23.6.13

Lelaki Pilihan Ayahku



"Nis, kamu besok datang, kan?" suara Novi di hapeku terdengar mendesak.
"Aduh, gimana ya, aku...." jawabku ragu.
"Sibuk?" sahut Novi. "Sibuk apa pula? Ajak aja si Dafa, nggak apa-apa. Kalau Bang Mahmud nggak ngijinkan, biar aku bicara sama dia."
"Bukan soal Bang Mahmud, tapi Dafa suka rewel kalau diajak pergi," ujarku. Sejak menikah tiga tahun yang lalu, anakku memang baru satu, si Dafa itu.
"Makanya, Dafa harus sering diajak keluar, biar terbiasa. Jangan ngumpet terus di rumah, ntar jamuran deh kamu!" sergah Novi. "Geng kita sudah konfirm semua, tinggal kamu aja. Besok kujemput ya, jam delapan pagi theng!"
Aku terdiam. Alasan apa lagi yang bisa kuberikan agar aku tidak harus datang di acara reuni hari Minggu besok? Sebenarnya aku minder bertemu teman-teman SMA-ku. Mereka umumnya kuliah atau bekerja, sedang aku... membusuk di rumah jadi istri penjual cilok. Tapi bukan itu alasan utamaku. Aku takut berjumpa "dia". Dia yang pernah kuharap akan berperan penting dalam hidupku.
"Sayang cowok-cowok cakep banyak yang nggak bisa datang. Termasuk Mas Tomi, lagi di luar negeri kabarnya. Jadi kurang seru." Novi terus mengoceh. Hatiku berdesir mendengar nama Tomi disebut. Entah Novi sengaja atau tidak. Ia memang sedikit tahu tentang kisah antara aku dan Tomi, tapi mungkin sudah lupa.
"Oh, jadi mereka tidak bisa datang, ya?" selaku dengan perasaan berdebar.
"Iya, makanya kamu jangan nggak datang juga, bisa mati bosan aku!"
"Mm... Iya deh, terserah," kataku akhirnya.
"Nah, gitu dong! Besok kujemput, ya. He he he...." Novi tertawa riang.
Ah, Tomi... lagi-lagi aku jadi teringat nama itu. Padahal sudah mati-matian aku berusaha melupakannya. Aku sudah menikah, tak layak bagiku membagi pikiran untuk laki-laki lain. Tapi bagaimana lagi... orang bilang, cinta pertama takkan pernah terlupakan. Mungkin itulah yang terjadi padaku.
Aku tak bisa melupakan puisi yang ditulis Tomi ketika menyatakan cinta padaku. Kata demi kata, bahkan tiap-tiap hurufnya, masih melekat di benakku.
Bahkan malam pun tertegun dalam senyap
tatkala bulan menyingkap kabut yang menyaput wajahnya
Duhai, Purnama
Demikianlah daku tertegun memandang wajahmu
yang bersinar bak bola kristal dalam naungan kerlip bintang
... dan selanjutnya masih panjang lagi.
Waktu itu, benar kata orang, dunia serasa milik berdua. Masa depan terbuka lebar, hanya keindahan yang tampak. Siapa yang meragukan masa depan seorang pemuda seperti Tomi? Dia cakep, romantis, pintar (bahkan mendekati jenius, kata teman-teman), dan anak orang kaya pula. Walau tak lama, aku sempat merasakan duduk di jok mobil BMW milik papinya, rasanya adem, wangi, keren.
Tapi sayang, kami hanya sempat tiga bulan berpacaran. Bahkan Novi dan teman-teman yang lain baru saja tahu kalau kami pacaran, ketika hal itu keburu tercium oleh ayahku. Hadehhh... ayahku memang kolot. Dari awal sebenarnya beliau melarangku pacaran. Mengetahui aku pacaran sembunyi-sembunyi, kontan saja kemarahannya meledak. Aku sempat dipukul dengan rotan, dan hapeku disita. Alhasil, pacaran seumur jagung itu pun putus... tus.
Karena tekanan ayahku, Tomi dipindahkan orang tuanya ke sekolah lain. Padahal saat itu kurang empat bulan menjelang UNAS. Konsentrasi belajarku buyar. Masih untung bisa lulus SMA, walau nilai pas-pasan. Tapi usahaku lolos seleksi PTN gagal total. Celakanya—ini lagi yang tak kusuka—ayah melarangku ikut tes di perguruan tinggi swasta. Buang-buang duit saja, katanya. Ih, sebel.
"Kalau memang otak nggak mampu dipakai kuliah, ya sudah, nggak usah dipaksakan," ujar ayahku waktu itu. "Lebih baik kamu menikah saja."
Hah, menikah? Sama sekali tak terbayangkan olehku. Lulus SMA langsung menikah... aduh, apa kata dunia? Di saat teman-temanku bertukar kabar gembira karena menjadi mahasiswa-mahasiswi, aku hanya duduk termenung di rumah. Untung Novi sesekali datang menghiburku. Dia juga tidak kuliah, lebih asyik mengurus toko souvenir warisan mamanya daripada belajar.
Saat itu aku berangan-angan seandainya Tomi tiba-tiba datang melamarku. Tapi itu hanya angan-angan kosong, aku tak pernah mendengar kabar-beritanya lagi. Lagipula, kecil kemungkinan ayahku mau menerimanya, sudah nggak respek.
Yang muncul kemudian malah... Bang Mahmud! Aku belum pernah mengenalnya sama sekali. Kabarnya dia lulusan pesantren, nun di Ponorogo sana. Bang Mahmud juga tak mengenalku, bahkan tidak tahu seperti apa diriku, cantik atau jelek. Ia hanya tahu dari gurunya bahwa ayahku sedang mencari menantu. Aku mengintip dari dalam kamar waktu dia datang melamar diantar pamannya. Ehm... refleks otakku langsung membandingkannya dengan Tomi.
Rambutnya ikal, berjenggot, dan selalu pakai celana cingkrang. Aih, sorry men, bukan tipeku banget! Bandingkan dengan Tomi yang rambutnya selalu berminyak gaya Superman The Movie. Parfum Tomi juga selalu cool, membuat cewek-cewek terkiwir-kiwir dibuatnya. Sedangkan yang ini... emh, dari dalam kamar saja aku sudah bisa meraba aroma parfumnya. Bau bunga melati, khas parfum yang biasa dijual di pasar malam (kemudian hari aku tahu, ternyata doi memang jualan parfum semacam itu, hiks!).
Aku sempat berharap ayahku menolak lamarannya. Tapi ternyata tidak, ayahku justru kesengsem dengan gaya santrinya itu. Mungkin beliau pikir cocok untuk menjinakkanku yang nyaris liar ini.
Aku pun gelagapan waktu ditanya, mau apa nggak menikah sama dia. Aduh, pikirku, kalau aku menolak sampai kapan aku membusuk di kamar seperti ini. Tapi... entahlah. Akhirnya, karena aku diam saja, maka lamaran itu pun diterima. Aku pun menikah, dan jadilah si Dafa ini.
Sempat syok juga waktu diajak Bang Mahmud ke rumah kontrakan yang mungil, dalam gang sempit pula. Lebih terkejut lagi waktu mengetahui pekerjaannya sehari-hari, jualan cilok keliling naik motor. Aduh, terbayang masa depanku bakalan suram. Tapi paling tidak dia masih mampu membelikanku pulsa, hingga aku masih bisa ber-chatting ria dengan teman-temanku.
Sebenarnya Bang Mahmud bisa kaya, lho. Doi sering diundang ceramah, maklum lulusan pesantren. Gayanya tidak kalah keren dengan ustadz Uje, ustadz Solmed, dll yang ngetop itu. Pengetahuannya luas, buku-buku bacaannya menggunung di kamar, sebagian besar berbahasa Arab. Bahkan beberapa buku kulihat nama penulisnya adalah ia sendiri, Mahmud Arifin. Sebagai istrinya, aku ikut bangga juga. Tapi sayang, dia selalu menolak amplop yang disodorkan orang padanya selepas ceramah.
Pernah kutanyakan hal itu, tapi dia langsung marah. Katanya, "Rasulullah saja tidak pernah meminta upah atas ilmu yang diajarkannya. Apa hakku, dengan ilmu yang sedikit ini, meminta bayaran?"
"Tapi...." Aku menyanggah. "Kebanyakan ustadz begitu, apa salahnya?"
"Tidak ada salahnya," jawab Bang Mahmud. "Aku hanya malu kepada Rasulullah. Wahai, Annisa istriku, bersabarlah. Ummul mukminin Aisyah r.a. pernah berkata, 'Tidak pernah kenyang keluarga Muhammad dari roti gandum selama dua hari terus menerus'. Apa yang kita jalani sekarang ini sudah terlalu mewah dibanding keluarga Rasulullah!"
Aku terdiam, dan tak pernah menyinggung-nyinggung hal itu lagi.
*  *  *
Dafa melonjak-lonjak gembira ketika Novi datang menjemput kami. Anak itu memang suka diajak Novi jalan-jalan dengan mobil Honda Jazz-nya. Tiba di rumah Mitha, tempat reuni itu digelar, suasana sudah ramai. Walau memang tidak semua datang, hanya 26 dari keseluruhan 40 orang teman sekelasku.
Benar juga kata Novi, rugi kalau aku tidak datang. Acaranya cukup menyenangkan. Apalagi ternyata Meiske, otak geng rival kami yang mulutnya suka kurang ajar itu tidak datang. Aku aman, tidak ada yang mengungkit-ungkit statusku. Bahkan Dafa menjadi bintang acara karena dialah satu-satunya anak kecil yang lucu di acara itu. Novi sibuk pe-de-ka-te sama Rio, cowok baby face berkacamata yang sekarang kuliah di fakultas kedokteran itu.
Seharusnya hari itu berakhir menyenangkan, kalau saja tidak ada mobil Toyota Alphard yang tiba-tiba memasuki halaman rumah Mitha. Semua memandang penasaran, siapa gerangan yang datang dengan mobil itu. Seseorang berbadan tinggi-besar dengan setelan jas warna hitam dan kacamata hitam keluar dari pintu depan mobil, tapi dia bukan teman kami. Ternyata dia membukakan pintu untuk tamu terhormat sebenarnya... Tomi!
Serrr... jantungku langsung menggelepar.  Kok dia datang, bukankah kata Novi dia masih di luar negeri? Aku menarik Dio dan memangkunya sambil mengambil tempat di sudut yang tak menyolok. Semoga dia tidak melihatku.
"Maaf terlambat, teman-teman. Saya langsung ke sini dari bandara. Kemarin masih ada meeting di Melbourne," ujarnya lantang sekali, hampir seperti berteriak. Ia mengenakan jas dan dasi yang langsung dilepasnya, gerah pasti karena tidak ada AC di rumah Mitha, hanya kipas angin.
Tomi menyapa semuanya, kemudian asyik mengobrol, terutama dengan teman-teman laki-laki. Semua diam mendengarnya bicara. Ia bercerita tentang bisnisnya di Australia, Singapore, dan Taiwan. Ia bicara tentang pasar modal, harga minyak, dan investasi apa yang terbaik tahun ini. Aku tidak paham sama sekali.
"Hai, hampir aku lupa. Apakah Nisa datang juga?" sergah Tomi tiba-tiba.
Hampir jantungku berhenti karena aku tersedak oleh ludahku sendiri.
"Ya ampun, Nisa. Kau duduk di situ, pantas aku tidak melihatmu dari tadi!" teriak Tomi. Ia menghampiriku dan mengulurkan tangan untuk berjabatan. "Biarpun kamu berjilbab aku nggak akan lupa, kamu tetap cantik dan makin cantik saja."
Mukaku terasa panas, pasti sudah memerah seperti kepiting rebus.
"Mas Tomi, jangan ganggu dia," tukas Novi. "Nisa sudah kawin, lihat tuh jagoannya ikut mengawal."
Hhh, begitu sempat nanti akan kulempar sendal si Novi itu.
"Iya, iya, sudah tahu. Aku cuma mau mengucapkan selamat, nggak apa-apa kan biarpun terlambat?" Tomi menatapku tajam. Sesaat pandangan kami bertemu, desir ombak yang dulu biasa berdebur di dadaku tiba-tiba muncul lagi. Ah, potongan rambutnya masih bergaya Superman The Movie seperti dulu.
"Iya, terimakasih," kataku sambil menundukkan wajah.
"Suamimu mana, tidak ikut ke sini?" tanyanya.
"Tidak," aku menggeleng. "Ia sedang bekerja."
"Oh, hari Minggu masih bekerja, bisnisman yang sibuk rupanya. Bisnis apa dia?" Tomi masih menatapku dengan pandang mata menyelidik.
"Mm... tidak, tidak ada bisnis. Kami jualan makanan saja, dagang kecil-kecilan," kataku. Entah mengapa, aku jadi ingin menangis. Kutahan kuat-kuat agar air mataku tidak menggelinding keluar. Tak mungkin aku berkata bohong, pasti akan disangkal oleh temanku yang tahu. Aku juga tidak tahu mengapa jadi begitu malu dengan keadaanku sendiri. Seharusnya tidak perlu begini. Seharusnya Novi menyelamatkanku dari suasana seperti ini.   
Gedubrak! Krompyang! Gedebruk!
Aku terkejut. Semua mata menengok ke beranda depan. Astaga! Tukang sate yang di-booking Mitha untuk acara ini tiba-tiba meringkus pengawal Tomi dan mengamankan sebuah pistol yang terselip di balik jasnya.
"Maaf, aku harus pergi," kata Tomi seraya berlari menuju pintu belakang.
Brak! Pintu belakang tiba-tiba didobrak. Dua orang berbadan tegap menerobos masuk. Tomi mencabut pistol kecil dari saku celananya. Tapi orang-orang itu lebih sigap, mereka menjatuhkan Tomi dan merebut pistolnya.
Suasana berubah gaduh. Ada yang menjerit-jerit histeris. Dafa menangis ketakutan. Aku memeluk anakku erat-erat. Takut. Ngeri. Cemas. Bingung.   
"Polisi!" teriak seseorang dengan lantang. "Semua tetap di tempat masing-masing. Tiarap. Tangan di atas kepala!"
Aku menjatuhkan badan ke lantai sambil memeluk Dafa. Kupejamkan mata karena ketakutan. Tangis Dafa terus melengking. Entah apa yang terjadi dalam suasana hiruk-pikuk itu.
Beberapa saat kemudian seseorang menepuk bahuku. Ada tulisan BNN di jaketnya. Ia menyuruhku naik ke atas mobil tahanan bersama teman-teman yang lain. Entah dari mana mereka datang, rumah Mitha sudah dipenuhi polisi.
*  *  *
Tak seorang pun diantara kami yang paham apa yang sebenarnya terjadi, termasuk Mitha si pemilik rumah. Tapi semua menduga ini ada hubungannya dengan Tomi dan pengawalnya itu. Hanya mereka berdua yang bersenjata. Polisi memeriksa kami satu per satu, bahkan tes urin juga. Karena Dafa terus menangis, akhirnya kami dipisahkan dari yang lain dan dibawa ke ruang Kapoltabes.  
 Dafa baru berhenti menangis ketika seorang polwan cantik mengajaknya bermain dengan mainan balok kayu. Itu memberi kesempatan polisi yang lain melakukan pemeriksaan terhadapku. Aku dicecar pertanyaan seputar hubunganku dengan Tomi. Kemudian tentang diriku sendiri, lalu tentang suamiku.
Polisi tidak percaya begitu saja waktu kubilang suamiku penjual cilok. Ia terus mendesak. Dengan takut-takut, kubilang Bang Mahmud terkadang diundang ceramah, juga menulis beberapa buku agama. Kusebutkan beberapa judul bukunya yang kutahu. Polisi itu membelalakkan mata. Aku makin ketakutan. Apakah suamiku ternyata seorang teroris? pikirku cemas.
"Jadi Ibu ini istrinya ustadz Mahmud Arifin?" sergahnya. "Duh, kenapa nggak bilang dari tadi, Bu. Maaf, maaf."
Aku melongong heran. Polisi itu sibuk menelepon. Tak lama kemudian datang beberapa orang. Ada kapoltabes, ada pula anggota DPRD. Mereka semua mengenal Bang Mahmud. Aku mendapat penjelasan bahwa polisi menangkap Tomi Saputra yang sudah lama menjadi target operasi sebagai bandar narkoba. Intel BNN mulai mengendus kemungkinan bisa menangkapnya sejak Mitha punya ide mengadakan reuni dan mengumumkannya di internet. Seorang reserse ditugaskan menyamar jadi tukang sate. Kepada polisi Tomi akhirnya mengaku, ia keluar dari persembunyian karena ingin bertemu denganku di acara reuni itu.
"Maaf atas ketidaknyamanan ini, Bu. Kami berterimakasih karena Ibu sudah membantu tertangkapnya gembong narkoba yang sudah lama kami cari," ujar Pak Kapoltabes dengan ramah. "Kami sudah menghubungi ustadz Mahmud, sebentar lagi beliau menuju ke sini."
Aku hanya mengangguk-angguk, bingung mau berkata apa. Semua ini terjadi begitu cepat, membuatku jadi bingung. Ah, bagaimana mungkin terjadi? Tomi yang begitu kukagumi, kok bisa jadi bandar narkoba. Tak percaya aku rasanya, walau seorang polwan kemudian menceritakan padaku bahwa Tomi mulai berubah sejak orangtuanya mengalami kebangkrutan, sedang dia tidak bisa melepaskan diri dari kebiasaan hidup mewahnya.
Dan Bang Mahmud, siapa suamiku itu sebenarnya? Mengapa orang-orang berpangkat itu menyebut namanya dengan begitu hormat? Padahal di mataku, istrinya sendiri, dia tak lebih dari seorang penjual cilok keliling. Orang-orang itu yang tertipu, atau aku yang selama ini buta?
"Assalamualaikum," kudengar suara yang sangat kukenal. Laki-laki berambut ikal, berjenggot, dan bercelana cingkrang itu.
"Waalaikumsalaam, Bang Mahmuuud..." Aku menghambur memeluk suamiku. Tak peduli beberapa orang melotot memandang kami. Aku menangis sesenggukan, melepas beban ketegangan yang sudah beberapa jam mencekam.
Menjelang petang, kami bertiga berboncengan pulang naik motor Honda Astrea Star Tahun 1993 yang mesinnya kadang terbatuk-batuk itu. Pak Kapoltabes menawari kami untuk diantar dengan mobil, tapi Bang Mahmud menolak dengan halus. Bahkan ia menitipkan gerobak ciloknya di Mapoltabes, yang nanti akan diambilnya setelah mengantar kami pulang.
Aku tak memikirkan lagi tentang Tomi, mobil BMW-nya, atau Toyota Alphard-nya. Entahlah, baru kali ini aku merasakan bahagia dibonceng motor butut. I love you, Bang Mahmud, mmuuach....
Terimakasih, Ayah.
Alhamdulillah, Ya Robbii.
Tapi aku takkan lupa untuk melempar sendal pada si Novi itu.
He he....
Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar