Komentar-komentar kembali bersahutan sambung-menyambung. Teori-teori baru
bermunculan. Teori-teori lama dibantah oleh para pengusungnya sendiri. Kali ini
“teori hantu” mendapat goyang-an hebat. Banyak orang bergeser ke “teori akal
sehat”, termasuk kaum perempuan yang mulai meragukan teorinya sendiri. Tapi
kaum laki-laki, yang semula mengusung teori akal sehat itu, malah jadi
ketakutan sendiri. Teori sensitif itu telah menerbitkan keresahan baru yang
meluas ke seluruh penjuru dusun.
Setiap perempuan lantas memandang ke arah laki-laki di dekatnya
masing-masing. Istri memandang suaminya. Ibu meman-dang anak laki-lakinya. Anak
perempuan memandang bapaknya. Gadis memandang pemuda pujaannya. Saudara
perempuan me-mandang saudara laki-lakinya. Yang tidak dekat dengan laki-laki
memandang tetangganya yang laki-laki. Yang tidak punya tetangga laki-laki
memandang ke jalanan, siapa tahu ada laki-laki lewat.
Pandangan itu adalah pandangan yang maknanya kurang-lebih adalah campuran
dari kaget, marah, curiga, menuduh, penasaran, kesal, ragu-ragu, berharap
bukan..., dan banyak lagi jenis-jenis perasaan yang tidak ada terjemahannya
dalam bentuk kata-kata. Kelanjutan dari pandangan itu adalah konsekuensi yang
harus diterima oleh laki-laki yang dipandangnya. Bagi sebagian laki-laki,
konsekuensi itu terasa mengerikan. Untuk bisa terlepas dari konsekuensi itu,
mereka harus mengajukan satu “alibi”. Artinya, mereka harus bisa menyebutkan di
mana dan sedang apa mereka pada “malam itu” kira-kira tiga bulan yang lalu.
Laki-laki yang beristri berusaha mengingatkan istrinya bahwa “malam itu”
mereka berdua sedang bersama-sama melaku-kan sesuatu, yang kebanyakan perempuan
tidak ingat tentang hal itu. Laki-laki yang bujangan mengingatkan bahwa ibunyalah
yang menggembok pintu rumah, dan menyembunyikan kuncinya, hingga ia tak bisa
keluar rumah “malam itu”. Laki-laki yang merasa dipan-dangi oleh tetangganya
akan menutup pintu dan menempelkan tulisan SEDANG DI RUMAH “MALAM ITU”.
Laki-laki yang merasa dipandangi orang saat sedang lewat di jalanan akan
menghardik... HEY, AKU SEDANG DI RUMAH
BERSAMA ISTRIKU MALAM ITU! KALAU MAU
TAHU APA YANG KULAKUKAN DI RUMAH TIAP MALAM, DATANGLAH NANTI MALAM. AKU TIDAK
AKAN MENUTUP JENDELA... PUAS?!
Kebanyakan laki-laki di dusun itu kehidupannya berputar rutin. Seperti
bulan mengelilingi bumi. Tak terlalu sulit bagi mereka untuk mendapatkan
alibinya masing-masing. Kecuali pedagang kain itu! Hampir saja ia dihakimi
massa karena lupa di mana ia berada pada “malam itu” tiga bulan yang lalu.
Hampir saja, kalau orang tidak menarik bajunya hingga sakunya robek. Hampir
saja, kalau tidak tersembul sobekan karcis bioskop yang sudah kusut itu dari
sakunya. Walau kusut tapi masih terbaca cap tanggalnya: tanggal malam itu!
Astaga... orang-orang menggeleng-gelengkan kepala, ngeri membayangkan apa yang
akan terjadi pada laki-laki itu bila tidak ditemukan karcis itu. Untungnya,
pedagang kain itu belum mencuci bajunya sejak tiga bulan yang lalu, sehingga
karcis itu masih terbaca walaupun kusut. Seandainya ia mencucinya bajunya pasti
karcis itu... hhh! Sejak saat itu si pedagang kain tidak pernah mencuci baju
hingga akhir hayatnya.
Semua laki-laki sudah mengemukakan alibinya masing-masing. Semua? Hmm...
tapi ada satu orang yang belum. Siapa? Kepala Dusun! Tidak ada satu pun
perempuan dekat yang meman-dangnya. Istrinya sudah meninggal enam bulan yang
lalu. Anak perempuannya sudah menikah dan ikut suaminya di dusun lain yang
jauh. Menantu perempuannya... terlalu sibuk memelototi suaminya sendiri. Tidak
ada orang yang tahu di mana dan sedang apa dia “malam itu”. Lambat-laun
desas-desus mulai berhembus semilir. Desas-desus yang dibisikkan dari mulut ke
telinga (baru ke mulut lagi) dari balik dinding-dinding papan rumah warga. Tapi
desas-desus itu tetaplah menjadi desas-desus. Tidak ada yang berani memandang,
apalagi bertanya, pada pemegang kuasa tunggal pemerintahan dusun itu.
Entah karena dinding papan itu bertelinga. Entah karena wajah warga dusun
selalu menampakkan gurat-gurat penasaran terpendam. Sepertinya, kepala dusun
itu merasa harus memberikan penjelasan, disertai tindakan. Ia harus memastikan
tidak ada keragu-raguan yang meresahkan masyarakat. Maka, pada suatu sore yang
kelam, kentongan tanda panggilan berkumpul ditabuh orang bertalu-talu. Ketika
itu penduduk dusun umumnya baru pulang dari ladang. Namun, sebagaimana
diinstrusikan, warga dengan cepat berkumpul di halaman rumah orang tua gadis
itu. Kepala dusun itu berdiri tegap di tangga rumah panggung. Di pinggangnya terselip
keris pusaka adat dusun mereka.
“Sudah sepakat seluruh tetua kampung kita...,” ucap kepala dusun dengan
tegas dan lantang. Orang-orang yang merasa dirinya tua menoleh ke kiri dan ke
kanan, melihat-lihat sesama orang tua. Lalu keheranan, mengapa dirinya tidak
tahu bahwa ada kesepakat-an di antara orang-orang tua.
“Jelas dan nyata, apa yang terjadi di kampung ini telah membahayakan kita
semua!” Semua orang yang hadir di situ saling memandang.
“Seperti kita ketahui, perempuan ini...,” Kepala dusun me-nunjuk ke pintu
rumah gadis itu. “Telah dihamili oleh hantu air! Bisakah saudara-saudara
membayangkan?” Semua yang hadir di situ melirik ke atas, berusaha membayangkan
sesuatu.
“Bagaimana bila di kampung kita lahir anak hantu air?” Yang tadinya melirik
ke atas lalu memejamkan mata, tapi belum juga menemukan bayangan yang
diperintahkan oleh kepala dusun.
“Saya yakin, saudara-saudara tidak ada yang lupa apa yang diceritakan oleh
tetua-tetua kita, petuah dari leluhur nenek moyang kita....” Semua yang hadir
membuka mata. Mengernyitkan dahi. Berusaha mengingat sesuatu.
“Lahirnya anak hantu air di suatu kampung akan membawa bencana dan kesialan
bagi penduduk kampung itu!” Kepala dusun itu berteriak lantang. Semua mata
terbelalak.
“Walaupun berat bagi saya memutuskan
ini, tapi demi ke-selamatan seluruh penduduk kampung....” Kepala dusun itu me-ngedarkan
pandangan ke arah wajah-wajah warga yang hadir. Ia mengangguk-angguk melihat
seluruh wajah itu memucat dalam ketakutan. Mata-mata itu nanar dicekam
kebingungan.
“Saya putuskan perempuan ini harus dienyahkan dari dusun kita!”
Sesaat semua terdiam. Hanya lirih terdengar desau angin senja mendesis
pelan.Tiba-tiba pecah raungan seorang perempuan, ibu gadis itu, menghiba-hiba
sambil bersujud dan menarik-narik kaki kepala dusun. Di sebelahnya berdiri
mematung sang ayah. Matanya me-nyala oleh kegeraman. Tapi bagian wajahnya yang
lain membeku dalam ketakutan. Tidak ada bagian tubuhnya yang bergerak, kecuali
jari-jari tangannya yang gemetar.
Keputusan kepala dusun tidak bisa dihapuskan oleh raungan seorang ibu
semata. Keputusan itu sudah inkracht alias berkekuatan hukum tetap. Dialah
penguasa tunggal di dusun itu. Tak satupun warga berani menentang, karena akan
dicap membahayakan kese-lamatan warga. Segala simpang-siur pendapat mengenai
kejadian itu usai sudah. Yang harus dianut sekarang adalah interpretasi tunggal
dari kepala dusun. Sudah cukup jelas dan lengkap. Tindakan yang diambil juga
tegas dan meyakinkan. Segala keraguan yang semula meresahkan penghuni dusun
telah musnah sama sekali.
Dalam naungan senja temaram, gadis itu berjalan ter-sandung-sandung.
Penglihatannya kabur oleh genangan air mata yang tak henti berderai. Ia membawa
buntalan bajunya, juga buntalan entah berisi apa di perutnya, menuju sebuah
pondok di tepi sungai. Jauh, di luar dusun. Pondok yang semula adalah tempat
menumpuk bongkahan karet. Tempat para penyadap karet melepas lelah sejenak di
siang bolong yang panas. Pondok yang papan-papannya rapuh dan berlubang-lubang.
Atap rumbianya tidak rapat lagi, sebagian telah hancur dan hilang tertiup
angin.
Apa yang terjadi beberapa bulan kemudian di dalam pondok itu hanyalah kabar
angin. Konon, seorang dukun beranak menolong kelahiran bayi dalam pondok itu.
Pada malam bulan purnama. Saat kepala bayi hampir keluar, tiba-tiba angin
berhembus sangat ken-cang. Api lampu minyak dalam pondok itu pun padam. Ruangan
dalam pondok menjadi remang-remang, hanya disinari cahaya bulan yang menembus
sela-sela atap rumbia. Dukun tua yang nyaris buta itu menarik kepala sang bayi
dalam kegelapan. Kemudian ia mendengar suara tangis keras yang aneh, tidak
seperti bayi pada umumnya. Dengan meraba-raba ia membawa bayi itu ke bagian
pondok yang agak terang. Dan ketika cahaya bulan yang menerobos sela-sela atap
serta lubang di dinding papan menimpa wajah bayi itu, dukun tua itu menjerit
ketakutan!
Bayi sumbing itu, sampai dewasa tetaplah sumbing. Bahkan, makin hari
wajahnya makin menakutkan. Orang-orang dusun yang pergi ke ladang, kadang
terpaksa bersua dengannya. Sejauh ini memang belum pernah Si Sumbing itu
melakukan sesuatu yang membahayakan warga. Bahkan, tampaknya dia “tahu diri”
dan menjaga jarak. Walaupun begitu, tetap saja orang was-was dengan-nya. Kalau
ia memandang perempuan, walaupun dari jauh, yang dipandang merasa seolah-olah
hendak ditelannya bulat-bulat.
Semakin dia dewasa, semakin orang mencemaskan keberadaannya. Sebagian
warga terpaksa melewati pondoknya saat mereka pergi ke ladang atau menyadap
karet di kebun. Perempuan-perempuan harus berjalan memutar hingga 100 meter
dari pondok itu untuk menghindari tatapannya. Tapi kadang-kadang wajah
menakutkan itu muncul tiba-tiba, menatap mereka dengan pan-dangan yang aneh.
Menurut para perempuan, pandangan itu seperti “penuh gairah tak tersalurkan”.
Bila sudah begitu, mereka akan memilih untuk ambil langkah seribu.
Ketika kegelisahan penduduk hampir mencapai titik yang memprihatinkan,
kasak-kusuk pun akhirnya sampai ke meja kepala dusun. Kepala dusun yang baru
tentunya, anak dari kepala dusun yang lama. Kepala dusun ini pun gusar, tapi
masih bimbang. Apakah seperti ayahnya dulu, ia akan mengusir perempuan dan anak
anehnya itu lebih jauh lagi? Tapi alasan apa yang bisa dikemukakan? Alasan yang
harus diucapkan, seperti ayahnya berpidato di bawah tangga rumah gadis itu
dulu. Sejauh ini ia belum menemukan alasan. Laki-laki aneh itu belum pernah
mengganggu siapapun. Memang, para perempuan itu resah dengan pandangan matanya.
Tapi, kalau pandangan laki-laki harus diadili, bukankah lebih dari separuh
laki-laki di dusun ini harus diusir juga?
Tak disangka kemudian ada kejadian lain yang kembali menghebohkan dusun
itu. Kejadian yang juga meresahkan kaum perempuan. Pada suatu sore yang mendung
dan gerimis, orang-orang yang baru pulang dari ladang melihat anak-anak kecil
sedang mengerumuni sesuatu. Ketika ditengok ternyata ada seseorang, tampaknya
perempuan, sedang tidur terkapar di bawah gardu ronda. Rambutnya panjang,
kusut, dan gimbal. Mukanya coreng-moreng. Tak jelas lagi warna kulit aslinya
karena dakinya begitu tebal. Sepertinya perempuan itu sudah berbulan-bulan tak
ter-sentuh air. Pakaiannya compang-camping, sama sekali tak memadai untuk
menutup auratnya. Ia tidur dengan nyenyaknya, tak merasa terganggu oleh ulah
anak-anak yang terus mengusiknya.
Ini segera menjadi isu baru yang meresahkan, melebihi isu tentang laki-laki
sumbing itu. Ibu-ibu harus berulangkali mengingat-kan bapak-bapak yang mendapat
giliran ronda malam, agar tidak mendekati gardu ronda itu. Perempuan dengan
baju yang tak lengkap itu, serta malam gelap, dingin, dan sepi.... Istri mana
yang percaya bahwa suaminya tak mungkin berbuat khilaf?
Beberapa orang berusaha memberinya pakaian yang lebih layak, tapi dibuang
saja oleh perempuan itu. Ada yang berusaha mengusirnya supaya pergi dari dusun,
tapi perempuan itu bergeming. Ketika seorang ibu muda begitu gemas, hingga
memukul-nya dengan tangkai sapu, perempuan itu melolong kesakitan dan berlari.
Tapi ia kembali ke dusun itu lewat jalan lain, kemudian bersemayam di belakang
Balai Desa. Bila ada orang perempuan yang lewat, ia menyembunyikan diri di
balik semak-semak. Tapi bila orang laki-laki yang lewat, ia berani menampakkan
diri, dengan pakaiannya yang compang-camping. Sungguh menjengkelkan.
Perempuan itu sepertinya bisu. Mulutnya hanya mengeluarkan suara-suara
yang tiada artinya. Air mukanya tidak menampak-kan akal budi di balik sorot
matanya yang kosong. Baik ingus maupun air liur selalu berleleran di wajahnya.
Bila tidur ia telentang seenaknya saja, tak peduli dengan posisinya sehubungan
dengan pakaian yang tidak menutup auratnya itu. Bila tidak sedang tidur, ia
terus menggumam atau meracau sekenanya. Kadang-kadang tam-paknya ia lapar,
berjalan ke rumah orang-orang meminta makanan. Ia lebih banyak berbicara dengan
tangannya daripada mulutnya.
Untuk sesaat keberadaan perempuan tak jelas asal-usulnya itu memusingkan
kepala dusun. Tapi kemudian tiba-tiba ia seperti mendapat ilham dari langit.
Dengan satu keputusan yang tepat, ia bisa menuntaskan persoalan laki-laki
sumbing “anak hantu” itu, sekaligus dengan masalah perempuan edan itu. Sekali
tepuk, dua lalat jatuh. Sekali merengkuh dayung, dua pulau terlampaui. Tentu
saja, dengan mengawinkan keduanya. Kenapa tidak? Mereka sama-sama aneh. Itu
sudah cocok dan adil bagi mereka.
Dengan sigap, kepala dusun itu segera menulis surat keputusannya. Lalu ia
memanggil punggawa dusun. Ia memerintahkan untuk mengirim salinan pertama
surat keputusan ke pondok di tepi sungai itu. Salinan kedua... sesaat ia agak
bingung, tapi kemudian dipanggilnya istrinya. Istri kepala dusun itu begitu
girang membaca surat keputusan itu. Bergegas ia mencari perempuan itu, yang
akhirnya ditemukannya di balik batang-batang pisang di belakang gedung sekolah.
Bukan perkara mudah menyampaikan isi surat keputusan itu. Semula perempuan
itu ketakutan melihat istri kepala dusun. Tapi akhirnya dia mengangguk-angguk
juga, sambil tertawa dan menge-luarkan kata-kata yang tidak jelas, setelah
istri kepala dusun berulang-ulang menyebut kata “kawin” sambil memperagakan
maksudnya dengan gerakan tangan dan badannya.
Bagian yang lebih sulit adalah mengambil biodatanya untuk kepentingan
administrasi di KUA. Karena perempuan itu tak bisa menyebut namanya, istri
kepala dusun harus menebak dengan menyebutkan berbagai macam nama yang teringat
olehnya. Tapi hingga ratusan nama disebutkan, perempuan itu tetap menggeleng.
Hampir-hampir ia mengira perempuan itu berasal dari planet lain yang tidak
bernama, hingga akhirnya muncul satu nama dalam memorinya: Ayu Ting-ting? Tak disangka perempuan itu tertawa renyah dan
mengangguk-angguk. Sambil melepas nafas panjang dan menyeka peluh di dahinya,
istri kepala dusun itu menuliskan di kolom pertama lembar biodata, nama: Ayu.
Tanggal perkawinan pun ditetapkan. Akad nikah akan dise-lenggarakan di
Balai Desa. Ditetapkan wali hakim untuk perempuan itu, dan ditunjuk dua orang
saksi nikah. Pada hari yang ditetapkan, penduduk berkerumun di dalam dan di
luar balai desa untuk menyaksikan kejadian langka dan bersejarah itu. Hari itu
tidak ada orang yang pergi ke ladang. Para penyadap karet mengambil cuti satu
hari. Anak-anak tidak pergi ke sekolah, dan guru-gurunya pun ikut berdesakan di
Balai Desa.
Ke mana perempuan itu? Hingga matahari setinggi tombak tidak seorangpun
melihatnya. Tak ada yang melihat saat dini hari, ketika bumi masih berselimut
kabut, emak Harun keluar dari
pondoknya menjemput perempuan itu. Sebenarnya, hatinya rasa teriris oleh
keputusan kepala dusun yang “memaksa” anaknya mengawini perempuan yang entah
datang dari mana itu. Namun ia sudah belajar untuk menjalani hidup ini,
kemanapun nasib akan membawanya. Ia juga sudah mewariskan cara hidup seperti
itu pada anaknya. Harun, entah menyadari atau tidak seperti apa perempuan yang
harus dinikahinya, tampaknya berbeda dengan ibunya dalam menyikapi keputusan
itu. Ia begitu bersemangat ketika ibunya menyuruhnya menimba air hingga
bergentong-gentong, dari sebelum fajar hingga sinar matahari terasa hangat di
punggungnya. Begitu banyak air yang diperlukan untuk memandi-kan perempuan
itu.
Tengah hari, ketiganya berjalan menyusuri jalanan diantara batang-batang
balam yang bersemak-semak. Dari tepian sungai hingga ladang-ladang penduduk.
Menyusuri pematang sawah. Menyeberangi beberapa anak sungai. Terus berjalan
hingga mendekati batas dusun itu. Harun berjalan di depan, melangkah tegap
dengan baju terbaik yang dimilikinya. Di belakangnya, kedua perempuan itu
berjalan beriringan. Yang satu perempuan tua dengan wajah keriput yang telah
kering terhisap oleh kenestapaan, berjalan terbungkuk dan tertatih-tatih. Yang
satunya lagi perem-puan muda, sulit ditebak umurnya berapa, dengan rambut
panjang tersanggul yang dibalut kerudung kuning pudar, dan kebaya yang
bertambalan di sana-sini. Wajahnya tak lagi coreng-moreng, walau masih berliur
dan beringus. Emak Harun rajin
mengelapnya dengan serbet, sesering mungkin. Dan kulitnya yang kemarin gelap
tertutup daki tebal itu, kini tampak kuning gading merona, kelihatan dari muka,
tangan, dan ujung kakinya yang sebagian ternoda lumpur. Itu hasil setelah
berjam-jam digosok dengan batu dan diguyur air berkubik-kubik.
Harun berubah jadi gugup ketika melihat begitu banyak orang “mengepung”
Balai Desa. Tapi ibunya mendorongnya agar terus berjalan memasuki tempat itu.
Orang-orang ternganga melihat perempuan gimbal kemarin itu telah berubah
penampilan. Beberapa laki-laki mendesah dalam hati. Seandainya perempuan ini sehat akalnya, aku juga.... Lelaki-lelaki
tua yang sudah lama tak melihat emak
Harun berusaha melongok lebih dekat. Mereka ingin memastikan adanya sisa
kecantikan yang menempel di wajah perempuan tua itu, yang dulu sering mereka
gunjingkan bersama.
Setelah basa-basi panjang-lebar dari kepala dusun dan penghulu kampung,
yang sama sekali tak didengarkan oleh orang banyak yang berdengung sendiri
seperti pasukan lebah itu, sampai-lah pada acara yang ditunggu semua orang.
Penghulu yang menjadi wali hakim bagi perempuan itu memegang tangan Harun dan
meng-ucapkan : “Saya nikahkan ananda Harun bin
Abihi dengan ananda Ayu binti Abiha
dengan mas kawin seperangkat alat sholat...”
Harun kelihatan sekali sangat gugup. Ia berusaha keras untuk membuka
mulutnya, lalu menyambung ucapan ijab kabul dari penghulu itu. Akhirnya keluar
juga suara dari mulutnya, yang tentu saja tak bisa ia kendalikan nadanya sesuai
kemauannya.
“Ngghhaayyaa ngghherrrimmmaa...”
Tiba-tiba bumi seperti bergetar. Gedung Balai Desa itu berguncang seperti
mau roboh. Bukan oleh gempa, melainkan oleh ledakan tawa ratusan orang yang
berdesakan di dalam dan di luar balai desa. Para penonton, mungkin sudah
memperkirakan hal itu akan terjadi, sedari pagi berdesakan menunggu untuk
melihat dengan mata-kepala sendiri kejadian lucu itu. Mungkin lebih lucu dari
perkiraan mereka semula, sehingga mereka tak bisa menahan diri untuk tidak
terpingkal-pingkal. Penghulu berteriak-teriak me-nyuruh mereka diam dan
memukul-mukul meja dengan tangkai penanya. Perlu hampir setengah jam untuk
menunggu suasana kembali tenang.
Penghulu mencoba kembali mengulangi proses sakral itu. Tapi sia-sia. Suara
tawa kembali menggemuruh setiap kali Harun berusaha menyambung ucapan ijab
kabul itu. Kalimatnya pun terhenti di tengah jalan, sehingga kedua saksi nikah
memvonis: tidak sah! Harun makin pucat pasi. Matanya terus berkedip-kedip gugup
dan nafasnya tersengal-sengal tak teratur. Di sudut ruangan, ibunya duduk
membungkuk dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia sedang berusaha keras agar
air yang menggenang di pelupuk matanya tidak sampai jatuh menetes.
Penghulu dan stafnya, serta kedua saksi, akhirnya berunding untuk mencari
jalan keluar dari perkara ini. Keputusan awal sebenarnya adalah menunda prosesi
akad nikah hari ini dan menyelenggarakannya di waktu dan tempat lain secara
tertutup. Tapi kepala dusun segera turun tangan mengintervensi. Ia memerin-tahkan
pernikahan harus diselesaikan sekarang juga! Ia melihat raut muka Harun yang
putus asa dan sangat tertekan, tak mungkin bisa dipanggil lagi untuk disuruh
kawin di lain hari.
Akhirnya penghulu itu mengeluarkan fatwa, bahwa pada perkara Harun ini
tidak perlu melafazkan ijab kabul secara lisan. Cukup mengangguk saja untuk
menjawab kalimat pernikahan yang diucapkan penghulu. Prosesi pun diulangi lagi,
kali ini selesai dengan cepat. Kedua orang saksi mengira Harun mengangguk
setelah penghulu menyelesaikan kalimatnya. Entahlah, Harun terus
bergoyang-goyang kepalanya karena gugup dan ketakutan, dan kadang-kadang
terangguk-angguk tanpa sengaja. Maka, kedua saksi itu serempak mengucapkan:
sah!
Kali ini tak ada lagi gemuruh tawa. Sebagian orang meng-gumam tak puas
karena menganggap prosesi terakhir itu tidak seru lagi. Sebagian lagi mulai
beranjak untuk membubarkan diri. Peng-hulu masih melanjutkan dengan membaca
doa-doa dan memberi-kan nasehat-nasehat perkawinan. Harun menunduk lesu, sama
sekali tak mendengarkan itu semua. Dalam hatinya masih bergemu-ruh suara tawa
itu. Ia kaget ketika penghulu itu akhirnya menepuk bahunya. Seolah ia seperti
orang terbangun dari tidur. Sang Peng-hulu menyuruhnya pulang dengan membawa
serta istrinya.
Harun berusaha berdiri walau badannya terasa melayang. Ia melihat ibunya
duduk tertunduk di pojok ruangan, terisak-isak. Kemudian matanya
mencari-cari... istrinya. Perlu waktu beberapa saat sebelum ia menyadari bahwa
orang yang dicarinya tak ada lagi di ruangan itu.
Orang-orang lain pun terlambat menyadarinya. Ketika mereka bergerak
menyingkir untuk memberi jalan bagi kedua “mempelai”, baru mereka menyadari
bahwa salah satu mempelai itu telah raib. Awalnya mereka celingukan mencari,
mengira perem-puan yang baru saja menjadi pengantin baru itu terselip di antara
puluhan orang yang berhimpit-himpit dalam ruangan. Kehebohan pun pecah, tatkala
mereka menyadari bahwa perempuan itu benar-benar telah raib.
Orang-orang pun bubar, bertebaran kesana-kemari. Semua penasaran dan
mencari-cari di mana perempuan itu berada. Banyak yang menyumpah-nyumpah
keheranan. Bagaimana mungkin, tak seorangpun hadirin memperhatikan, hingga
perempuan itu bisa menghilang begitu saja dari kerumunan. Kemanapun mereka men-cari,
perempuan itu tak terlihat lagi. Kemudian tersiar kabar dari seorang pemburu
burung yang melihatnya berlari ke arah sungai. Tapi ketika dikejar ke sana,
perempuan itu tidak ada lagi. Bahkan juga
tidak tertinggal jejak kakinya di sekitar sungai itu.
Kerumunan orang itu pun menyaksikan kedua anak-beranak itu berjalan gontai
kembali ke pondoknya. Harun memapah ibunya yang terseok-seok dan sesenggukan
sepanjang jalan. Kali ini, pondok itu terasa lebih jauh dari biasanya. Itulah
terakhir kalinya orang dusun melihat perempuan tua itu. Dua minggu kemudian ia
dikabarkan meninggal. Jazadnya dikubur di bawah tiang pondoknya. Hanya empat
atau lima orang yang menyaksikan penguburannya. Itupun karena mereka kebetulan
lewat dan merasa tak enak melihat laki-laki sumbing itu sendirian menggali
kubur.