Bagian 3
Begitulah,
hari-hari selanjutnya berjalan. Semula kukira aku takkan mengingat kejadian di
Bitung itu. Tapi ternyata kemudian, hampir tiap hari aku kembali teringat.
Alicia, gadis berpipi merah itu, selalu saja berkelebat di benakku setiap kali
pikiranku sedang santai. Dan lama-lama, aku jadi sengaja memikirkannya. Bahkan
akhirnya, merindukannya.
Dari
Jakarta, kapal segera berangkat lagi untuk melayari trip berikutnya menuju
Jayapura. Kapal singgah di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, kemudian menuju
Makasar. Dari Makasar terus ke Bau-Bau di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, terus
ke utara sampai Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah, dan akhirnya sampai lagi di
Bitung. Makan waktu empat hari sampai ke sana. Dan semakin dekat ke Bitung, aku
semakin berdebar-debar penasaran.
Aku
tahu ini aneh. Bagaimana bisa aku berharap bertemu lagi gadis itu di Bitung?
Seandainya pun aku punya alamat rumahnya, takkan cukup waktu untuk menemuinya,
karena kapal hanya singgah satu jam saja. Tapi entah mengapa aku berpikiran
bahwa gadis itu masih berdiri di tepi dermaga seperti ketika aku
meninggalkannya di sana.
Betul
juga! Ketika kapal merapat di dermaga Bitung, aku melihat lagi Alicia. Berdiri
di tempat ia berdiri kemarin, tetapi
tanpa travel bag-nya itu. Hampir tak sabar aku untuk
segera turun, ikut berdesak-desakan dengan para penumpang. Waktu itu masih jam
dua siang. Langit terang-benderang.
"Hai,
Alicia, kamu menunggu aku ya?" sapaku.
"Hah,
kata siapa? Untuk apa aku menunggumu?"
Siang
hari, lebih jelas kelihatan pipi merah di wajah seputih pualam itu. Dan makin
memerah tampaknya akibat perkataanku.
"Lalu
kamu menunggu siapa?"
"Bukan
siapa-siapa. Apa tidak boleh aku berdiri di sini?"
Hari
itu aku sempat berbicara agak lebih lama dengannya. Sedikit banyak aku lebih
mengenalnya. Bahwa ia suka lagu-lagu Franky dan Ebiet G. Ade. Bahwa ia suka
makan nasi lemang dan papeda. Bahwa ia suka melihat matahari terbit, dan benci
melihat matahari tenggelam. Tapi sebenarnya tak lebih dari itu. Selebihnya ia
tetaplah gadis misterius. Walaupun ia bilang asalnya dari Gorontalo, tapi tak
jelas tentang keluarganya, dan apa yang dilakukannya di Bitung ini. Orang
tuanya sudah tidak ada lagi, dan ia juga tidak punya sanak-saudara. Aku tidak
tahu harusnya merasa aneh atau kasihan dengan pengakuannya itu.
Dan
lagi, ia menyatakan keinginannya untuk pergi ke Jakarta.
"Kamu
akan terlantar di sana kalau tidak punya keahlian khusus," kataku.
"Aku
bisa bekerja di salon," jawabnya.
"Oh,
ya? Seberapa bisa?" tanyaku.
"Aku
bisa, aku punya pengalaman."
"Punya
sertifikat, kursus misalnya?"
Ia
menggeleng.
"Hm...
itu akan sulit," gumamku.
Mukanya
berubah muram. Tapi tak menghilangkan warna merah di pipinya itu.
Sepanjang
perjalanan dari Bitung menuju Ternate, kemudian ke Sorong, Manokwari, hingga
Jayapura, perkataan gadis itu mengganjal di pikiranku. Dan entahlah, di
Jayapura, mungkin
panasnya pelabuhan itu melelehkan otakku, hingga tiba-tiba muncul ide gila itu. Aku menelpon seorang
temanku yang punya usaha salon di Jakarta. Ketika ia bilang salonnya tidak
membutuhkan karyawan baru, kubilang padanya bahwa gaji Alicia aku yang akan
membayarnya. Anggap saja ia magang cari pengalaman kerja di sana. Akhirnya ia
setuju, dengan syarat bahwa aku yakin bahwa Alicia adalah gadis baik-baik. Aku
meyakinkannya. Lucu, padahal aku sendiri tidak mengenal Alicia.
Begitulah,
ketika kapal kembali merapat di Bitung tiga hari kemudian, lagi-lagi aku
melihat gadis itu berdiri di dermaga.
"Hai,
kamu pasti menunggu aku," kataku.
"Huh,
siapa bilang?"
"Aku
sudah memesan satu tiket ke Jakarta, Kelas Satu."
"Maksudmu?"
Kulihat matanya berbinar.
"Kalau
kamu sempat menyiapkan barangmu dalam satu jam, berpamitan dengan keluargamu
dan mendapat ijin, kamu
boleh menggunakan tiket itu."
"Aku
sudah membawa semua barangku," katanya sambil menunjuk travel bag kecilnya itu. "Dan tidak
ada siapa pun yang bisa kupamiti di sini."
"Kalau
begitu, naiklah."
Ia
meloncat kegirangan dan memelukku. Aku mendorongnya untuk menjauhkan tubuhnya
dariku. Bau parfumnya itu bisa-bisa
mengacaukan
pikiranku.
Selama
di kapal aku sempat berbincang-bincang dengannya. Sesekali aku menemaninya
makan di kantin, atau berjalan-jalan saja di geladak sambil memandangi lautan.
Pernah sekali aku menemaninya nonton di bioskop kapal. Tapi itu tak membuatku
lebih mengenal asal-usulnya. Ia enggan menceritakan hal itu, sebagaimana ia pun
tak pernah menanyakan asal-usulku.
Sampai
di Pelabuhan Tanjung Priok, kupanggilkan taksi untuknya. Kuberikan alamat dan
nomor telepon temanku yang punya salon itu. Berkali-kali aku berpesan padanya
agar bekerja dengan baik dan pandai-pandai menjaga diri. Agar ia menghindari
hal-hal negatif yang akan merugikan dirinya sendiri. Begitulah, aku melepasnya
untuk hidup di Jakarta. Komunikasi berikutnya antara kami hanya lewat telepon.
Kami bertemu dua minggu sekali saat kapal singgah di Tanjung Priok. Itu pun tak sampai empat jam.
Bulan
depannya ketika aku menelpon temanku untuk mentransfer gaji Alicia yang
kujanjikan akan kubayar, dia menolak. Temanku bilang bahwa ia sendiri yang akan
membayarnya. Sejauh ini Alicia bekerja dengan baik, para pelanggan menyukainya,
dan ia juga pandai membawa diri. Aku lega, paling tidak aku tidak salah duga
bahwa ia adalah gadis baik-baik, walau
hidupnya
tidak beruntung.
Seringkali
menelpon Alicia membuatku tak betah lagi bekerja di kapal. Sehari-hari aku
hanya menunggu saat kapal kembali ke Jakarta. Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku
berhenti bekerja di PT. PELNI dan mencari pekerjaan di darat saja. Berkat
koneksi dengan seorang mantan nakhoda aku mendapat pekerjaan di sebuah rumah
sakit swasta di Bekasi. Walaupun pekerjaan di darat lebih sibuk dan menguras
waktu dan tenaga, tapi aku bisa lebih sering bertemu dengan Alicia.
Begitulah, setahun setelah mengenal Alicia, aku
menghebohkan keluarga besarku dengan niatku untuk menikahinya. Tidak sedikit
yang menentangnya, mengingat asal-usul Alicia yang tidak jelas. Tapi aku keras
kepala. Waktu satu tahun bagiku cukuplah untuk menilainya. Ia gadis baik, aku
yakin itu. Soal masa lalunya tak seharusnya menghalangi kami untuk meraih
kebahagiaan.
Aku menikahinya dengan wali hakim. Aku bahagia, kami
bahagia. Aku tak pernah menyesali pernikahan itu. Bahwa ia tidak perawan lagi
saat aku menikahinya, sama sekali tidak mengurangi kebahagiaanku. Itu tidak
penting. Persetan dengan masa lalu. Yang penting adalah saat ini. Dan saat ini
Alicia selalu menunjukkan sikap yang sempurna sebagai istri yang baik, penurut,
dan penuh kasih-sayang. Itu sudah lebih dari cukup.
Kalaupun ada yang sedikit mengurangi kebahagiaan, mungkin
adalah kenyataan bahwa hingga enam bulan menikah belum ada tanda-tanda kami
akan dikaruniai anak. Tapi sebenarnya ini juga belum begitu menjadi ganjalan
bagiku. Kami masih menikmati saat-saat indahnya pengantin baru, soal anak belum
terpikirkan. Kupikir Alicia pun sama denganku. Hingga suatu hari baru aku
menyadari bahwa ada hal lain yang tak sepenuhnya kumengerti.
Suatu hari, mendadak aku pulang kerja lebih cepat dari
biasanya. Atasanku memberiku kesempatan pulang cepat, karena besok aku harus
mendampinginya pada rapat bisnis rumah sakit di luar kota. Aku tidak merasa
perlu menelpon Alicia terlebih dahulu. Bahkan, ketika sampai di rumah, aku juga
tidak mengetuk pintu sebelum masuk. Pasti Alicia tidak menyadari kedatanganku
yang mendadak. Saat itulah aku terkejut mendengar suara seseorang menangis
tersedu-sedu di dalam kamar. Suara tangis Alicia.
Sebelumnya, belum pernah aku melihat Alicia menangis. Bahkan,
aku tidak pernah menyangka ia bisa menangis. Kurasa ia seorang gadis yang tangguh,
tak pernah sedih, tak pernah murung. Pipinya yang merona kemerah-merahan menggambarkan
keceriaannya selalu.
“Kenapa, Alicia?” tanyaku heran.
Ia terkejut sekali. Segera tangisan itu menghilang begitu
saja. Begitu cepat ia berusaha menghapus air matanya. Dan wajahnya pun berubah,
kembali ceria, dengan mata yang berbinar-binar setiap ia menyambut
kedatanganku. Cepat sekali. Tak tampak lagi bekas tangis sedu-sedan yang baru
saja kudengar.
Tentu saja aku masih penasaran. Aku berusaha menanyakan
apa yang membuatnya menangis. Tapi sia-sia, aku sudah tahu sifatnya. Bila ia
merahasiakan sesuatu di hatinya, maka percuma saja aku menanyakannya
berulang-ulang. Tapi karena besok aku harus pergi keluar kota, kutanyakan
padanya apakah ia mau aku membatalkannya.
Tidak, katanya. Aku tidak perlu membatalkan apa-apa. Dan
sepanjang sisa hari itu ia sama sekali tidak menunjukkan wajah murung. Ia tetap
ceria ketika menyiapkan barang-barang yang akan kubawa. Bahkan malam harinya,
perhatian dan kasih-sayangnya berlebih-lebih bagiku, melebihi sikapnya di
hari-hari awal pernikahan. Akhirnya, kusangka ia hanya murung oleh kesepian
karena belum munculnya anak-anak di antara kami.
Pagi harinya, ketika aku harus mengejar jam keberangkatan
pesawat di bandara, sikap berlebihannya itu tidak berkurang. Itu membuatku
tidak sabar. Ia seolah berat sekali melepaskan pelukannya. Juga ia menciumku
berkali-kali, lebih dari yang biasa dilakukannya setiap aku berangkat kerja.
Yang terakhir, menurutku sudah keterlaluan, ia memaksa untuk menyematkan
sekuntum mawar merah di bajuku.
“Ini tidak perlu!” kataku kesal. “Aku sudah terlambat.”
Kucampakkan bunga itu ke lantai. Alicia terkejut, air
mukanya berubah. Ia mengambil bunga itu dan menciumnya. Mata beningnya seketika
berkaca-kaca. Bibirnya mengatup rapat menahan tangis. Tapi aku tidak punya
waktu lagi untuk melayani tingkahnya yang berlebihan itu. Ia tidak mengucapkan
kata-kata apa pun lagi. Ditaruhnya bunga mawar itu di dashboard mobilku. Aku
pun pergi, tidak menoleh-noleh lagi.
Malam itu aku tidak tidur di rumah. Urusanku baru selesai
menjelang tengah malam. Dan aku begitu capek, pusing, dan kesal karena urusan
pekerjaan yang melelahkan itu. Aku sama sekali tidak terpikir untuk menelpon
Alicia. Juga keesokan harinya, aku tidak sempat.
Aku pulang ketika hari sudah menjelang senja. Pintu
gerbang rumahku terkunci. Ketika kupencet bel, Alicia tidak juga keluar. Beberapa
saat kemudian, seorang pembantu dari rumah tetanggaku tergopoh-gopoh memberikan
kunci rumah. Ia bilang, Alicia sudah pergi sejak kemarin, dan menitipkan kunci
pada tetangga.
Aku heran, tidak pernah Alicia seperti itu. Aku berusaha
menghubungi ponselnya, tapi tidak aktif. Kutelpon teman-temannya di tempat ia
dulu bekerja di salon. Tidak ada yang tahu. Aku mulai panik. Mondar-mandir aku
mencarinya ke mana-mana. Tapi sia-sia, ia menghilang begitu saja. Bahkan hingga
aku terpaksa melapor ke polisi. Ia dinyatakan sebagai orang hilang. Segala macam
usaha sudah kulakukan untuk menemukannya. Tapi hasilnya nihil.
Aku bahkan sudah pergi ke Gorontalo, yang pernah
dibilangnya sebagai tempat asalnya. Tapi tanpa petunjuk yang berarti, sulit
menemukan jejaknya. Walaupun sudah dibantu teman lamaku yang menjadi wartawan
koran lokal di sana, dan beberapa teman dari kepolisian, tetap sia-sia saja. Hanya
pernah ditemukan arsip berita lokal tentang kasus traficking yang melibatkan seorang korban bernama Alicia. Tapi
kejadiannya sudah lama, dan ciri-ciri fisiknya sulit dikonfirmasi.
Aku hampir seperti orang gila rasanya. Kehilangan Alicia
begitu mendadak, dengan cara seaneh itu, lebih dari yang bisa kuterima. Akhirnya
aku juga kehilangan pekerjaan, dan hampir semua yang kumiliki ludes kupakai
untuk mencari Alicia. Sulit untuk menceritakan bagaimana akhirnya aku bisa
terlepas dari kegilaan itu, dan bagaimana aku bangkit dari keterpurukan.
Ah, itu sudah lama berlalu. Bahkan aku tidak ingin
mengingatnya lagi. Bagian itu adalah bagian yang diblok dengan spidol hitam
dalam hidupku. Bagian yang gelap, yang harusnya dikeluarkan dari memori. Sejak
bertemu Annisa, aku berjanji untuk mengubur memori itu dalam-dalam, dan membuka
lembaran baru dalam hidupku. Aku pun meninggalkan Kota Jakarta, agar seminimal
mungkin bersinggungan dengan kenangan itu.
Annisa, anak profesor di UIN itu, lebih bisa diterima
oleh keluargaku. Asal-usulnya jelas, dan tidak ada yang meragukannya sebagai
gadis baik-baik. Tapi kini, ada satu hal yang rasanya mencekat tenggorokanku. Kemunculan
Alicia, seakan menjadi lonceng maut yang berdentang memilukan. Bukan hanya bagi
Alicia, tapi juga bagiku, Annisa, dan anak yang akan dilahirkannya. Aku belum
tahu, apakah virus HIV yang telah menjangkiti Alicia itu tidak juga
menjangkitiku, kemudian Annisa, dan anakku.
Nada dering ponselku tiba-tiba mendering keras sekali.
Aku tersentak kaget, tercabut tiba-tiba dari lamunanku.
“Rino!” Suara Dokter Betty. “Sudah pembukaan lengkap, ini
mau dipimpin partus. Kamu ke mana?”
“Oh, iya iya, Dokter, saya segera ke sana!” sahutku
gugup.
Entah sudah berapa lama aku meninggalkan istriku.
Aku berlari menyusuri selasar rumah sakit itu kembali ke
kamar bersalin. Aku tidak segan lagi dipandang aneh oleh orang-orang. Aku
berlari secepat yang aku bisa. Dini hari, selasar itu sudah mulai ramai.
Beberapa kali aku hampir bertabrakan dengan orang yang menghalangi jalanku. Nafasku
hampir putus rasanya ketika aku sampai di pintu kamar bersalin. Serempak dengan
bunyi tangisan kuat bayi yang baru lahir. Anakku!
“Alhamdulillah... cewek, Dokter!” sambut Bu Bidan
menyambut kedatanganku yang masih terengah-engah. “Ayo silakan dibacakan adzan
dan iqomahnya."
Bayi mungil itu masih menangis dengan kerasnya ketika Bu
Bidan menyerahkannya padaku. Dalam gendonganku, tangisannya agak mereda. Dan
ketika kubacakan adzan dan iqomah di kedua telinganya, tangisnya pun berhenti.
Ia tampak tidur dengan tenang.
“Dokter Rino, ada telepon, katanya penting!” kata seorang
perawat memanggilku.
Dengan tangan kiri menggendong bayi, tangan kananku
mengangkat telepon itu.
“Dari Ruang 29, Dokter, maaf ini ada yang mau
disampaikan,” kudengar suara Bu Eni. “Pasien Nyonya Vera itu, baru saja
meninggal....”
“Innalillahi wa
inna ilaihi rojiuun....” Sesaat, hanya itu yang bisa kuucapkan. Tanpa
kusadari, sebutir air mataku menggelinding melintasi pipiku dan jatuh ke lantai.
“Ya, terimakasih Bu Eni. Tolong diurus baik-baik ya,
nanti semua urusan administrasi termasuk biaya dalam tanggungan saya.”
Aku meletakkan gagang telepon. Tanganku merogoh saku
celana. Ada sebuah bungkusan yang kusimpan di situ. Bungkusan kecil dari kertas,
yang sudah lama kusimpan dalam sebuah buku lama, dan kulupakan. Kemarin,
menjelang kelahiran anakku, entah mengapa aku membuka buku lama itu, dan
mengambil bungkusan ini. Sekarang aku mengerti, mengapa begitu. Kubuka
bungkusan itu, bunga mawar itu sudah layu dan mengering. Bunga mawar yang
ditaruh Alicia di mobilku dulu.
Ah, teringat lagi perkataan seorang teman... cara terbaik
untuk melupakan adalah dengan tidak melupakan.
Aku membawa bayi mungil itu menemui ibunya. Annisa
tersenyum bahagia melihatku. Wajahnya memang tampak pucat dan letih, tapi itu
tidak menutupi rona kebahagiaannya. Kuserahkan putriku ke dalam dekapan ibunya.
Annisa memandang wajah bayi itu berlama-lama, seolah tak puas-puasnya.
“Pah, lihatlah pipinya merah, cantik sekali,” katanya.
Aku pun memperhatikannya. Benar sekali.
“Jadi, siapa namanya, Pah?”
“Alicia,” jawabku.
= SELESAI =
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar