10.1.13

Alicia, dan Pipinya yang (Tak) Selalu Merah # 3



 Bagian 3
Begitulah, hari-hari selanjutnya berjalan. Semula kukira aku takkan mengingat kejadian di Bitung itu. Tapi ternyata kemudian, hampir tiap hari aku kembali teringat. Alicia, gadis berpipi merah itu, selalu saja berkelebat di benakku setiap kali pikiranku sedang santai. Dan lama-lama, aku jadi sengaja memikirkannya. Bahkan akhirnya, merindukannya.
Baca Bagian 1 dan Bagian 2
Dari Jakarta, kapal segera berangkat lagi untuk melayari trip berikutnya menuju Jayapura. Kapal singgah di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, kemudian menuju Makasar. Dari Makasar terus ke Bau-Bau di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, terus ke utara sampai Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah, dan akhirnya sampai lagi di Bitung. Makan waktu empat hari sampai ke sana. Dan semakin dekat ke Bitung, aku semakin berdebar-debar penasaran.
Aku tahu ini aneh. Bagaimana bisa aku berharap bertemu lagi gadis itu di Bitung? Seandainya pun aku punya alamat rumahnya, takkan cukup waktu untuk menemuinya, karena kapal hanya singgah satu jam saja. Tapi entah mengapa aku berpikiran bahwa gadis itu masih berdiri di tepi dermaga seperti ketika aku meninggalkannya di sana.
Betul juga! Ketika kapal merapat di dermaga Bitung, aku melihat lagi Alicia. Berdiri di tempat ia berdiri kemarin, tetapi tanpa travel bag-nya itu. Hampir tak sabar aku untuk segera turun, ikut berdesak-desakan dengan para penumpang. Waktu itu masih jam dua siang. Langit terang-benderang.
"Hai, Alicia, kamu menunggu aku ya?" sapaku.
"Hah, kata siapa? Untuk apa aku menunggumu?"
Siang hari, lebih jelas kelihatan pipi merah di wajah seputih pualam itu. Dan makin memerah tampaknya akibat perkataanku.
"Lalu kamu menunggu siapa?"
"Bukan siapa-siapa. Apa tidak boleh aku berdiri di sini?"
Hari itu aku sempat berbicara agak lebih lama dengannya. Sedikit banyak aku lebih mengenalnya. Bahwa ia suka lagu-lagu Franky dan Ebiet G. Ade. Bahwa ia suka makan nasi lemang dan papeda. Bahwa ia suka melihat matahari terbit, dan benci melihat matahari tenggelam. Tapi sebenarnya tak lebih dari itu. Selebihnya ia tetaplah gadis misterius. Walaupun ia bilang asalnya dari Gorontalo, tapi tak jelas tentang keluarganya, dan apa yang dilakukannya di Bitung ini. Orang tuanya sudah tidak ada lagi, dan ia juga tidak punya sanak-saudara. Aku tidak tahu harusnya merasa aneh atau kasihan dengan pengakuannya itu.
Dan lagi, ia menyatakan keinginannya untuk pergi ke Jakarta.
"Kamu akan terlantar di sana kalau tidak punya keahlian khusus," kataku.
"Aku bisa bekerja di salon," jawabnya.
"Oh, ya? Seberapa bisa?" tanyaku.
"Aku bisa, aku punya pengalaman."
"Punya sertifikat, kursus misalnya?"
Ia menggeleng.
"Hm... itu akan sulit," gumamku.
Mukanya berubah muram. Tapi tak menghilangkan warna merah di pipinya itu.
Sepanjang perjalanan dari Bitung menuju Ternate, kemudian ke Sorong, Manokwari, hingga Jayapura, perkataan gadis itu mengganjal di pikiranku. Dan entahlah, di Jayapura, mungkin panasnya pelabuhan itu melelehkan otakku, hingga tiba-tiba muncul ide gila itu. Aku menelpon seorang temanku yang punya usaha salon di Jakarta. Ketika ia bilang salonnya tidak membutuhkan karyawan baru, kubilang padanya bahwa gaji Alicia aku yang akan membayarnya. Anggap saja ia magang cari pengalaman kerja di sana. Akhirnya ia setuju, dengan syarat bahwa aku yakin bahwa Alicia adalah gadis baik-baik. Aku meyakinkannya. Lucu, padahal aku sendiri tidak mengenal Alicia.
Begitulah, ketika kapal kembali merapat di Bitung tiga hari kemudian, lagi-lagi aku melihat gadis itu berdiri di dermaga.
"Hai, kamu pasti menunggu aku," kataku.
"Huh, siapa bilang?"
"Aku sudah memesan satu tiket ke Jakarta, Kelas Satu."
"Maksudmu?" Kulihat matanya berbinar.
"Kalau kamu sempat menyiapkan barangmu dalam satu jam, berpamitan dengan keluargamu dan mendapat ijin, kamu boleh menggunakan tiket itu."
"Aku sudah membawa semua barangku," katanya sambil menunjuk travel bag kecilnya itu. "Dan tidak ada siapa pun yang bisa kupamiti di sini."
"Kalau begitu, naiklah."
Ia meloncat kegirangan dan memelukku. Aku mendorongnya untuk menjauhkan tubuhnya dariku. Bau parfumnya itu bisa-bisa mengacaukan pikiranku.
Selama di kapal aku sempat berbincang-bincang dengannya. Sesekali aku menemaninya makan di kantin, atau berjalan-jalan saja di geladak sambil memandangi lautan. Pernah sekali aku menemaninya nonton di bioskop kapal. Tapi itu tak membuatku lebih mengenal asal-usulnya. Ia enggan menceritakan hal itu, sebagaimana ia pun tak pernah menanyakan asal-usulku.
Sampai di Pelabuhan Tanjung Priok, kupanggilkan taksi untuknya. Kuberikan alamat dan nomor telepon temanku yang punya salon itu. Berkali-kali aku berpesan padanya agar bekerja dengan baik dan pandai-pandai menjaga diri. Agar ia menghindari hal-hal negatif yang akan merugikan dirinya sendiri. Begitulah, aku melepasnya untuk hidup di Jakarta. Komunikasi berikutnya antara kami hanya lewat telepon. Kami bertemu dua minggu sekali saat kapal singgah di Tanjung Priok. Itu pun tak sampai empat jam.
Bulan depannya ketika aku menelpon temanku untuk mentransfer gaji Alicia yang kujanjikan akan kubayar, dia menolak. Temanku bilang bahwa ia sendiri yang akan membayarnya. Sejauh ini Alicia bekerja dengan baik, para pelanggan menyukainya, dan ia juga pandai membawa diri. Aku lega, paling tidak aku tidak salah duga bahwa ia adalah gadis baik-baik, walau hidupnya tidak beruntung.
Seringkali menelpon Alicia membuatku tak betah lagi bekerja di kapal. Sehari-hari aku hanya menunggu saat kapal kembali ke Jakarta. Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku berhenti bekerja di PT. PELNI dan mencari pekerjaan di darat saja. Berkat koneksi dengan seorang mantan nakhoda aku mendapat pekerjaan di sebuah rumah sakit swasta di Bekasi. Walaupun pekerjaan di darat lebih sibuk dan menguras waktu dan tenaga, tapi aku bisa lebih sering bertemu dengan Alicia.
Begitulah, setahun setelah mengenal Alicia, aku menghebohkan keluarga besarku dengan niatku untuk menikahinya. Tidak sedikit yang menentangnya, mengingat asal-usul Alicia yang tidak jelas. Tapi aku keras kepala. Waktu satu tahun bagiku cukuplah untuk menilainya. Ia gadis baik, aku yakin itu. Soal masa lalunya tak seharusnya menghalangi kami untuk meraih kebahagiaan.
Aku menikahinya dengan wali hakim. Aku bahagia, kami bahagia. Aku tak pernah menyesali pernikahan itu. Bahwa ia tidak perawan lagi saat aku menikahinya, sama sekali tidak mengurangi kebahagiaanku. Itu tidak penting. Persetan dengan masa lalu. Yang penting adalah saat ini. Dan saat ini Alicia selalu menunjukkan sikap yang sempurna sebagai istri yang baik, penurut, dan penuh kasih-sayang. Itu sudah lebih dari cukup.
Kalaupun ada yang sedikit mengurangi kebahagiaan, mungkin adalah kenyataan bahwa hingga enam bulan menikah belum ada tanda-tanda kami akan dikaruniai anak. Tapi sebenarnya ini juga belum begitu menjadi ganjalan bagiku. Kami masih menikmati saat-saat indahnya pengantin baru, soal anak belum terpikirkan. Kupikir Alicia pun sama denganku. Hingga suatu hari baru aku menyadari bahwa ada hal lain yang tak sepenuhnya kumengerti.
Suatu hari, mendadak aku pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Atasanku memberiku kesempatan pulang cepat, karena besok aku harus mendampinginya pada rapat bisnis rumah sakit di luar kota. Aku tidak merasa perlu menelpon Alicia terlebih dahulu. Bahkan, ketika sampai di rumah, aku juga tidak mengetuk pintu sebelum masuk. Pasti Alicia tidak menyadari kedatanganku yang mendadak. Saat itulah aku terkejut mendengar suara seseorang menangis tersedu-sedu di dalam kamar. Suara tangis Alicia.
Sebelumnya, belum pernah aku melihat Alicia menangis. Bahkan, aku tidak pernah menyangka ia bisa menangis. Kurasa ia seorang gadis yang tangguh, tak pernah sedih, tak pernah murung. Pipinya yang merona kemerah-merahan menggambarkan keceriaannya selalu.
“Kenapa, Alicia?” tanyaku heran.
Ia terkejut sekali. Segera tangisan itu menghilang begitu saja. Begitu cepat ia berusaha menghapus air matanya. Dan wajahnya pun berubah, kembali ceria, dengan mata yang berbinar-binar setiap ia menyambut kedatanganku. Cepat sekali. Tak tampak lagi bekas tangis sedu-sedan yang baru saja kudengar.
Tentu saja aku masih penasaran. Aku berusaha menanyakan apa yang membuatnya menangis. Tapi sia-sia, aku sudah tahu sifatnya. Bila ia merahasiakan sesuatu di hatinya, maka percuma saja aku menanyakannya berulang-ulang. Tapi karena besok aku harus pergi keluar kota, kutanyakan padanya apakah ia mau aku membatalkannya.
Tidak, katanya. Aku tidak perlu membatalkan apa-apa. Dan sepanjang sisa hari itu ia sama sekali tidak menunjukkan wajah murung. Ia tetap ceria ketika menyiapkan barang-barang yang akan kubawa. Bahkan malam harinya, perhatian dan kasih-sayangnya berlebih-lebih bagiku, melebihi sikapnya di hari-hari awal pernikahan. Akhirnya, kusangka ia hanya murung oleh kesepian karena belum munculnya anak-anak di antara kami.
Pagi harinya, ketika aku harus mengejar jam keberangkatan pesawat di bandara, sikap berlebihannya itu tidak berkurang. Itu membuatku tidak sabar. Ia seolah berat sekali melepaskan pelukannya. Juga ia menciumku berkali-kali, lebih dari yang biasa dilakukannya setiap aku berangkat kerja. Yang terakhir, menurutku sudah keterlaluan, ia memaksa untuk menyematkan sekuntum mawar merah di bajuku.
“Ini tidak perlu!” kataku kesal. “Aku sudah terlambat.”
Kucampakkan bunga itu ke lantai. Alicia terkejut, air mukanya berubah. Ia mengambil bunga itu dan menciumnya. Mata beningnya seketika berkaca-kaca. Bibirnya mengatup rapat menahan tangis. Tapi aku tidak punya waktu lagi untuk melayani tingkahnya yang berlebihan itu. Ia tidak mengucapkan kata-kata apa pun lagi. Ditaruhnya bunga mawar itu di dashboard mobilku. Aku pun pergi, tidak menoleh-noleh lagi.
Malam itu aku tidak tidur di rumah. Urusanku baru selesai menjelang tengah malam. Dan aku begitu capek, pusing, dan kesal karena urusan pekerjaan yang melelahkan itu. Aku sama sekali tidak terpikir untuk menelpon Alicia. Juga keesokan harinya, aku tidak sempat.
Aku pulang ketika hari sudah menjelang senja. Pintu gerbang rumahku terkunci. Ketika kupencet bel, Alicia tidak juga keluar. Beberapa saat kemudian, seorang pembantu dari rumah tetanggaku tergopoh-gopoh memberikan kunci rumah. Ia bilang, Alicia sudah pergi sejak kemarin, dan menitipkan kunci pada tetangga.
Aku heran, tidak pernah Alicia seperti itu. Aku berusaha menghubungi ponselnya, tapi tidak aktif. Kutelpon teman-temannya di tempat ia dulu bekerja di salon. Tidak ada yang tahu. Aku mulai panik. Mondar-mandir aku mencarinya ke mana-mana. Tapi sia-sia, ia menghilang begitu saja. Bahkan hingga aku terpaksa melapor ke polisi. Ia dinyatakan sebagai orang hilang. Segala macam usaha sudah kulakukan untuk menemukannya. Tapi hasilnya nihil.
Aku bahkan sudah pergi ke Gorontalo, yang pernah dibilangnya sebagai tempat asalnya. Tapi tanpa petunjuk yang berarti, sulit menemukan jejaknya. Walaupun sudah dibantu teman lamaku yang menjadi wartawan koran lokal di sana, dan beberapa teman dari kepolisian, tetap sia-sia saja. Hanya pernah ditemukan arsip berita lokal tentang kasus traficking yang melibatkan seorang korban bernama Alicia. Tapi kejadiannya sudah lama, dan ciri-ciri fisiknya sulit dikonfirmasi.
Aku hampir seperti orang gila rasanya. Kehilangan Alicia begitu mendadak, dengan cara seaneh itu, lebih dari yang bisa kuterima. Akhirnya aku juga kehilangan pekerjaan, dan hampir semua yang kumiliki ludes kupakai untuk mencari Alicia. Sulit untuk menceritakan bagaimana akhirnya aku bisa terlepas dari kegilaan itu, dan bagaimana aku bangkit dari keterpurukan.
Ah, itu sudah lama berlalu. Bahkan aku tidak ingin mengingatnya lagi. Bagian itu adalah bagian yang diblok dengan spidol hitam dalam hidupku. Bagian yang gelap, yang harusnya dikeluarkan dari memori. Sejak bertemu Annisa, aku berjanji untuk mengubur memori itu dalam-dalam, dan membuka lembaran baru dalam hidupku. Aku pun meninggalkan Kota Jakarta, agar seminimal mungkin bersinggungan dengan kenangan itu.
Annisa, anak profesor di UIN itu, lebih bisa diterima oleh keluargaku. Asal-usulnya jelas, dan tidak ada yang meragukannya sebagai gadis baik-baik. Tapi kini, ada satu hal yang rasanya mencekat tenggorokanku. Kemunculan Alicia, seakan menjadi lonceng maut yang berdentang memilukan. Bukan hanya bagi Alicia, tapi juga bagiku, Annisa, dan anak yang akan dilahirkannya. Aku belum tahu, apakah virus HIV yang telah menjangkiti Alicia itu tidak juga menjangkitiku, kemudian Annisa, dan anakku.
Nada dering ponselku tiba-tiba mendering keras sekali. Aku tersentak kaget, tercabut tiba-tiba dari lamunanku.
“Rino!” Suara Dokter Betty. “Sudah pembukaan lengkap, ini mau dipimpin partus. Kamu ke mana?”
“Oh, iya iya, Dokter, saya segera ke sana!” sahutku gugup.
Entah sudah berapa lama aku meninggalkan istriku.
Aku berlari menyusuri selasar rumah sakit itu kembali ke kamar bersalin. Aku tidak segan lagi dipandang aneh oleh orang-orang. Aku berlari secepat yang aku bisa. Dini hari, selasar itu sudah mulai ramai. Beberapa kali aku hampir bertabrakan dengan orang yang menghalangi jalanku. Nafasku hampir putus rasanya ketika aku sampai di pintu kamar bersalin. Serempak dengan bunyi tangisan kuat bayi yang baru lahir. Anakku!
“Alhamdulillah... cewek, Dokter!” sambut Bu Bidan menyambut kedatanganku yang masih terengah-engah. “Ayo silakan dibacakan adzan dan iqomahnya."
Bayi mungil itu masih menangis dengan kerasnya ketika Bu Bidan menyerahkannya padaku. Dalam gendonganku, tangisannya agak mereda. Dan ketika kubacakan adzan dan iqomah di kedua telinganya, tangisnya pun berhenti. Ia tampak tidur dengan tenang.
“Dokter Rino, ada telepon, katanya penting!” kata seorang perawat memanggilku.
Dengan tangan kiri menggendong bayi, tangan kananku mengangkat telepon itu.
“Dari Ruang 29, Dokter, maaf ini ada yang mau disampaikan,” kudengar suara Bu Eni. “Pasien Nyonya Vera itu, baru saja meninggal....”  
Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun....” Sesaat, hanya itu yang bisa kuucapkan. Tanpa kusadari, sebutir air mataku menggelinding melintasi pipiku dan jatuh ke lantai.
“Ya, terimakasih Bu Eni. Tolong diurus baik-baik ya, nanti semua urusan administrasi termasuk biaya dalam tanggungan saya.”
Aku meletakkan gagang telepon. Tanganku merogoh saku celana. Ada sebuah bungkusan yang kusimpan di situ. Bungkusan kecil dari kertas, yang sudah lama kusimpan dalam sebuah buku lama, dan kulupakan. Kemarin, menjelang kelahiran anakku, entah mengapa aku membuka buku lama itu, dan mengambil bungkusan ini. Sekarang aku mengerti, mengapa begitu. Kubuka bungkusan itu, bunga mawar itu sudah layu dan mengering. Bunga mawar yang ditaruh Alicia di mobilku dulu.
Ah, teringat lagi perkataan seorang teman... cara terbaik untuk melupakan adalah dengan tidak melupakan.
Aku membawa bayi mungil itu menemui ibunya. Annisa tersenyum bahagia melihatku. Wajahnya memang tampak pucat dan letih, tapi itu tidak menutupi rona kebahagiaannya. Kuserahkan putriku ke dalam dekapan ibunya. Annisa memandang wajah bayi itu berlama-lama, seolah tak puas-puasnya.
“Pah, lihatlah pipinya merah, cantik sekali,” katanya.
Aku pun memperhatikannya. Benar sekali.
“Jadi, siapa namanya, Pah?”
“Alicia,” jawabku.

 = SELESAI =

Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar