3.1.13

Ibu Kosku Cantik Sekali



Ditulis oleh Rahadi W. untuk Kisah Fiksi Kehidupan

          Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku menggeliat, antara sadar dan mimpi. Perempuan cantik itu melambai-lambai ke arahku. Ia menggandeng seorang anak lelaki yang terus memanggil-manggil namaku, "Om Dodi... Om Dodi...."


      Tok! Tok! Tok! Suara ketukan itu makin keras. Kesadaranku mulai pulih, walau lambat. Aku mengedip-ngedipkan mata, mengusir kantuk yang tersisa. Bayangan perempuan itu memudar, berganti pemandangan kamarku yang berantakan.
               Siapa yang mengganggu tidurku pagi-pagi begini? Kulihat jam dinding. Jam 07.25. Rasa kantukku belum lagi hilang. Aku baru berangkat tidur sehabis subuh tadi, setelah semalaman lembur mengetik skripsiku.
                 "Ya, sebentar...," seruku. "Siapa, ya?"
             Orang yang mengetuk pintu itu tidak menjawab. Aku berkaca sebentar, menyisir rambut dan berganti baju, lalu membuka pintu kamar.
           Wanita itu tersenyum ketika melihatku membuka pintu kamar.
      Aku terkejut. Tadinya kukira Mbok Yem, pembantu rumah kos ini yang biasanya cuma mau mengambil cucian, atau salah satu temanku. Tapi ternyata bukan. Ternyata wanita itulah yang sejak tadi mengetuk-ngetuk pintu kamar. Aku mengenalnya, tapi hampir tak pernah ngobrol dengannya, kecuali dalam mimpi. Aku tak tahu, mengapa sejak aku menjadi penghuni rumah kos ini, dia sering muncul dalam mimpiku. Aku jadi malu sendiri, berharap orang lain tidak mengetahui mimpiku, karena wanita itu adalah ibu kosku, Tante Riana.
         "Oh, Tante...," Aku jadi salah tingkah. "Maaf kesiangan, Tante. Habis lembur semalaman bikin skripsi."
             "Oh ya? Maaf mengganggu istirahatnya, Mas Dodi."
                "Ah nggak apa-apa, Tante. Memangnya ada apa?"
          "Nggak ada apa-apa, cuma anu... mau ngajak sarapan bersama-sama. Yuk, ke bawah. Mana teman-teman yang lain, kok sepi?"
            Ini kejutan kedua. Sebelumnya tidak pernah ada acara makan pagi bersama ibu kos.
         "Kan lagi liburan semester, Tante. Teman-teman pulang mudik semua. Tinggal saya, karena ngejar selesaiin skripsi, harus selesai bulan ini."
           "Oh iya, ya." Tante Riana mengangguk-angguk. Aku heran Tante Riana tidak tahu tentang hal itu. Bukankah teman-teman sudah pamit semua kemarin, lewat Mbok Yem.
           "Mmm, tinggal Mas Dodi ya? Belum sarapan, kan? Ayo, ke ruang makan, di bawah. Sudah disiapin Mbok Yem, lho."
              "Tapi saya belum mandi, Tante."
              "Ah, nggak apa-apa. Santai aja...."
              Aku bingung, nggak enak juga untuk menolak. Aku mengikutinya turun ke lantai bawah. Di ruang makan memang telah tersedia sajian lengkap. Roti bakar, nasi goreng, ayam goreng crispy.... Cukup menggiurkan untuk anak kos. Tapi kulihat hanya tersedia dua buah piring, untuk aku dan Tante Riana.
       "Maaf, Tante merayakan sesuatu? tanyaku berbasa-basi sambil makan.Ulang tahunkah? Atau ada kabar gembira?"
          "Kabar gembira? Tentu saja tidak. Justru kabar buruk."
        Air muka Tante Riana seketika berubah.
               "Oh, maaf Tante, saya tidak tahu."
        Tante Riana menghidupkan televisi dengan remote-nya. Kebetulan semua stasiun televisi sedang menyiarkan berita meninggalnya Sujiwo Hamdan, Menteri Keuangan RI, tadi malam. Aku terkejut. Sebelumnya kami semua, penghuni kos-kosan, sudah mendengar isu bahwa Sujiwo Hamdan adalah suami Tante Riana. Tapi mereka menikah di bawah tangan, alias kawin siri, dan Tante Riana adalah istri kedua atau entah keberapa.
             "Jadi, Tante...."
             "Ya, begitulah. Bapak sudah meninggal... akhirnya."
Tante Riana tertunduk lesu.
             "Innalillahi wainna ilaihi rojiuun," ujarku. "Tante tidak pergi ke Jakarta untuk...."
       "Ah, tentu saja tidak. Mas Dodi mengerti, kan? Sebenarnya, keluarga Bapak sama sekali tak pernah tahu perihal kami. Saya sih tidak apa-apa, tapi... kasihan dengan Dion." Matanya terlihat berkaca-kaca.
          Dion adalah anak Tante Riana, yang sering ikut muncul dalam mimpiku dan memanggil-manggilku, Om Dodi.... Aku tidak tahu harus berkomentar apa. Bahkan aku tidak yakin, apakah ini berita buruk atau berita baik bagiku. Terbayang lagi mimpi-mimpiku hampir tiap malam dengan Tante Riana dan Dion. Apakah mimpi itu adalah pertanda?
         Tak sengaja mata kami bertatapan sebentar. Baru kusadari, hari ini Tante Riana memanggilku Mas Dodi, padahal biasanya memanggil "Dik". Sepantasnya begitu, karena aku yakin usianya lebih muda dariku. Kabarnya, ia menikah dengan Sujiwo Hamdan ketika belum lulus SMA, untuk menyelamatkan orang tuanya dari lilitan hutang.
      Selanjutnya kami hanya diam, pura-pura sibuk melanjutkan makan. Tapi dalam hatiku ramai perbincangan, tentang apa yang akan terjadi di antara kami kelak. Aku tidak tahu, apakah seramai itu juga perbincangan di dalam hatinya.

* * *
         

3 komentar:

Komentar