26.10.13

Rembulan di Tepian Lematang (Bag. 3)





Malam purnama, di puncak malam. Bulan yang telanjang bulat bersimpuh di serambi langit, bercermin di permukaan Sungai Lematang yang mengalir tenang. Percikan cahayanya membuat permukaan sungai berpendar keperak-perakan dalam temaramnya malam. Ikan dan udang berbondong-bondong mendekat ke per-mukaan, tak ingin melewatkan gelar cahaya purnama yang tak datang setiap malam itu.

Mat Sudi menebarkan jala dengan riang. Malam ini ia mendapat tangkapan lebih banyak daripada biasanya. Ah, seandai-nya tiap malam adalah malam purnama, pikirnya. Atau seandainya bumi mempunyai dua, tiga, atau empat bulan. Masing-masing bergiliran menggelar malam purnama...

Sesekali ia mengerlingkan sudut matanya ke suatu arah di kejauhan. Ke arah bayangan seseorang yang sedang berdiri di tepian sungai, mematung sepanjang malam. Malam ini, untuk ke-sekian kalinya sejak beberapa malam yang lalu, bayangan laki-laki itu selalu hadir di situ. Berdiri tengadah, menatap bulan.

Malam makin larut, makin banyak ikan dan udang me-menuhi biduknya. Mat Sudi makin bersemangat menebarkan jala. Ia tak ingat lagi untuk sesekali menengok ke arah Harun dan mengawasi tingkah lakunya. Ketika rasa lelahnya mulai datang, ia merebahkan diri di lantai biduknya. Menatap langit malam, ia me-lihat bulan purnama yang beranjak makin tinggi. Entah kenapa, tiba-tiba ada sesuatu mengusik hatinya, mengetuk pintu memori-nya. Ia teringat akan cerita lama itu. Ya, “malam itu” adalah malam purnama. Malam jahanam “itu” ketika segala bencana ini berawal, adalah malam purnama seperti ini. Ketika itu, semua makhluk air keluar dari dasar sungai dan berpesta-pora di permukaan sungai.

Ingatan itu serta-merta membuatnya kembali menengok ke arah tepian sungai, ke tempat Harun berdiri mematung. Tapi laki-laki itu, yang tadi ada di sana seperti malam-malam sebelumnya, kini tak ada lagi. Ah, mungkin dia sudah bosan berdiri terus di situ, pikir Mat Sudi menenangkan hati. Tapi rasa gelisah dan penasaran membuatnya menepikan biduk ke sana.

Di tepian sungai, yang tadinya ia lihat Harun berdiri di situ, Mat Sudi menengok kesana-kemari, tapi tak tampak siapa-siapa. Suasana sunyi-senyap, hanya ada bunyi desau angin dan sesekali lenguhan burung malam. Malam bermandikan cahaya bulan dan langit bersih dari gumpalan awan. Itu membantunya untuk melihat dengan jelas. Tapi ia tak melihat siapapun di situ. Ah mungkin dia sudah pulang ke pondoknya, pikirnya lagi. Sesaat pikiran itu menenangkan hatinya. Tapi kemudian ia melihat sesuatu yang tak ingin dilihatnya: Jejak-jejak kaki seseorang.

Jejak itu bermula dari bawah sebatang pohon balam, lalu berjalan mengarah ke sungai. Jelas menandakan bahwa pemilik jejak berjalan terus hingga ke tengah sungai, dan tidak ada jejak lain yang menandakan ia telah kembali ke darat. 

“Haruuunn!! Haruuunn!!” teriakan Mat Sudi menggema di sudut-sudut malam. Tak ada jawaban. Teriakan-teriakan itu pun lenyap bersama desau angin.  

Dini hari. Dusun di tepian Sungai Lematang itu belum lagi terlepas dari dekapan dinginnya malam ketika kehebohan baru pecah. Seisi dusun gempar. Biduk-biduk diturunkan. Para pendayung mengaduk-aduk setiap jengkal permukaan sungai. Regu-regu pencari berjalan menyusuri kedua sisi sungai, hingga beberapa kilometer ke hilir. Namun hingga tiga hari berlalu, Harun tak juga ditemukan. Jazadnya, kalau memang ia tenggelam, tak pernah muncul lagi ke permukaan.

Penduduk dusun umumnya mengira bahwa ia telah kembali ke tempat asalnya, di kegelapan sungai. Sebagian lain mengatakan bahwa ia telah dijemput oleh perempuan misterius yang telah dikawininya itu. Ada sekelompok kecil laki-laki yang sangat yakin bahwa perempuan itulah sebenarnya antu ayek. (*)


antu ayek = hantu air.

Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar