Aduh,
gawat! Ada tugas lagi dari FLP. Tugas menulis, tentu saja. Wajar sih, ini kan
FLP, bukan FPI. Nggak bakalan deh, dapat tugas razia tempat maksiat. Aku sudah
siap mental sebenarnya, kalau menulisnya dengan tema "Aku Suka
Menulis" atau "Aku Suka Membaca", atau apa sajalah, asalkan berkaitan dengan FLP. Tapi, ya ampuunn,
ternyata temanya "Aku Suka Sambal". Langsung syok! Ide siapaaa...
ini?
"Protes!" Aku berteriak keras-keras. "Aku tidak suka sambal!"
Sunyi.
"HOOIII... AKU PROTESSS!!!"
Senyap.
Ah, sia-sia. Tak ada yang mendengar. Teriakanku membentur
dinding tebal, bergaung di relung batinku sendiri, menggoreskan pedih,
membusukkan jiwa. Ya, sia-sia saja berteriak. Dinding itu terlalu tebal untuk kutembus
dengan suaraku yang tak berharga. Dinding itu begitu angkuh. Dia hanya diam
mematung, walau aku menggempurnya dengan berjuta suara. Dia hanya diam. Jaim. Dinding
fesbuk.
Yah, sampai sekarang aku tidak tahu caranya berteriak di dinding
fesbuk. Di situ cuma boleh mengetik, sama kirim foto narsis. Teriak-teriak
percuma saja, tidak akan didengar orang. Kemarin kukira ada teman yang mencoba
memberikan tips tentang ini, eh ternyata cuma bergurau. Mereka tidak mengerti bahwa
aku serius soal ini. Soal FLP, aku tidak pernah main-main.
Jadi, ya sudahlah. Tugas adalah tugas. Harus diselesaikan. Tapi bagaimana aku bisa
menulis tentang "Aku Suka Sambal"? Yang kutahu, kalau aku coba-coba
makan sambal, semacam lendir yang encer tapi lengket akan berleleran
dari hidung dan mulutku.
Kemudian, tanpa kusadari, lidahku akan terjulur panjang, disertai nafas yang terengah-engah dengan cepat,
hosh... hosh... hosh. Jadi
mirip Si Bleky, tetangga sebelah, kalau habis lari pagi sama tuannya.
Sepertinya
aku harus mengumpulkan referensi dulu sebelum menulis. Itu penting. Dalam hal ini, aku harus menyingkirkan
opiniku sendiri tentang sambal. Aku harus bersikap obyektif sebagai penulis.
Tak bisa dipungkiri, ada orang-orang tertentu yang sejak lahir memang suka
makan sambal. Entahlah, mungkin mereka menderita semacam penyakit genetik yang
aneh. Ada sebagian gen-gen mereka yang bermutasi, sehingga mengacaukan respon
otak mereka terhadap sensasi pengecapan. Maka, rasa nyeri dan panas yang
membakar lidah itu pun mereka bilang enak. Ketagihan malah. Aneh.
Untungnya, orang yang berpenyakit semacam itu tidak sulit
dicari. Banyak. Tidak perlu jauh-jauh, di rumahku sendiri juga ada. Biniku sendiri.
"Mah,
kenapa sih kok suka sambal?" tanyaku.
"Mau
tahu?"
"Iya."
"Mau
tahu aja atau mau tahu bangeet...?"
"Mau
tahu banget, soalnya ini untuk bahan ngerjakan tugas."
"Mmm...
kasih tahu nggak yaaa?"
"Busyet
dah! Kalo gak kasih tahu, ntar kulempar sendal lho, mau?"
"Oce
dwehh, gitu aja kok repot. Semua orang juga tahu, sambal itu nikmat buangeet.
Bahkan, pada kadar tertentu, bisa menimbulkan halusinasi."
"Ah,
masa sih? Halusinasi apaan?" Aku penasaran.
"Iya
itu, halusinasi. Biarpun suami gue mukanya macam pantat panci, jadi kelihatan
ganteng aja macam Aceng Fikri."
Gedubrak!
Krompyaanggg! Pyarrr!
Stop!
Cut! Seandainya tidak ada batasan maksimal 777 kata, bagian ini tak akan
kusensor sendiri.
Salahku,
harusnya aku mencari narasumber yang kompeten, bukan "pengamat" gak
jelas yang cuma mau nampang populer saja di sini. Okelah, besoknya sambil
ngantor di RS aku lirik-lirik kiri-kanan, siapa tahu ada yang cocok untuk
dijadikan narasumber.
Nah,
itu dia! Siang-siang kutemukan orang yang cocok, di kantin gaul belakang kantor
SMF Bedah. Cewek itu sedang makan bakso sambil ditemani semangkok sambal.
Berkali-kali dia menyendok sambal itu, entah sudah berapa miligram
dihabiskannya dalam sekali duduk. Aku kenal dia, residen dokter mata. Sepertinya bisa
diajak bicara lebih ilmiah.
"Mbak,
Mbak, maaf ngganggu makan siangnya. Saya perlu wawancara dikit nih,"
kataku.
"Oh
ya, tentang apa?"
"Tentang
sambel, Mbak. Mungkin sampeyan bisa menjelaskan manfaatnya bagi kesehatan.
Kesehatan mata misalnya, sesuai disiplin ilmu sampeyan."
"Hah,
kata siapa ada manfaatnya? Justru sambal itu tidak baik untuk mata!"
tukasnya, serius.
"Eh,
begitu ya?" sahutku kaget bercampur heran. "Patofisiologinya gimana,
Mbak? Perasaan baru dengar ini ada kesimpulan seperti itu."
"Oh,
kamu nggak percaya?" Ia melotot.
"Bukan
bermaksud menyanggah, Mbak. Tapi apa pernyataan itu sudah didukung oleh evidence base yang kuat?
"Nggak
perlu evidence base-evidence base
segala," sergahnya. "Kalau nggak percaya, nih!"
Tiba-tiba cewek itu meraih mangkok sambal di
depannya. Langsung dilemparkannya isi mangkok itu ke mukaku. Pyokk! Sambal yang
masih setengah mangkok penuh itu tertumpah ke mukaku. Otomatis kena mataku juga.
Aduh!
Aku terkejut bukan main. Kontan aku berlari ke wastafel. Kubasuh banyak-banyak
wajah dan mataku dengan air mengalir.
Tapi tetap saja terasa panas. Terutama mataku, rasanya pedih dan panas sekali.
"Sudah
tahu kan?" Tiba-tiba kudengar cewek itu ngobrol sambil lewat di
belakangku. "Apa manfaatnya sambal untuk mata..."
Woiii...
Dokter geblek! Sinting! Idiot! Aku terus mengumpat-umpat. Tapi tak bisa
kuteriakkan keras-keras, hanya bergema dalam hati. Aku lebih sibuk untuk
mencuci mataku yang pedih. Sampai hari ini, mataku masih pedih dan panas. Jadi
aku tidak bisa mengerjakan tugas-tugas, termasuk tugas menulis dari FLP itu. Alasaaaannnn......
Aku sebenarnya masih mau melanjutkan tulisan ini, tapi
ini sudah 777 kata kurang dua.
Jadi, sudahlah.
Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar