23.6.13

Aku Suka Sambal, Ciyus! Enelan!




Aduh, gawat! Ada tugas lagi dari FLP. Tugas menulis, tentu saja. Wajar sih, ini kan FLP, bukan FPI. Nggak bakalan deh, dapat tugas razia tempat maksiat. Aku sudah siap mental sebenarnya, kalau menulisnya dengan tema "Aku Suka Menulis" atau "Aku Suka Membaca", atau apa sajalah, asalkan berkaitan dengan FLP. Tapi, ya ampuunn, ternyata temanya "Aku Suka Sambal". Langsung syok! Ide siapaaa... ini?
"Protes!" Aku berteriak keras-keras. "Aku tidak suka sambal!"
Sunyi.
"HOOIII... AKU PROTESSS!!!"
Senyap.
Ah, sia-sia. Tak ada yang mendengar. Teriakanku membentur dinding tebal, bergaung di relung batinku sendiri, menggoreskan pedih, membusukkan jiwa. Ya, sia-sia saja berteriak. Dinding itu terlalu tebal untuk kutembus dengan suaraku yang tak berharga. Dinding itu begitu angkuh. Dia hanya diam mematung, walau aku menggempurnya dengan berjuta suara. Dia hanya diam. Jaim. Dinding fesbuk.
Yah, sampai sekarang aku tidak tahu caranya berteriak di dinding fesbuk. Di situ cuma boleh mengetik, sama kirim foto narsis. Teriak-teriak percuma saja, tidak akan didengar orang. Kemarin kukira ada teman yang mencoba memberikan tips tentang ini, eh ternyata cuma bergurau. Mereka tidak mengerti bahwa aku serius soal ini. Soal FLP, aku tidak pernah main-main.   
Jadi, ya sudahlah. Tugas adalah tugas. Harus diselesaikan. Tapi bagaimana aku bisa menulis tentang "Aku Suka Sambal"? Yang kutahu, kalau aku coba-coba makan sambal, semacam lendir yang encer tapi lengket akan berleleran dari hidung dan mulutku. Kemudian, tanpa kusadari, lidahku akan terjulur panjang, disertai nafas yang terengah-engah dengan cepat, hosh... hosh... hosh. Jadi mirip Si Bleky, tetangga sebelah, kalau habis lari pagi sama tuannya.
Sepertinya aku harus mengumpulkan referensi dulu sebelum menulis. Itu penting. Dalam hal ini, aku harus menyingkirkan opiniku sendiri tentang sambal. Aku harus bersikap obyektif sebagai penulis. Tak bisa dipungkiri, ada orang-orang tertentu yang sejak lahir memang suka makan sambal. Entahlah, mungkin mereka menderita semacam penyakit genetik yang aneh. Ada sebagian gen-gen mereka yang bermutasi, sehingga mengacaukan respon otak mereka terhadap sensasi pengecapan. Maka, rasa nyeri dan panas yang membakar lidah itu pun mereka bilang enak. Ketagihan malah. Aneh.
Untungnya, orang yang berpenyakit semacam itu tidak sulit dicari. Banyak. Tidak perlu jauh-jauh, di rumahku sendiri juga ada. Biniku sendiri.  
"Mah, kenapa sih kok suka sambal?" tanyaku.
"Mau tahu?"
"Iya."
"Mau tahu aja atau mau tahu bangeet...?"
"Mau tahu banget, soalnya ini untuk bahan ngerjakan tugas."
"Mmm... kasih tahu nggak yaaa?"
"Busyet dah! Kalo gak kasih tahu, ntar kulempar sendal lho, mau?"
"Oce dwehh, gitu aja kok repot. Semua orang juga tahu, sambal itu nikmat buangeet. Bahkan, pada kadar tertentu, bisa menimbulkan halusinasi."
"Ah, masa sih? Halusinasi apaan?" Aku penasaran.
"Iya itu, halusinasi. Biarpun suami gue mukanya macam pantat panci, jadi kelihatan ganteng aja macam Aceng Fikri."
Gedubrak! Krompyaanggg! Pyarrr!
Stop! Cut! Seandainya tidak ada batasan maksimal 777 kata, bagian ini tak akan kusensor sendiri.
Salahku, harusnya aku mencari narasumber yang kompeten, bukan "pengamat" gak jelas yang cuma mau nampang populer saja di sini. Okelah, besoknya sambil ngantor di RS aku lirik-lirik kiri-kanan, siapa tahu ada yang cocok untuk dijadikan narasumber.
Nah, itu dia! Siang-siang kutemukan orang yang cocok, di kantin gaul belakang kantor SMF Bedah. Cewek itu sedang makan bakso sambil ditemani semangkok sambal. Berkali-kali dia menyendok sambal itu, entah sudah berapa miligram dihabiskannya dalam sekali duduk. Aku kenal dia, residen dokter mata. Sepertinya bisa diajak bicara lebih ilmiah.
"Mbak, Mbak, maaf ngganggu makan siangnya. Saya perlu wawancara dikit nih," kataku.
"Oh ya, tentang apa?"
"Tentang sambel, Mbak. Mungkin sampeyan bisa menjelaskan manfaatnya bagi kesehatan. Kesehatan mata misalnya, sesuai disiplin ilmu sampeyan."
"Hah, kata siapa ada manfaatnya? Justru sambal itu tidak baik untuk mata!" tukasnya, serius.
"Eh, begitu ya?" sahutku kaget bercampur heran. "Patofisiologinya gimana, Mbak? Perasaan baru dengar ini ada kesimpulan seperti itu."
"Oh, kamu nggak percaya?" Ia melotot.
"Bukan bermaksud menyanggah, Mbak. Tapi apa pernyataan itu sudah didukung oleh evidence base yang kuat?
"Nggak perlu evidence base-evidence base segala," sergahnya. "Kalau nggak percaya, nih!"
 Tiba-tiba cewek itu meraih mangkok sambal di depannya. Langsung dilemparkannya isi mangkok itu ke mukaku. Pyokk! Sambal yang masih setengah mangkok penuh itu tertumpah ke mukaku. Otomatis kena mataku juga.
Aduh! Aku terkejut bukan main. Kontan aku berlari ke wastafel. Kubasuh banyak-banyak wajah dan mataku dengan air mengalir. Tapi tetap saja terasa panas. Terutama mataku, rasanya pedih dan panas sekali.
"Sudah tahu kan?" Tiba-tiba kudengar cewek itu ngobrol sambil lewat di belakangku. "Apa manfaatnya sambal untuk mata..."
Woiii... Dokter geblek! Sinting! Idiot! Aku terus mengumpat-umpat. Tapi tak bisa kuteriakkan keras-keras, hanya bergema dalam hati. Aku lebih sibuk untuk mencuci mataku yang pedih. Sampai hari ini, mataku masih pedih dan panas. Jadi aku tidak bisa mengerjakan tugas-tugas, termasuk tugas menulis dari FLP itu. Alasaaaannnn......
Aku sebenarnya masih mau melanjutkan tulisan ini, tapi ini sudah 777 kata kurang dua.
Jadi, sudahlah.

Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar