JANGAN PERNAH BILANG TAK MUNGKIN !
Panas sekali siang ini. Terik matahari serasa
melelehkan isi kepala. Urat-urat darah di pelipisku sampai berdenyut-denyut. Pening.
Sepertinya tak sanggup lagi aku terus berjalan. Bukan hanya kepalaku yang pening,
perutku juga keroncongan. Tenagaku hampir tak bersisa lagi setelah berjalan
kaki menjelajahi separuh kota ini, tanpa hasil.
Benar-benar tidak beruntung
aku hari ini. Seharian tak ada satu orang pun memanggilku untuk menjahitkan
sepatu. Padahal, sejak berangkat pagi-pagi tadi, tak ada uang sepeser pun di
kantongku. Aku belum sarapan. Dan hingga sesiang ini, aku masih tak punya uang
untuk membeli makan. Ah, nasib.... Menjadi tukang sol sepatu bukanlah pekerjaan
yang kuinginkan. Jangankan mencukupi, untuk menambal kebutuhan makan saja tak
terpenuhi. Apalagi di usiaku yang sudah hampir tujuh puluh tahun ini, pekerjaan
seperti ini bisa membuatku mati mendadak di pinggir jalan. Tapi apa daya, aku
tidak punya keahlian lain.
Aku mau beristirahat dulu
sekarang, letih sekali rasanya. Emperan toko itu tampaknya cukup teduh. Tapi...
bukankah itu toko bangunan Si Darta? Bah! Kalau ada tempat lain mending aku
berteduh di tempat lain saja. Tapi toko-toko lain kepanasan semua empernya,
hanya toko bangunan itu yang cukup teduh. Lagipula, ada pohon besar di sebelah
tokonya.
Celingukan sebentar, tak kulihat pemilik toko itu. Merasa aman, aku
pun duduk di pojok emperan toko. Aku bukan takut pada Darta, hanya malu. Aku
tak mau ia melihat keadaanku sekarang. Dulu aku dan Darta sama-sama jadi kuli
bangunan. Sekarang, setelah sama-sama tak kuat lagi kerja jadi kuli, aku
beralih jadi tukang sol sepatu keliling. Dan Darta? Dialah pemilik toko
bangunan ini. Kerjanya hanya duduk santai di balik meja kasir, tapi duitnya
makin banyak saja.
Kok bisa ya? Bagaimana nasib
kami berdua bisa mengarah ke ujung yang jauh berbeda? Ah, seandainya waktu bisa
kuputar kembali, tentu takkan kubiarkan jalan hidupku berakhir begini.
Apa yang hebat dari Darta?
Tidak ada, menurutku. Waktu sama-sama jadi kuli, akulah yang banyak
mengajarinya. Tenagaku juga lebih kuat darinya. Bahkan, banyak orang menilai
dia itu “malas” dan “cepat capek”. Darta juga mudah tersinggung. Pada suatu
hari, kami − para kuli bangunan − sedang istirahat. Hari itu sangat panas,
sehingga kami agak malas kembali bekerja. Lalu datanglah seorang mandor
memaki-maki kami. Tidak ada yang sakit hati dengan makian itu kecuali Darta. Ia
bersumpah akan mengubah nasibnya menjadi lebih kaya dari mandor itu, sehingga
takkan dimaki orang lagi. Kami semua menertawakannya, bagaimana mungkin seorang
kuli menjadi kaya?
Itulah salahku, cepat sekali
bilang “tak mungkin”. Darta sebaliknya, baginya tidak ada hal yang tak mungkin
sebelum dicoba. Dia mendatangi pemborong proyek tempat kami bekerja. Tiap sore
seusai bekerja sebagai kuli, dia bekerja di rumah pemborong itu, tanpa digaji,
dengan imbalan dia minta diajari cara menjadi orang kaya. Lucu sekali
kedengarannya! Kami semua tertawa. Tapi beberapa tahun kemudian, kami tak bisa
lagi menertawakannya, karena Darta telah berhasil menjadi orang kaya, seperti
yang diinginkannya. Sedangkan kami, tetap jadi kuli.
Ah, seandainya waktu bisa kuputar kembali. Kalau sedari dulu aku
bersikap seperti Darta, mungkin sekarang aku tak perlu berjalan kaki dari gang
ke gang, menawarkan jasa menjahit sepatu yang rusak. Kalau Darta bisa, mestinya
aku juga bisa, toh dia tidak lebih hebat dariku. Sayang, waktu tak pernah bisa
diputar kembali. Maka di sinilah aku, membanting tulang di umur enam puluh tahun,
sambil menyesali nasib setiap hari.
Sebuah mobil sedan BMW
berhenti tepat di depan toko. Ah, ternyata pengemudinya seorang gadis cantik
berbaju kurung dan berkerudung manis. Gadis itu turun dari mobil dan bergegas
membuka pintu sebelahnya. Ia dengan telaten membantu seorang kakek-kakek turun dari
mobil. Astaga! Orang tua itu... Munip! Temanku sekampung, dulu.
Ya betul, itu Si Munip. Aku
membalikkan badan, bersandar ke dinding toko sambil menutup muka dengan topi
burukku, pura-pura tidur. Aku tak mau Munip melihatku. Aku malu.
Munip adalah teman sekampungku
dulu. Kami pernah akrab waktu masih sama-sama pemuda tanggung. Aku ingat,
akulah yang mengajarinya main ukulele. Waktu itu jamannya lagi musim orang main
musik keroncong. Kadang-kadang kami mengamen keliling kampung. Suaranya tidak
istimewa, lebih bagus suaraku. Tampangnya juga tidak istimewa, lebih tampanlah
aku, kurasa.
Pertemanan kami merenggang
ketika Munip berkata bahwa ia jatuh cinta pada anak Haji Alwi, keturunan Arab
itu. Sudah tentu, hampir semua pemuda di kampungku menaruh hati pada Laila,
yang cantik jelita itu, tak terkecuali aku. Hanya saja, tak ada di antara kami
yang berani terang-terangan menyatakannya. Maklum, Haji Alwi adalah orang terkaya
di kampung kami. Tak mungkin Haji Alwi akan menikahkah Laila dengan kuli
kampung miskin seperti kami.
Tapi gilanya Si Munip, dia tak
mau dibilang “tak mungkin”. Ia membawa ukulelenya dan menyanyi di depan rumah
gadis itu. Semula ia diusir oleh pelayan-pelayan Haji Alwi, tapi besoknya ia
kembali lagi, dasar muka tembok! Ternyata Laila suka mengintipnya dari balik
jendela dan jatuh hati padanya. Tak disangka, Haji Alwi kemudian memanggilnya. Munip
diberi pekerjaan di toko kelontong mereka. Karena rajin bekerja dan jujur, Haji
Alwi pun suka padanya, dan setahun kemudian ia sudah menjadi menantu keluarga
itu.
Ah, seandainya waktu bisa kuputar kembali. Aku akan lebih dulu
mendatangi gadis itu membawa ukuleleku. Aku lebih tampan dan suaraku lebih
merdu. Seharusnya Laila jatuh cinta padaku, bukan Munip. Seharusnya aku yang
sekarang naik mobil BMW itu, jadi menantu orang kaya dan punya istri cantik. Ah, seandainya waktu bisa kuputar kembali.
Tak terhitung berapa kali aku mengatakan hal itu. Memutar waktu kembali... tapi
itulah satu-satunya hal yang “tak mungkin” di dunia ini. Dan aku terlambat
menyadarinya.
Dari balik topi burukku, aku
mengintip Munip yang sedang digandeng tangannya oleh gadis cantik itu, berjalan
menuju toko Darta. Pasti gadis itu adalah cucunya. Ck ck ck.... Sampai pada wajah
cucunya pun masih terlukis jelas kecantikan istrinya.
Tiba-tiba dari toko itu keluar
Darta dan seorang pemuda tampan. Tampaknya sang gadis dan pemuda itu sudah
saling mengenal. Mereka saling memperkenalkan Darta dan Munip. Lagak-lagaknya,
kedua orang “bekas” temanku itu bakalan berbesanan. Jadi kakek besan, maksudku.
Ketika keempat orang itu masuk
ke dalam toko, hilang dari pandanganku, ada rasa hampa meletup dalam hatiku. Rasanya,
aku telah ditinggalkan oleh dunia dan seisinya. Ah, seandainya waktu bisa kuputar kembali. Tapi sayangnya, itu tak
mungkin.
MALANG 16/11/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar