6.1.13

Andai Waktu Bisa Kuputar Kembali



JANGAN  PERNAH  BILANG  TAK  MUNGKIN !

Panas sekali siang ini. Terik matahari serasa melelehkan isi kepala. Urat-urat darah di pelipisku sampai berdenyut-denyut. Pening. Sepertinya tak sanggup lagi aku terus berjalan. Bukan hanya kepalaku yang pening, perutku juga keroncongan. Tenagaku hampir tak bersisa lagi setelah berjalan kaki menjelajahi separuh kota ini, tanpa hasil.


Benar-benar tidak beruntung aku hari ini. Seharian tak ada satu orang pun memanggilku untuk menjahitkan sepatu. Padahal, sejak berangkat pagi-pagi tadi, tak ada uang sepeser pun di kantongku. Aku belum sarapan. Dan hingga sesiang ini, aku masih tak punya uang untuk membeli makan. Ah, nasib.... Menjadi tukang sol sepatu bukanlah pekerjaan yang kuinginkan. Jangankan mencukupi, untuk menambal kebutuhan makan saja tak terpenuhi. Apalagi di usiaku yang sudah hampir tujuh puluh tahun ini, pekerjaan seperti ini bisa membuatku mati mendadak di pinggir jalan. Tapi apa daya, aku tidak punya keahlian lain.
Aku mau beristirahat dulu sekarang, letih sekali rasanya. Emperan toko itu tampaknya cukup teduh. Tapi... bukankah itu toko bangunan Si Darta? Bah! Kalau ada tempat lain mending aku berteduh di tempat lain saja. Tapi toko-toko lain kepanasan semua empernya, hanya toko bangunan itu yang cukup teduh. Lagipula, ada pohon besar di sebelah tokonya.
Celingukan sebentar, tak kulihat pemilik toko itu. Merasa aman, aku pun duduk di pojok emperan toko. Aku bukan takut pada Darta, hanya malu. Aku tak mau ia melihat keadaanku sekarang. Dulu aku dan Darta sama-sama jadi kuli bangunan. Sekarang, setelah sama-sama tak kuat lagi kerja jadi kuli, aku beralih jadi tukang sol sepatu keliling. Dan Darta? Dialah pemilik toko bangunan ini. Kerjanya hanya duduk santai di balik meja kasir, tapi duitnya makin banyak saja.
Kok bisa ya? Bagaimana nasib kami berdua bisa mengarah ke ujung yang jauh berbeda? Ah, seandainya waktu bisa kuputar kembali, tentu takkan kubiarkan jalan hidupku berakhir begini.
Apa yang hebat dari Darta? Tidak ada, menurutku. Waktu sama-sama jadi kuli, akulah yang banyak mengajarinya. Tenagaku juga lebih kuat darinya. Bahkan, banyak orang menilai dia itu “malas” dan “cepat capek”. Darta juga mudah tersinggung. Pada suatu hari, kami − para kuli bangunan − sedang istirahat. Hari itu sangat panas, sehingga kami agak malas kembali bekerja. Lalu datanglah seorang mandor memaki-maki kami. Tidak ada yang sakit hati dengan makian itu kecuali Darta. Ia bersumpah akan mengubah nasibnya menjadi lebih kaya dari mandor itu, sehingga takkan dimaki orang lagi. Kami semua menertawakannya, bagaimana mungkin seorang kuli menjadi kaya?
Itulah salahku, cepat sekali bilang “tak mungkin”. Darta sebaliknya, baginya tidak ada hal yang tak mungkin sebelum dicoba. Dia mendatangi pemborong proyek tempat kami bekerja. Tiap sore seusai bekerja sebagai kuli, dia bekerja di rumah pemborong itu, tanpa digaji, dengan imbalan dia minta diajari cara menjadi orang kaya. Lucu sekali kedengarannya! Kami semua tertawa. Tapi beberapa tahun kemudian, kami tak bisa lagi menertawakannya, karena Darta telah berhasil menjadi orang kaya, seperti yang diinginkannya. Sedangkan kami, tetap jadi kuli.
Ah, seandainya waktu bisa kuputar kembali. Kalau sedari dulu aku bersikap seperti Darta, mungkin sekarang aku tak perlu berjalan kaki dari gang ke gang, menawarkan jasa menjahit sepatu yang rusak. Kalau Darta bisa, mestinya aku juga bisa, toh dia tidak lebih hebat dariku. Sayang, waktu tak pernah bisa diputar kembali. Maka di sinilah aku, membanting tulang di umur enam puluh tahun, sambil menyesali nasib setiap hari.
Sebuah mobil sedan BMW berhenti tepat di depan toko. Ah, ternyata pengemudinya seorang gadis cantik berbaju kurung dan berkerudung manis. Gadis itu turun dari mobil dan bergegas membuka pintu sebelahnya. Ia dengan telaten membantu seorang kakek-kakek turun dari mobil. Astaga! Orang tua itu... Munip! Temanku sekampung, dulu.
Ya betul, itu Si Munip. Aku membalikkan badan, bersandar ke dinding toko sambil menutup muka dengan topi burukku, pura-pura tidur. Aku tak mau Munip melihatku. Aku malu.
Munip adalah teman sekampungku dulu. Kami pernah akrab waktu masih sama-sama pemuda tanggung. Aku ingat, akulah yang mengajarinya main ukulele. Waktu itu jamannya lagi musim orang main musik keroncong. Kadang-kadang kami mengamen keliling kampung. Suaranya tidak istimewa, lebih bagus suaraku. Tampangnya juga tidak istimewa, lebih tampanlah aku, kurasa.
Pertemanan kami merenggang ketika Munip berkata bahwa ia jatuh cinta pada anak Haji Alwi, keturunan Arab itu. Sudah tentu, hampir semua pemuda di kampungku menaruh hati pada Laila, yang cantik jelita itu, tak terkecuali aku. Hanya saja, tak ada di antara kami yang berani terang-terangan menyatakannya. Maklum, Haji Alwi adalah orang terkaya di kampung kami. Tak mungkin Haji Alwi akan menikahkah Laila dengan kuli kampung miskin seperti kami.
Tapi gilanya Si Munip, dia tak mau dibilang “tak mungkin”. Ia membawa ukulelenya dan menyanyi di depan rumah gadis itu. Semula ia diusir oleh pelayan-pelayan Haji Alwi, tapi besoknya ia kembali lagi, dasar muka tembok! Ternyata Laila suka mengintipnya dari balik jendela dan jatuh hati padanya. Tak disangka, Haji Alwi kemudian memanggilnya. Munip diberi pekerjaan di toko kelontong mereka. Karena rajin bekerja dan jujur, Haji Alwi pun suka padanya, dan setahun kemudian ia sudah menjadi menantu keluarga itu.
Ah, seandainya waktu bisa kuputar kembali. Aku akan lebih dulu mendatangi gadis itu membawa ukuleleku. Aku lebih tampan dan suaraku lebih merdu. Seharusnya Laila jatuh cinta padaku, bukan Munip. Seharusnya aku yang sekarang naik mobil BMW itu, jadi menantu orang kaya dan punya istri cantik. Ah, seandainya waktu bisa kuputar kembali. Tak terhitung berapa kali aku mengatakan hal itu. Memutar waktu kembali... tapi itulah satu-satunya hal yang “tak mungkin” di dunia ini. Dan aku terlambat menyadarinya.
Dari balik topi burukku, aku mengintip Munip yang sedang digandeng tangannya oleh gadis cantik itu, berjalan menuju toko Darta. Pasti gadis itu adalah cucunya. Ck ck ck.... Sampai pada wajah cucunya pun masih terlukis jelas kecantikan istrinya.
Tiba-tiba dari toko itu keluar Darta dan seorang pemuda tampan. Tampaknya sang gadis dan pemuda itu sudah saling mengenal. Mereka saling memperkenalkan Darta dan Munip. Lagak-lagaknya, kedua orang “bekas” temanku itu bakalan berbesanan. Jadi kakek besan, maksudku.
Ketika keempat orang itu masuk ke dalam toko, hilang dari pandanganku, ada rasa hampa meletup dalam hatiku. Rasanya, aku telah ditinggalkan oleh dunia dan seisinya. Ah, seandainya waktu bisa kuputar kembali. Tapi sayangnya, itu tak mungkin.  

MALANG 16/11/2012

Kisah Fiksi ini ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar