Ditulis oleh Rahadi W. untuk Kisah Fiksi Kehidupan
Tok!
Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku menggeliat, antara sadar dan
mimpi. Perempuan cantik itu melambai-lambai ke arahku. Ia
menggandeng seorang anak lelaki yang terus memanggil-manggil namaku, "Om
Dodi... Om Dodi...."
Tok! Tok! Tok! Suara ketukan itu
makin keras. Kesadaranku mulai pulih,
walau lambat. Aku mengedip-ngedipkan mata,
mengusir kantuk yang tersisa. Bayangan perempuan itu memudar, berganti
pemandangan kamarku yang berantakan.
Siapa yang mengganggu tidurku pagi-pagi
begini? Kulihat jam dinding. Jam 07.25. Rasa kantukku belum lagi hilang. Aku
baru berangkat
tidur sehabis subuh tadi, setelah semalaman lembur mengetik skripsiku.
"Ya, sebentar...," seruku.
"Siapa, ya?"
Orang yang mengetuk pintu itu tidak
menjawab. Aku berkaca sebentar, menyisir rambut dan berganti baju, lalu membuka
pintu kamar.
Wanita itu tersenyum ketika
melihatku membuka pintu kamar.
Aku
terkejut. Tadinya kukira Mbok Yem, pembantu rumah kos ini yang biasanya cuma mau mengambil cucian,
atau salah satu temanku. Tapi ternyata bukan. Ternyata wanita itulah yang sejak tadi
mengetuk-ngetuk pintu kamar. Aku mengenalnya, tapi hampir tak pernah ngobrol dengannya, kecuali dalam mimpi. Aku tak tahu, mengapa sejak aku menjadi penghuni rumah kos ini, dia
sering muncul dalam mimpiku. Aku
jadi malu sendiri, berharap orang lain tidak mengetahui mimpiku, karena wanita itu
adalah ibu kosku, Tante Riana.
"Oh, Tante...," Aku jadi
salah tingkah. "Maaf kesiangan,
Tante. Habis
lembur semalaman bikin skripsi."
"Oh ya? Maaf mengganggu
istirahatnya, Mas Dodi."
"Ah nggak apa-apa, Tante.
Memangnya ada apa?"
"Nggak ada apa-apa, cuma anu... mau ngajak sarapan bersama-sama. Yuk, ke bawah. Mana
teman-teman yang lain, kok sepi?"
Ini
kejutan kedua. Sebelumnya tidak pernah ada acara makan pagi bersama ibu kos.
"Kan lagi liburan semester,
Tante. Teman-teman pulang
mudik semua. Tinggal saya, karena ngejar selesaiin skripsi, harus selesai bulan
ini."
"Oh iya, ya." Tante Riana
mengangguk-angguk. Aku heran Tante Riana tidak tahu tentang hal itu. Bukankah
teman-teman sudah pamit semua kemarin, lewat Mbok Yem.
"Mmm, tinggal Mas Dodi ya? Belum sarapan, kan? Ayo, ke ruang makan, di bawah. Sudah disiapin Mbok Yem,
lho."
"Tapi saya belum mandi,
Tante."
"Ah, nggak apa-apa. Santai aja...."
Aku bingung, nggak enak juga untuk
menolak. Aku mengikutinya turun ke lantai bawah. Di ruang makan memang telah
tersedia sajian lengkap. Roti bakar, nasi goreng, ayam goreng crispy.... Cukup menggiurkan untuk anak
kos. Tapi kulihat hanya tersedia dua
buah piring, untuk aku dan Tante Riana.
"Maaf, Tante merayakan sesuatu?” tanyaku
berbasa-basi sambil makan. “Ulang
tahunkah? Atau ada kabar
gembira?"
"Kabar gembira? Tentu saja tidak. Justru kabar buruk."
Air
muka Tante Riana seketika berubah.
"Oh, maaf Tante, saya tidak
tahu."
Tante Riana menghidupkan televisi dengan remote-nya. Kebetulan
semua stasiun televisi sedang menyiarkan berita meninggalnya Sujiwo Hamdan, Menteri Keuangan RI, tadi malam. Aku
terkejut. Sebelumnya kami semua, penghuni kos-kosan, sudah mendengar isu bahwa Sujiwo Hamdan adalah suami Tante
Riana. Tapi mereka menikah di bawah tangan, alias kawin siri, dan Tante Riana adalah istri kedua
atau entah keberapa.
"Jadi,
Tante...."
"Ya, begitulah. Bapak sudah
meninggal... akhirnya."
Tante
Riana tertunduk lesu.
"Innalillahi wainna ilaihi
rojiuun," ujarku. "Tante tidak pergi ke Jakarta untuk...."
"Ah, tentu saja tidak. Mas Dodi
mengerti, kan? Sebenarnya, keluarga Bapak sama sekali tak pernah tahu perihal
kami. Saya sih tidak apa-apa, tapi... kasihan dengan Dion." Matanya
terlihat berkaca-kaca.
Dion adalah anak Tante Riana, yang
sering ikut muncul dalam mimpiku dan memanggil-manggilku, Om Dodi.... Aku tidak tahu
harus berkomentar apa. Bahkan aku tidak yakin, apakah ini berita buruk atau
berita baik bagiku. Terbayang lagi mimpi-mimpiku hampir tiap malam dengan Tante
Riana dan Dion. Apakah mimpi itu adalah pertanda?
Tak sengaja mata kami bertatapan
sebentar. Baru kusadari, hari ini Tante Riana memanggilku Mas Dodi, padahal
biasanya memanggil "Dik". Sepantasnya begitu, karena aku yakin
usianya lebih muda dariku. Kabarnya, ia menikah dengan Sujiwo Hamdan
ketika belum lulus SMA, untuk menyelamatkan orang tuanya dari lilitan hutang.
Selanjutnya kami hanya diam,
pura-pura sibuk melanjutkan makan. Tapi dalam hatiku ramai perbincangan,
tentang apa yang akan terjadi di antara kami kelak. Aku tidak tahu, apakah
seramai itu juga perbincangan di dalam hatinya.
* * *
suka ceritax.
BalasHapustrus? koq cuma segitu?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus