MENGUAK HARAPAN BARU
Hai, Teman... Sudah tahu FLP Malang menerbitkan buku
kumpulan cerpen terbarunya: Perempuan
Merah dan Lelaki Haru?
Judul Buku : Perempuan Merah & Lelaki Haru (Kumpulan Cerpen berkualitas)
Penulis : Mashdar Zainal, Ai El Afif, dkk.
Editor : Gusti Aisyah Putri dan Diah Wulandari
Penerbit : Ide Kreatif, Surabaya, Cetakan Pertama, November 2012
Tebal : vi + 158 halaman
Harga : Rp. 40.000,-
EBooknya bisa didownload gratis di http://pustaka-ebook.com/e-book-antologi-flp-malang-2-perempuan-merah-dan-lelaki-haru-kumpulan-cerpen/
Versi cetaknya bisa dipesan dengan menghubungi 085649505617 (Fauziah Rachmawati)
Hmm... sebuah antologi cerpen lagi? Entahlah, ada yang
menyadari atau tidak, jenis buku antologi cerpen adalah yang paling digemari
oleh penulis, tapi paling dihindari oleh penerbit (mayor label). Lihat saja,
hampir semua komunitas kepenulisan, baik di dunia nyata maupun dunia maya
(fesbuk) berlomba-lomba untuk menerbitkan kumpulan cerpen, atau istilah
kerennya: antologi. Padahal, di sisi lain, penerbit pada umumnya menulis dengan
tegas di websitenya: untuk saat ini tidak
menerima naskah berbentuk kumpulan cerpen. Nah, lho?
Cerpen, alias cerita pendek, umumnya kita jumpai di koran
dan majalah, sebagai suatu selipan diantara artikel-artikel lain. Jarang dalam
bentuk buku tersendiri.
Dalam hal ini, tampaknya FLP Malang tidak tampil beda
dengan komunitas-komunitas kepenulisan yang lain. FLP Malang ikut-ikutan juga
menerbitkan kumpulan cerpen, bahkan ini yang ketiga kalinya. Eits... apa benar
begitu?
Sebentar... rugi kalau teman-teman menilai sesederhana
itu. Jujur, saya yang semula merasa “biasa-biasa saja” ketika mendengar FLP
Malang akan meluncurkan buku kumpulan cerpen terbarunya, menjadi “wah” ketika
melihat bukunya. Apa istimewanya?
Bukan soal istimewa atau tidak istimewa. Tapi ini soal
kreativitas. Setahu saya, ini buku pertama di dunia yang memuat proses kreatif
kepenulisan di balik naskah-naskah cerpennya. Iya, pertama di dunia, men!
Itu penting karena menjadikan buku ini punya sasaran
khusus. Pangsa pasar unik yang belum dimaksimalkan oleh komunitas kepenulisan
lain, yaitu para penulis. Atau lebih tepatnya, mereka yang sedang belajar
menulis. Sengaja saya tidak menggunakan istilah penulis pemula. Saya tidak suka
istilah itu. Dikotomi penulis pemula dan senior adalah sesuatu yang
dibuat-buat, rancu, tidak ada batasan jelas, dan memicu efek negatif. Yang
“merasa” senior menepuk dada, dan yang “merasa” pemula rendah diri. Penyebutan
mereka yang sedang belajar menulis lebih tepat, tak peduli sudah berapa lama
mereka berkiprah di bidang kepenulisan dan apapun prestasinya.
Para penulis (yang sedang belajar menulis) umumnya adalah
juga pembaca yang potensial. Mereka akan selalu mencari buku-buku yang bisa
meningkatkan kemampuannya menulis. Nah, cocok sekali! Buku ini sangat berguna
untuk mereka yang sedang belajar menulis cerpen.
Bagaimana bisa begitu?
Semua juga tahu, tantangan pertama seorang penulis adalah
mencari ide tulisan. Walaupun sudah tersedia laptop canggih, cukup waktu luang,
badan sedang fit, suasana ruangan juga sepi dan nyaman... tapi kalau tidak ada
ide untuk ditulis, sampai kiamat pun cerpennya tidak akan jadi, walau cuma
separagraf.
Lalu apa hubungannya dengan buku ini?
Super sekali, Teman. Buku ini memuat proses kreatif di
balik terciptanya cerpen-cerpen yang dimuat. Dengan begitu pembaca bisa merunut
bagaimana penulis memperoleh “ide” untuk menulis, dan tentu saja, kemudian bagaimana
caranya “ide” itu dituangkan ke dalam cetakan loyang pembentuk cerpen.
Uniknya, banyak proses mendapatkan ide itu muncul dari
hal-hal biasa, simpel, dan tak terduga sama sekali. Sebut saja contohnya:
- Mashdar Zainal mendapat ide saat Sholat Jumat, ketika seorang
bilal menyebut nama khotib lengkap dengan rentetan gelarnya. Peristiwa “sepele”
dan kita juga sering melihatnya sehari-hari ini telah mengilhami seorang
Mashdar Zainal untuk menulis cerpennya yang berjudul Gelar di Atas Batu Nisan. Cerpen ini menjadi Juara I Lomba Cerpen
KAMMI Universitas Negeri Malang.
- Ai El Afif mendapat ide ketika melihat ibu kosnya
bergincu. Gincunya terpatah dan warna merah melebar melewati bibir. Terpikirkankah
oleh teman-teman bahwa pemandangan seperti itu bisa memicu ide untuk menulis
cerpen? Begitulah, bagi Ai El Afif itu bisa mengilhaminya menulis cerpen Perempuan Merah yang kemudian dimuat di
koran Radar Sulteng.
Ada 15 cerpen dalam buku ini, semuanya dilatarbelakangi
proses kreatif yang berbeda-beda. Dan semuanya unik. Membaca buku ini, siapa
saja akan langsung sadar bahwa tidak sepantasnya seorang penulis beralasan “tidak
ada ide” atau “kehabisan ide”, karena ide-ide itu banyak bertebaran di sekitar
kita. Hanya saja, kita memang harus membuka mata dan hati lebar-lebar untuk
bisa menangkapnya. Bagaimana caranya? Belajarlah dari buku ini.
Kelimabelas cerpen itu, tentu juga bukan cerpen
biasa-biasa saja. Kalau kita belajar dari cerpen yang biasa-biasa saja, tidak
aneh bila hasilnya tulisan kita juga akan biasa-biasa saja. Tampaknya hal itu
disadari betul oleh FLP Malang. Maka cerpen-cerpen tersebut bukanlah hasil dari
proyek antologi “semua karya dibukukan” (seperti banyak di fesbuk), atau hasil
event lomba di grup yang bahkan jurinya sendiri belum pernah karyanya dimuat di
media (ini juga banyak). Cerpen-cerpen itu disaring dan dipilih dari karya-karya
yang pernah memenangkan lomba yang kredibel atau pernah dimuat di media cetak. Jadi,
kualitasnya sedikit-banyak cukup teruji.
Kalaupun ada yang sedikit mengganggu dalam buku ini,
sepertinya editor tidak punya batasan tertentu dalam proporsi antara naskah
cerpennya sendiri dengan naskah proses kreatif sebagai pendukungnya. Ini
menjadi aneh dalam cerpen Demokrasi
Batagor (pernah dimuat di majalah Hai) yang mengambil tempat sebanyak 8
halaman, sedangkan proses kreatifnya justru makan tempat 9 halaman!
Tapi itu sama sekali tidak merusak kenyamanan pembaca
dalam menikmati suguhan-suguhan cerpen dalam buku ini.
Ayo, tunggu apalagi. Silakan membacanya dan cepatlah
belajar membuat cerpen. Kenapa membuat cerpen? Karena... bertentangan dengan
pemeo yang saya singgung di awal tulisan ini, dalam minggu-minggu terakhir ini
saya (yang rajin mengamati website penerbit-penerbit mayor) melihat ada harapan
baru mulai terkuak. Satu demi satu penerbit mayor mulai membuka diri terhadap
naskah berupa kumpulan cerpen. Tampaknya pasar mulai bergerak untuk
mengapresiasi buku berupa cerpen-cerpen, bukan hanya novel yang makan waktu
membacanya, terutama bagi pembaca yang waktu luangnya sedikit (dan semakin hari
makin banyak pembaca semacam ini). Nah, nanti ketika buku-buku cerpen sedang booming, pastikan diri Anda sudah
menjadi penulis cerpen yang handal.
Selamat menguak harapan baru.