7.1.13

Alicia, dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah # 1

Bagian 1


Alicia! Bayangan wajah dengan pipi yang selalu kemerah-merahan itu tiba-tiba menyeruak lagi dalam benakku. Aku tersentak. Heran. Mengapa sesuatu yang sudah begitu lama kulupakan tiba-tiba bisa muncul kembali. Padahal, demi membuang gambar wajah itu dari dinding otakku, aku telah mengelupas dinding itu begitu dalam, hingga bekas lukanya bertahun-tahun kemudian baru mengering.

"Pah, aku takut...," rintih istriku. Ia meremas tanganku kuat-kuat. Aku tersentak, lagi. Kesadaranku seketika terseret kembali ke dunia nyata. Kutemukan lagi diriku, sedang berdiri di samping pembaringan istriku. Lengan kiriku merangkul bahu kirinya, dan tangan kananku menggenggam jari-jari tangan kanannya. Jari-jari tangan itu, pada selang waktu tertentu, mencengkeram tanganku begitu erat. Itu menandakan ia sedang mengalami kontraksi di perutnya, yang mungkin terasa begitu nyeri. Aku tetap memegang tangannya, memberinya dukungan, dan menjaga agar ia tidak membuat jarum infus yang terpasang di punggung tangannya itu terlepas.
"Ah, tenang aja, Mah. Itu biasa kok, namanya juga mau melahirkan," kataku berusaha menenangkannya. Tapi aku sendiri juga tidak tenang melihatnya.
"Tapi sakit...," keluhnya lagi.
"Iya, tahankan ya. Aku tahu Mama pasti kuat. Takkan lama lagi."
"Berapa lama lagi? Aku sudah nggak tahan. Kok lama sih..."
"Hus, nggak boleh bilang begitu. Mama pasti tahan. Ayoh, sebut nama Allah. Jangan mengeluh, perbanyak dzikir. Jangan mengejan dulu, ingat apa kata Dokter Betty tadi. Perlu waktu untuk jalan lahir terbuka lengkap. Hemat tenaganya. Oke?!"
"Iya, Pah. Doakan Mama kuat ya." Istriku mengangguk. Ia mendongakkan kepala, berusaha melihat wajahku. Aku membalas pandangannya, berharap itu bisa memberinya kekuatan. Ia tersenyum. Aku pun tersenyum. Untung ia tidak melihat ketika pikiranku sedang pecah entah ke mana tadi.
Istriku memejamkan mata, tampak lebih tenang. Mungkin kontraksinya sedang mereda. Kulihat sedikit gerakan di bibirnya, pasti ia melanjutkan dzikirnya yang kadang-kadang terputus setiap kali rasa sakit itu datang. Ini adalah persalinan pertamanya. Anak kami yang pertama. Seolah rasa sakit yang menderanya itu ikut menjalar ke perutku. Aku ikut menegangkan perut dan menggertakkan gerahamku setiap kali ia merintih menahan sakit.
"Dokter Rino...." Tiba-tiba kudengar seseorang memanggil namaku.
"Iya, saya. Kenapa?" Aku menoleh, ternyata Bu Bidan itu yang memanggilku.
"Ada telepon, Dok!"
"Mencari saya?"
Aku mengernyitkan dahi, heran.
"Iya, mencari Dokter Rino, dari Ruang 29."
"Tapi saya nggak sedang jaga lho, Mbak?"
"Ya nggak tahu, Dokter. Memang mencari Dokter Rino kok, bukan dokter jaga."
"Mmm, ya deh, sebentar...." kataku.
Walaupun agak aneh, tapi aku harus menjawab panggilan telepon itu. Entah apakah ada Dokter Rino yang lain di rumah sakit ini, tapi setahuku tidak ada. Ruang 29 adalah bangsal rawat inap untuk penderita ODHA, alias Orang Dengan HIV/AIDS. Rasanya tak mungkin aku ada urusan dengan bangsal itu, kecuali sedang bertugas jaga. Memang aku pernah merawat pasien di sana, tapi sudah lama, ketika aku masih di semester satu dalam pendidikan dokter spesialis paru di rumah sakit ini.
"Mah, sebentar ya, ada telepon." Aku berbisik pada istriku. Pelan-pelan kulepaskan pegangan tangannya. Ia membuka mata, dan mengangguk.
"Jangan lama-lama," bisiknya juga.
Kutinggalkan istriku, berjalan ke arah telepon di atas meja di ruang perawat itu.
"Halo," sapaku saat mengangkat telepon.
"Dokter Rino, ya?" Suara seorang perempuan dari ujung sana.
"Betul," jawabku.
"Siapa ini?"
"Bu Eni, Dok. Lupa dengan suara saya, ya? Dari Ruang 29!"
"Oh, ya. Ada apa?"
"Ada pasien yang nyebut-nyebut nama Dokter terus nih, dari tadi."
"Oh, memangnya kenapa?"
"Ya nggak apa-apa juga sih. Mungkin Dokter mau nengoknya."
"Memang dia bilang ada hubungan apa dengan saya?"
"Nggak tahu, Dok. Wong orangnya setengah sadar setengah enggak. Kalau lagi agak sadar dia nyebut-nyebut nama dokter terus."
"Lhah, nama Rino kan banyak, Bu. Belum tentu saya. Bisa jadi pacarnya atau apanya gitu...," sahutku, sedikit kesal.
"Bukan, Dok...," potong Bu Eni. "Memang dia bilangnya Dokter Rino, gitu. Waktu baru datang tadi siang juga dia sempat nanya sama Mbak Ria, yang dinas pagi, Dokter Rino kerja di sini ya? Begitu katanya."
"Mmm... Siapa namanya? Apa sebelumnya pernah dirawat di Ruang 29?" Tanyaku penasaran.
"Seingat saya tidak pernah, Dok. Statusnya baru, belum pernah sama sekali dirawat di rumah sakit sini. "
"Namanya?"
"Oh ya. Nyonya Vera, Dok. Kenal?"
"Ah, setahuku tidak ada keluarga atau teman dekatku yang namanya Vera. Ya sudah, mungkin pasien lama. Bisa saja dulu dia melihat saya di poli rawat jalan, tapi tidak pernah opname di rumah sakit."
"Dokter mau ke sini?"
"Ya, besok saya tengok. Ini masih lagi nunggui istri mau melahirkan."
"Oh, ya. Selamat ya, Dok. Semoga lancar-lancar saja. Maaf, sudah mengganggu. Tapi... besok belum tentu  orangnya masih ada, Dok."
"Maksudnya?"
"Begitulah, jelek kondisinya sekarang. Kesadaran menurun. Tensinya ngedrop terus. Sudah di-drip NE tuh. Makin sesak juga. Jangan-jangan nggak bertahan sampai besok pagi."
"Mmm... begitu ya?" Aku jadi bimbang. "Ntar deh, kalau sempat. Terimakasih informasinya."
"Oke, Dok. Sama-sama."
Aku jadi merasa kurang enak. Bimbang. Enggan rasanya meninggalkan istriku walau hanya sebentar saat ini. Aku ingin mendampinginya hingga anak kami lahir. Bagaimanapun, ini anak pertama. Tapi, mungkin masih ada waktu cukup panjang sebelum tiba saat persalinan. Dan orang itu bisa meninggal kapan saja. Walaupun namanya, Ny. Vera, sama sekali tidak kuingat, tapi tetap membuatku penasaran. Siapa kiranya dia, orang yang mengingat namaku di kala sedang sekarat?
Akhirnya aku memanggil ibu mertuaku yang sejak tadi menunggu di luar kamar bersalin. Kuminta beliau masuk, menggantikan aku menunggui anaknya.
"Mah, ditunggui ibu dulu ya," kataku pada istriku. "Sebentar, aku ada perlu, ada panggilan dari ruangan di belakang."
"Mmhh... ya, tapi jangan lama-lama," jawabnya sambil meringis menahan sakit, kontraksinya datang lagi.
Jam satu malam. Di luar langit gelap. Bulan tiada tampak, bahkan setitik bintang pun tidak. Sepertinya mendung begitu tebal, sehingga langit jadi segelap itu. Hujan rintik-rintik. Aku berjalan dengan langkah-langkah cepat menyusuri selasar rumah sakit menuju Ruang 29. Selasar panjang ke bagian belakang rumah sakit itu sedang sepi. Senyap. Jauh berbeda dengan saat siang hari. Ada beberapa orang, mungkin keluarga pasien, tidur bergelimpangan di pinggir-pinggirnya, tapi tak mengubah suasana. Tetap sunyi, cocok sekali untuk tempat syuting film horor. Tak seorang pun berpapasan denganku, kecuali seorang petugas yang sedang mendorong keranda jenazah. Aku mengangguk dan tersenyum menyapanya, tapi tidak bertanya apakah keranda itu kosong atau ada isinya.
Akan kuselesaikan urusan ini secepatnya. Aku harus segera kembali menemani istriku di kamar bersalin. Tak sedetik pun momen kelahiran anak pertamaku akan kulewatkan begitu saja. Tapi selasar ini terlalu panjang untuk ditempuh secepatnya dengan berjalan kaki. Ruang 29 terletak di sudut paling belakang rumah sakit. Mungkin, kalau aku berlari, akan lebih cepat sampai ke sana. Tapi tidak enak dilihat orang.
Siapa pula pasien yang mencariku dalam keadaan tidak tepat seperti ini, aku bertanya-tanya dalam hati sambil menggerutu. Tapi aku tidak bisa juga mengabaikan begitu saja. Masih ada kemungkinan dia adalah seorang teman lama, atau bahkan keluarga jauh, yang aku sudah lupa karena lama tak bertemu. Pikiranku jadi berputar-putar menebak-nebak. Itu membuatku setengah melamun sepanjang jalan. Dan tiba-tiba lamunan itu kembali terantuk pada wajah putih oval berpipi merah itu, Alicia!
Langkahku seketika terhenti karena tersentak oleh lamunanku sendiri. Mengapa bayangan wajah itu bisa muncul lagi? Sudah cukup lama aku melupakannya. Sejak aku bertemu dan kemudian menikah dengan Annisa, dua tahun yang lalu, lambat-laun bayangan itu makin memudar, dan akhirnya hilang sama sekali. Dulu, bayangan wajah itu memang pernah membuatku jadi seperti orang gila. Kehilangan semangat hidup, bahkan kehilangan segala-galanya. Bila mungkin, akan kujelajahi tiap jengkal tanah di bumi ini untuk mencarinya. Tapi sia-sia belaka, dia hilang bagai ditelan bumi, membawa separuh jiwaku bersamanya.
Ah, mengapa pula aku memikirkan hal itu lagi? Aku mengutuk diriku sendiri. Sudah terlalu banyak penggalan usiaku yang tersia-sia olehnya. Kini aku tinggal punya sisanya, yang akan kuhabiskan bersama Annisa, dan buah hati kami yang akan lahir tak lama lagi. Betapa susah-payah aku dulu menarik diri dari keterpurukan, untuk bisa kembali dan menerima kenyataan. Tidak, aku tidak boleh terjerumus lagi. Kubuang jauh-jauh bayangan wajah berpipi merah itu dari benakku. Kulanjutkan langkahku, aku harus menyelesaikan urusan ini secepatnya.
"Ah, Dokter Rino, sudah lahir putranya, Dok?" sapa Bu Eni ketika aku sampai di depan pintu masuk Ruang 29. Ruangan ini menempati satu bangunan tersendiri di sudut belakang Rumah Sakit Saiful Anwar. Di sebelah pohon rindang, berdekatan dengan tembok pembatas Taman Budaya Senaputra.
"Belum, Bu. Tak lama lagi mungkin, sudah makin sering kontraksinya," jawabku.
Aku menerima sebuah masker penutup hidung dan mulut yang diberikan oleh perawat setengah baya itu.
"Oh, syukurlah. Ibunya sehat-sehat saja, kan? Nggak apa-apa ditinggal sebentar. Dokter mau menengok pasien itu?"
"Iya. Tapi, kok Ibu tahu saya sedang ada di rumah sakit?"
"Dokter Lina yang bilang. Tadi katanya dia ketemu sama Dokter Rino di Paviliun."
"Oh, begitu. Di kamar berapa pasiennya, Bu? Bagaimana kondisinya?" tanyaku.
"Begitulah, Dok. Makin jelek. Dokter lihat saja sendiri."
Aku berjalan ke arah kamar yang ditunjuk oleh Bu Eni. Ada dua tempat tidur di kamar itu. Yang satu kosong. Yang satunya lagi ditempati oleh seorang pasien wanita yang kelihatan sangat kurus. Boleh dibilang, tinggal tulang terbungkus kulit. Pucat sekali. Nafasnya cepat, tersengal-sengal. Wajahnya tidak langsung kukenali karena sebagian tertutup oleh sungkup oksigen berkantung itu. Aliran oksigen terdengar mendesis jelas sekali, karena diberikan sangat tinggi, lima belas liter semenit. Suara desisnya bersaing dengan suara nafas mengi wanita itu, yang mendenging hampir seperti peluit. 
Aku mendekat, berusaha mengenali wajahnya. Namanya Vera, kata Bu Eni tadi. Entahlah, sulit juga mengingat wajahnya. Bisa jadi pasien ini dulu bertemu denganku di poliklinik rawat jalan, ketika kondisinya belum seburuk dan sekurus ini.
Astaga, jantungku tiba-tiba berdebar kencang. Aku mengenali bentuk alis itu. Juga bentuk hidungnya, yang sedikit lebih ramping dibanding dulu. Ya, aku sempat tertipu oleh pipinya yang kurus dan pucat itu, bahkan hampir kempot karena begitu kurusnya. Pasti dia telah kehilangan hampir separuh berat-badannya semula. Dulu, pipi itu tampak montok, sesuai dengan wajah ovalnya. Dulu, di pipi itu bisa kulihat garis-garis tipis urat darahnya yang terlukis jelas pada kulit putihnya yang sebening pualam. Dulu, pipi itu selalu kemerahan-merahan, membuatku tak pernah bosan memandangnya.
Tak mungkin salah, ini Alicia!
Betul, namanya memang Alicia Vera.
Aku terpaku menatapnya. Jantungku berdetak begitu cepat. Tak tahu aku harus berkata apa. Bahkan, aku tak tahu harus memikirkan apa. Alicia. Mengapa tiba-tiba muncul saat ini, setelah bertahun-tahun, dengan keadaan seperti ini. Terjangkit penyakit akibat HIV, dan terbujur di sini dengan keadaan yang sedemikian buruknya. Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Alicia?
Matanya terpejam. Entah dia sedang tidur, atau memang tidak sadar.
"Alicia...," setengah berbisik aku memanggilnya. Aku tidak ingin orang lain mendengar aku memanggilnya demikian. Kupegang dan kuremas tangannya erat-erat.
Dia membuka mata. Sesaat bola matanya berputar, mencari-cari sesuatu, hingga ia melihatku. Entah apakah ia mengenaliku, wajahku sebagian juga tertutup masker. Tapi ia menatapku lama. Lalu sudut bibirnya terangkat, ia tersenyum.
"Alicia... kamukah?" tanyaku, memastikan.
Ia mengangguk lemah. Tatapan matanya berbinar, walau sayu.
"Kenapa, Alicia?" tanyaku lagi. "Apa yang terjadi?"
Tiba-tiba ia mengalihkan tatapan matanya dariku, beralih menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Nafasnya tersengal-sengal lebih cepat. Aku membungkukkan badan, menggenggam tangannya dengan kedua tanganku, berusaha memberinya dukungan. Tangan itu begitu dingin, dan aku hampir tak bisa merasakan denyut nadinya.
"Aku ada di sini, Alicia," kataku. "Maafkan bila aku bersalah padamu. Aku tak akan menyakitimu. Tidak perlu lari dariku seperti ini. Bila kamu tak lagi mencintaiku, biarlah aku terima. Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Kemana saja kamu selama ini?"
Alicia menggeleng lemah. Ia kembali memandangku. Sayu. Binar matanya tadi tiba-tiba menghilang. Kulihat bibirnya bergerak, seperti mengucapkan sesuatu, tapi aku tak bisa mendengarnya. Terlalu lirih. Sepertinya berbicara saja perlu perjuangan berat baginya.
"Maafkan aku...," kudengar lirih kata-katanya ketika kuangkat sedikit sungkup oksigen itu dari wajahnya.
"Kenapa, Alicia?"
"Bang Rino orang baik. Aku tidak pantas. Apa kata orang kalau tahu aku berpenyakit seperti ini. Seharusnya aku tidak ke sini lagi. Tapi aku rindu sekali. Maafkan aku, Bang. Jangan sampai orang tahu...."
Kata-kata itu diucapkannya dengan susah-payah, kata demi kata, bersaing dengan usahanya untuk tetap bernafas. Aku harus mengumpulkannya dalam benakku dengan perhatian penuh, dan merangkainya sendiri untuk bisa mencerna apa maksudnya.
"Astaga, Alicia... Jadi hanya karena ini kamu meninggalkanku?" ujarku penuh sesal. Terbayang lagi saat-saat aku hampir gila karena menghilangnya Alicia saat itu.
Matanya terpejam lagi.
"Alicia...," bisikku memanggilnya, agak lebih keras.
Tapi ia tak membuka matanya lagi. Berkali-kali kupanggil, dan kugoyang-goyangkan tangannya, tapi ia tetap diam. Matanya terpejam, tak pernah terbuka lagi. Nafasnya masih terus bergerak naik-turun dengan cepat.
"Seperti itulah, kesadarannya naik turun," kata seseorang di belakangku. Aku menoleh. Ternyata Lina, dokter jaga itu. "Tensinya ngedrop terus. Ini sudah dengan drip Norepinephrin maksimal, dua mikro. Itu yang terpasang tinggal botol terakhir. Tadi keluarganya bilang, sudah tak sanggup kalau harus beli Vascon lagi. Ini paling tinggal untuk setengah jam lagi. Setelah itu entah, sudah nasibnya mungkin."
"Keluarganya? Ada keluarganya di sini?" tanyaku heran.
"Sepertinya juga bukan keluarganya benar-benar," jawab Lina. "Mereka hanya kepothokan saja. Pemilik kos-kosan dan tetangga-tetangga kamarnya, mereka patungan membantunya. Itu pun sudah habis duit katanya.""Bagaimana dia bisa ada di kos-kosan itu?"
"Entahlah, ini pasien identitasnya juga nggak jelas. Nggak ada yang tahu asalnya dari mana. KTP-nya sih dari Bengkalis, tapi kelihatannya juga bukan orang sana. Ia masuk kos-kosan itu tiga bulan lalu, sudah kelihatan sakit-sakitan. Urusannya apa di Malang sini juga gak jelas. Teman kosnya pernah memergoki dia mondar-mandir di depan rumah sakit. Tapi waktu ditanya jawabnya berbelit-belit."
"Kapan mulai rawat inapnya?"
"Kemarin dulu, masuk Ruang 23 Infeksi karena TBC Milier. Tapi sejak awal sudah curiga ini pasien HIV. Ternyata benar, determinannya positif. Pindah ke Ruang 29 kemarin siang, sudah makin jelek kondisinya. Obat-obat juga nggak lancar masuknya. Maklum pasien umum, tapi nggak jelas siapa yang nanggung biayanya."
Aku menarik nafas panjang, mendesah dan geleng-geleng kepala.
"Memang kenal pasien ini, Mas? Kata perawat yang dinas pagi, dia sempat menyebut-nyebut nama Mas Rino."
Aku terdiam, tak tahu harus mengatakan apa.
"Mungkin pernah ketemu di Poli ya?" ujar Lina lagi. "Tapi sudah dicek, nggak ada statusnya di sana. Tapi entah juga, orang seperti ini kadang suka gonta-ganti identitas."
Aku menatap Alicia yang terbujur tak berdaya di tempat tidur itu dengan perasaan tak karuan. Apa lagi yang bisa kulakukan sekarang. Menolongnya dalam kondisi seperti ini sungguh sangat sulit. Aduhai, gadis bodoh. Jadi itu maksudnya, beberapa hari sebelum menghilang ia sering bertanya tentang HIV dan AIDS. Waktu itu mungkin ia mulai gelisah tentang kemungkinan terjangkit penyakit ini, mengingat masa lalunya yang aku juga tidak jelas seperti apa. Bahkan, ia juga bertanya di mana bisa memeriksakan diri untuk tes HIV. Bodoh, seharusnya saat itu aku bisa mencium gelagat yang tidak beres. Pasti dia kemudian memeriksakan diri tanpa sepengetahuanku. Dan ketika ketahuan positif terinfeksi HIV, ia jadi ketakutan, lalu memutuskan untuk menghilang dari kehidupanku.
"Nanti kalau Vascon-nya habis, belikan lagi ya, Dik," ujarku pada Lina. "Aku yang menanggung biayanya semua."
"Oh, begitu. Memangnya kenal betul sama pasien ini apa, Mas? Bisa besar biayanya ini nanti. Digrojog Vascon terus, ujung-ujungnya mati juga. Belum antibiotiknya."
"Ya, aku tahu," sahutku sambil menggigit bibir. "Kalau dia sudah menyebut namaku, maka aku harus menolongnya. Bisa jadi, dia adalah seorang teman lama. Siapa tahu?"
"Oke, terserahlah. Jadi kita pertahankan ini maksimal ya?" kata Lina.
"Ya, sampai Tuhan berkehendak lain."

Matanya terpejam. Tubuhnya yang pucat dan kurus kering itu lunglai, diam tak bergerak. Tak berdaya lagi untuk hidup. Hanya gerakan nafas di dadanya itu yang menampakkan kalau ia masih hidup. Paling tidak, hingga saat ini ia masih bertarung melawan maut yang menggerogotinya sekerat demi sekerat. Pada kondisi seperti ini, apa sebenarnya yang sedang dipikirkannya? Apakah ia sedang bermimpi? Adakah orang-orang yang menemani di dalam mimpinya? Atau ia hanya sendirian, tenggelam dalam kesunyian?

BERSAMBUNG ke...
Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar