokter jaga."
"Mmm,
ya deh, sebentar...." kataku.
Walaupun
agak aneh, tapi aku harus menjawab panggilan telepon itu. Entah apakah ada
Dokter Rino yang lain di rumah sakit ini, tapi setahuku tidak ada. Ruang 29
adalah bangsal rawat inap untuk penderita ODHA, alias Orang Dengan HIV/AIDS.
Rasanya tak mungkin aku ada urusan dengan bangsal itu, kecuali sedang bertugas
jaga. Memang aku pernah merawat pasien di sana, tapi sudah lama, ketika aku
masih di semester satu dalam pendidikan dokter spesialis paru di rumah sakit
ini.
"Mah,
sebentar ya, ada telepon." Aku berbisik pada istriku. Pelan-pelan
kulepaskan pegangan tangannya. Ia membuka mata, dan mengangguk.
"Jangan
lama-lama," bisiknya juga.
Kutinggalkan
istriku, berjalan ke arah telepon di atas meja di ruang perawat itu.
"Halo,"
sapaku saat mengangkat telepon.
"Dokter
Rino, ya?" Suara seorang perempuan dari ujung sana.
"Betul,"
jawabku.
"Siapa
ini?"
"Bu
Eni, Dok. Lupa dengan suara saya, ya? Dari Ruang 29!"
"Oh,
ya. Ada apa?"
"Ada
pasien yang nyebut-nyebut nama Dokter terus nih, dari tadi."
"Oh,
memangnya kenapa?"
"Ya
nggak apa-apa juga sih. Mungkin Dokter mau nengoknya."
"Memang
dia bilang ada hubungan apa dengan saya?"
"Nggak
tahu, Dok. Wong orangnya setengah sadar setengah enggak. Kalau lagi agak sadar
dia nyebut-nyebut nama dokter terus."
"Lhah,
nama Rino kan banyak, Bu. Belum tentu saya. Bisa jadi pacarnya atau apanya
gitu...," sahutku, sedikit kesal.
"Bukan,
Dok...," potong Bu Eni. "Memang dia bilangnya Dokter Rino, gitu.
Waktu baru datang tadi siang juga dia sempat nanya sama Mbak Ria, yang dinas
pagi, Dokter Rino kerja di sini ya? Begitu katanya."
"Mmm...
Siapa namanya? Apa sebelumnya pernah dirawat di Ruang 29?" Tanyaku
penasaran.
"Seingat
saya tidak pernah, Dok. Statusnya baru, belum pernah sama sekali dirawat di
rumah sakit sini. "
"Namanya?"
"Oh
ya. Nyonya Vera, Dok. Kenal?"
"Ah,
setahuku tidak ada keluarga atau teman dekatku yang namanya Vera. Ya sudah,
mungkin pasien lama. Bisa saja dulu dia melihat saya di poli rawat jalan, tapi
tidak pernah opname di rumah sakit."
"Dokter
mau ke sini?"
"Ya,
besok saya tengok. Ini masih lagi nunggui istri mau melahirkan."
"Oh,
ya. Selamat ya, Dok. Semoga lancar-lancar saja. Maaf, sudah mengganggu. Tapi...
besok belum tentu orangnya masih ada,
Dok."
"Maksudnya?"
"Begitulah,
jelek kondisinya sekarang. Kesadaran menurun. Tensinya ngedrop terus. Sudah
di-drip NE tuh. Makin sesak juga. Jangan-jangan nggak bertahan sampai besok
pagi."
"Mmm...
begitu ya?" Aku jadi bimbang. "Ntar deh, kalau sempat. Terimakasih
informasinya."
"Oke,
Dok. Sama-sama."
Aku
jadi merasa kurang enak. Bimbang. Enggan rasanya meninggalkan istriku walau
hanya sebentar saat ini. Aku ingin mendampinginya hingga anak kami lahir.
Bagaimanapun, ini anak pertama. Tapi, mungkin masih ada waktu cukup panjang
sebelum tiba saat persalinan. Dan orang itu bisa meninggal kapan saja. Walaupun
namanya, Ny. Vera, sama sekali tidak kuingat, tapi tetap membuatku penasaran.
Siapa kiranya dia, orang yang mengingat namaku di kala sedang sekarat?
Akhirnya
aku memanggil ibu mertuaku yang sejak tadi menunggu di luar kamar bersalin.
Kuminta beliau masuk, menggantikan aku menunggui anaknya.
"Mah,
ditunggui ibu dulu ya," kataku pada istriku. "Sebentar, aku ada
perlu, ada panggilan dari ruangan di belakang."
"Mmhh...
ya, tapi jangan lama-lama," jawabnya sambil meringis menahan sakit,
kontraksinya datang lagi.
Jam
satu malam. Di luar langit gelap. Bulan tiada tampak, bahkan setitik bintang
pun tidak. Sepertinya mendung begitu tebal, sehingga langit jadi segelap itu.
Hujan rintik-rintik. Aku berjalan dengan langkah-langkah cepat menyusuri
selasar rumah sakit menuju Ruang 29. Selasar panjang ke bagian belakang rumah
sakit itu sedang sepi. Senyap. Jauh berbeda dengan saat siang hari. Ada
beberapa orang, mungkin keluarga pasien, tidur bergelimpangan di
pinggir-pinggirnya, tapi tak mengubah suasana. Tetap sunyi, cocok sekali untuk
tempat syuting film horor. Tak seorang pun berpapasan denganku, kecuali seorang
petugas yang sedang mendorong keranda jenazah. Aku mengangguk dan tersenyum
menyapanya, tapi tidak bertanya apakah keranda itu kosong atau ada isinya.
Akan
kuselesaikan urusan ini secepatnya. Aku harus segera kembali menemani istriku
di kamar bersalin. Tak sedetik pun momen kelahiran anak pertamaku akan
kulewatkan begitu saja. Tapi selasar ini terlalu panjang untuk ditempuh
secepatnya dengan berjalan kaki. Ruang 29 terletak di sudut paling belakang
rumah sakit. Mungkin, kalau aku berlari, akan lebih cepat sampai ke sana. Tapi
tidak enak dilihat orang.
Siapa
pula pasien yang mencariku dalam keadaan tidak tepat seperti ini, aku
bertanya-tanya dalam hati sambil menggerutu. Tapi aku tidak bisa juga
mengabaikan begitu saja. Masih ada kemungkinan dia adalah seorang teman lama,
atau bahkan keluarga jauh, yang aku sudah lupa karena lama tak bertemu.
Pikiranku jadi berputar-putar menebak-nebak. Itu membuatku setengah melamun
sepanjang jalan. Dan tiba-tiba lamunan itu kembali terantuk pada wajah putih oval
berpipi merah itu, Alicia!
Langkahku
seketika terhenti karena tersentak oleh lamunanku sendiri. Mengapa bayangan
wajah itu bisa muncul lagi? Sudah cukup lama aku melupakannya. Sejak aku
bertemu dan kemudian menikah dengan Annisa, dua tahun yang lalu, lambat-laun
bayangan itu makin memudar, dan akhirnya hilang sama sekali. Dulu, bayangan
wajah itu memang pernah membuatku jadi seperti orang gila. Kehilangan semangat
hidup, bahkan kehilangan segala-galanya. Bila mungkin, akan kujelajahi tiap
jengkal tanah di bumi ini untuk mencarinya. Tapi sia-sia belaka, dia hilang
bagai ditelan bumi, membawa separuh jiwaku bersamanya.
Ah,
mengapa pula aku memikirkan hal itu lagi? Aku mengutuk diriku sendiri. Sudah
terlalu banyak penggalan usiaku yang tersia-sia olehnya. Kini aku tinggal punya
sisanya, yang akan kuhabiskan bersama Annisa, dan buah hati kami yang akan
lahir tak lama lagi. Betapa susah-payah aku dulu menarik diri dari
keterpurukan, untuk bisa kembali dan menerima kenyataan. Tidak, aku tidak boleh
terjerumus lagi. Kubuang jauh-jauh bayangan wajah berpipi merah itu dari
benakku. Kulanjutkan langkahku, aku harus menyelesaikan urusan ini secepatnya.
"Ah,
Dokter Rino, sudah lahir putranya, Dok?" sapa Bu Eni ketika aku sampai di
depan pintu masuk Ruang 29. Ruangan ini menempati satu bangunan tersendiri di
sudut belakang Rumah Sakit Saiful Anwar. Di sebelah pohon rindang, berdekatan dengan
tembok pembatas Taman Budaya Senaputra.
"Belum,
Bu. Tak lama lagi mungkin, sudah makin sering kontraksinya," jawabku.
Aku
menerima sebuah masker penutup hidung dan mulut yang diberikan oleh perawat
setengah baya itu.
"Oh,
syukurlah. Ibunya sehat-sehat saja, kan? Nggak apa-apa ditinggal sebentar.
Dokter mau menengok pasien itu?"
"Iya.
Tapi, kok Ibu tahu saya sedang ada di rumah sakit?"
"Dokter
Lina yang bilang. Tadi katanya dia ketemu sama Dokter Rino di Paviliun."
"Oh,
begitu. Di kamar berapa pasiennya, Bu? Bagaimana kondisinya?" tanyaku.
"Begitulah,
Dok. Makin jelek. Dokter lihat saja sendiri."
Aku
berjalan ke arah kamar yang ditunjuk oleh Bu Eni. Ada dua tempat tidur di kamar
itu. Yang satu kosong. Yang satunya lagi ditempati oleh seorang pasien wanita
yang kelihatan sangat kurus. Boleh dibilang, tinggal tulang terbungkus kulit.
Pucat sekali. Nafasnya cepat, tersengal-sengal. Wajahnya tidak langsung
kukenali karena sebagian tertutup oleh sungkup oksigen berkantung itu. Aliran
oksigen terdengar mendesis jelas sekali, karena diberikan sangat tinggi, lima
belas liter semenit. Suara desisnya bersaing dengan suara nafas mengi wanita
itu, yang mendenging hampir seperti peluit.
Aku
mendekat, berusaha mengenali wajahnya. Namanya Vera, kata Bu Eni tadi.
Entahlah, sulit juga mengingat wajahnya. Bisa jadi pasien ini dulu bertemu
denganku di poliklinik rawat jalan, ketika kondisinya belum seburuk dan sekurus
ini.
Astaga,
jantungku tiba-tiba berdebar kencang. Aku mengenali bentuk alis itu. Juga
bentuk hidungnya, yang sedikit lebih ramping dibanding dulu. Ya, aku sempat
tertipu oleh pipinya yang kurus dan pucat itu, bahkan hampir kempot karena begitu
kurusnya. Pasti dia telah kehilangan hampir separuh berat-badannya semula.
Dulu, pipi itu tampak montok, sesuai dengan wajah ovalnya. Dulu, di pipi itu
bisa kulihat garis-garis tipis urat darahnya yang terlukis jelas pada kulit
putihnya yang sebening pualam. Dulu, pipi itu selalu kemerahan-merahan,
membuatku tak pernah bosan memandangnya.
Tak
mungkin salah, ini Alicia!
Betul,
namanya memang Alicia Vera.
Aku
terpaku menatapnya. Jantungku berdetak begitu cepat. Tak tahu aku harus berkata
apa. Bahkan, aku tak tahu harus memikirkan apa. Alicia. Mengapa tiba-tiba
muncul saat ini, setelah bertahun-tahun, dengan keadaan seperti ini. Terjangkit
penyakit akibat HIV, dan terbujur di sini dengan keadaan yang sedemikian
buruknya. Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Alicia?
Matanya
terpejam. Entah dia sedang tidur, atau memang tidak sadar.
"Alicia...,"
setengah berbisik aku memanggilnya. Aku tidak ingin orang lain mendengar aku
memanggilnya demikian. Kupegang dan kuremas tangannya erat-erat.
Dia
membuka mata. Sesaat bola matanya berputar, mencari-cari sesuatu, hingga ia
melihatku. Entah apakah ia mengenaliku, wajahku sebagian juga tertutup masker.
Tapi ia menatapku lama. Lalu sudut bibirnya terangkat, ia tersenyum.
"Alicia...
kamukah?" tanyaku, memastikan.
Ia
mengangguk lemah. Tatapan matanya berbinar, walau sayu.
"Kenapa,
Alicia?" tanyaku lagi. "Apa yang terjadi?"
Tiba-tiba
ia mengalihkan tatapan matanya dariku, beralih menatap langit-langit kamar
dengan pandangan kosong. Nafasnya tersengal-sengal lebih cepat. Aku membungkukkan
badan, menggenggam tangannya dengan kedua tanganku, berusaha memberinya
dukungan. Tangan itu begitu dingin, dan aku hampir tak bisa merasakan denyut
nadinya.
"Aku
ada di sini, Alicia," kataku. "Maafkan bila aku bersalah padamu. Aku
tak akan menyakitimu. Tidak perlu lari dariku seperti ini. Bila kamu tak lagi
mencintaiku, biarlah aku terima. Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Kemana saja
kamu selama ini?"
Alicia
menggeleng lemah. Ia kembali memandangku. Sayu. Binar matanya tadi tiba-tiba
menghilang. Kulihat bibirnya bergerak, seperti mengucapkan sesuatu, tapi aku
tak bisa mendengarnya. Terlalu lirih. Sepertinya berbicara saja perlu
perjuangan berat baginya.
"Maafkan
aku...," kudengar lirih kata-katanya ketika kuangkat sedikit sungkup
oksigen itu dari wajahnya.
"Kenapa,
Alicia?"
"Bang
Rino orang baik. Aku tidak pantas. Apa kata orang kalau tahu aku berpenyakit
seperti ini. Seharusnya aku tidak ke sini lagi. Tapi aku rindu sekali. Maafkan
aku, Bang. Jangan sampai orang tahu...."
Kata-kata
itu diucapkannya dengan susah-payah, kata demi kata, bersaing dengan usahanya
untuk tetap bernafas. Aku harus mengumpulkannya dalam benakku dengan perhatian
penuh, dan merangkainya sendiri untuk bisa mencerna apa maksudnya.
"Astaga,
Alicia... Jadi hanya karena ini kamu meninggalkanku?" ujarku penuh sesal.
Terbayang lagi saat-saat aku hampir gila karena menghilangnya Alicia saat itu.
Matanya
terpejam lagi.
"Alicia...,"
bisikku memanggilnya, agak lebih keras.
Tapi
ia tak membuka matanya lagi. Berkali-kali kupanggil, dan kugoyang-goyangkan
tangannya, tapi ia tetap diam. Matanya terpejam, tak pernah terbuka lagi.
Nafasnya masih terus bergerak naik-turun dengan cepat.
"Seperti
itulah, kesadarannya naik turun," kata seseorang di belakangku. Aku
menoleh. Ternyata Lina, dokter jaga itu. "Tensinya ngedrop terus. Ini
sudah dengan drip Norepinephrin
maksimal, dua mikro. Itu yang terpasang tinggal botol terakhir. Tadi
keluarganya bilang, sudah tak sanggup kalau harus beli Vascon lagi. Ini paling tinggal untuk setengah jam lagi. Setelah
itu entah, sudah nasibnya mungkin."
"Keluarganya?
Ada keluarganya di sini?" tanyaku heran.
"Sepertinya
juga bukan keluarganya benar-benar," jawab Lina. "Mereka hanya kepothokan saja. Pemilik kos-kosan dan
tetangga-tetangga kamarnya, mereka patungan membantunya. Itu pun sudah habis
duit katanya.""Bagaimana dia bisa ada di kos-kosan itu?"
"Entahlah,
ini pasien identitasnya juga nggak jelas. Nggak ada yang tahu asalnya dari
mana. KTP-nya sih dari Bengkalis, tapi kelihatannya juga bukan orang sana. Ia
masuk kos-kosan itu tiga bulan lalu, sudah kelihatan sakit-sakitan. Urusannya
apa di Malang sini juga gak jelas. Teman kosnya pernah memergoki dia
mondar-mandir di depan rumah sakit. Tapi waktu ditanya jawabnya
berbelit-belit."
"Kapan
mulai rawat inapnya?"
"Kemarin
dulu, masuk Ruang 23 Infeksi karena TBC Milier. Tapi sejak awal sudah curiga
ini pasien HIV. Ternyata benar, determinannya positif. Pindah ke Ruang 29
kemarin siang, sudah makin jelek kondisinya. Obat-obat juga nggak lancar masuknya.
Maklum pasien umum, tapi nggak jelas siapa yang nanggung biayanya."
Aku
menarik nafas panjang, mendesah dan geleng-geleng kepala.
"Memang
kenal pasien ini, Mas? Kata perawat yang dinas pagi, dia sempat menyebut-nyebut
nama Mas Rino."
Aku
terdiam, tak tahu harus mengatakan apa.
"Mungkin
pernah ketemu di Poli ya?"
ujar Lina lagi. "Tapi sudah dicek,
nggak ada statusnya di sana. Tapi entah juga, orang seperti ini kadang suka
gonta-ganti identitas."
Aku
menatap Alicia yang terbujur tak berdaya di tempat tidur itu dengan perasaan
tak karuan. Apa lagi yang bisa kulakukan sekarang. Menolongnya dalam kondisi
seperti ini sungguh sangat sulit. Aduhai, gadis bodoh. Jadi itu maksudnya,
beberapa hari sebelum menghilang ia sering bertanya tentang HIV dan AIDS. Waktu
itu mungkin ia mulai gelisah tentang kemungkinan terjangkit penyakit ini,
mengingat masa lalunya yang aku juga tidak jelas seperti apa. Bahkan, ia juga
bertanya di mana bisa memeriksakan diri untuk tes HIV. Bodoh, seharusnya saat
itu aku bisa mencium gelagat yang tidak beres. Pasti dia kemudian memeriksakan
diri tanpa sepengetahuanku. Dan ketika ketahuan positif terinfeksi HIV, ia jadi
ketakutan, lalu memutuskan untuk menghilang dari kehidupanku.
"Nanti
kalau Vascon-nya habis, belikan lagi
ya, Dik," ujarku pada Lina. "Aku yang menanggung biayanya
semua."
"Oh,
begitu. Memangnya kenal betul sama pasien ini apa, Mas? Bisa besar biayanya ini
nanti. Digrojog Vascon terus,
ujung-ujungnya mati juga. Belum antibiotiknya."
"Ya,
aku tahu," sahutku sambil menggigit bibir. "Kalau dia sudah menyebut
namaku, maka aku harus menolongnya. Bisa jadi, dia adalah seorang teman lama.
Siapa tahu?"
"Oke,
terserahlah. Jadi kita pertahankan ini maksimal ya?" kata Lina.
"Ya,
sampai Tuhan berkehendak lain."
Matanya terpejam. Tubuhnya
yang pucat dan kurus kering itu lunglai, diam tak bergerak. Tak berdaya lagi
untuk hidup. Hanya gerakan nafas di dadanya itu yang menampakkan kalau ia masih
hidup. Paling tidak, hingga saat ini ia masih bertarung melawan maut yang
menggerogotinya sekerat demi sekerat. Pada kondisi seperti ini, apa sebenarnya
yang sedang dipikirkannya? Apakah ia sedang bermimpi? Adakah orang-orang yang
menemani di dalam mimpinya? Atau ia hanya sendirian, tenggelam dalam kesunyian?
BERSAMBUNG ke...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar