"Nis,
kamu besok datang, kan?" suara
Novi
di hapeku terdengar mendesak.
"Aduh,
gimana ya, aku...."
jawabku ragu.
"Sibuk?"
sahut Novi. "Sibuk
apa pula? Ajak aja si Dafa,
nggak apa-apa. Kalau Bang Mahmud nggak ngijinkan, biar aku bicara sama dia."
"Bukan
soal Bang Mahmud, tapi
Dafa
suka
rewel kalau diajak pergi," ujarku.
Sejak menikah tiga tahun yang lalu, anakku memang baru satu, si Dafa itu.
"Makanya, Dafa harus sering diajak keluar, biar terbiasa. Jangan ngumpet
terus di rumah, ntar jamuran deh kamu!" sergah Novi. "Geng kita sudah konfirm semua, tinggal kamu aja. Besok
kujemput ya, jam
delapan pagi theng!"
Aku
terdiam. Alasan apa lagi yang bisa kuberikan agar aku tidak harus datang di acara reuni hari Minggu besok? Sebenarnya aku minder bertemu teman-teman SMA-ku. Mereka umumnya kuliah atau bekerja, sedang aku...
membusuk di rumah jadi istri penjual cilok. Tapi bukan itu alasan utamaku. Aku takut berjumpa "dia". Dia yang pernah kuharap akan berperan penting dalam
hidupku.
"Sayang
cowok-cowok cakep banyak yang nggak bisa datang. Termasuk Mas Tomi, lagi di luar negeri kabarnya. Jadi kurang seru." Novi terus
mengoceh. Hatiku berdesir
mendengar nama Tomi disebut.
Entah Novi sengaja atau tidak. Ia memang sedikit tahu tentang
kisah antara aku dan Tomi, tapi mungkin sudah lupa.
"Oh,
jadi mereka tidak bisa datang, ya?" selaku dengan perasaan berdebar.
"Iya,
makanya kamu jangan nggak datang juga, bisa mati bosan aku!"
"Mm... Iya deh, terserah," kataku
akhirnya.
"Nah,
gitu dong! Besok
kujemput,
ya.
He he he...." Novi tertawa riang.
Ah,
Tomi... lagi-lagi aku jadi teringat nama itu. Padahal sudah mati-matian aku
berusaha melupakannya. Aku sudah menikah, tak layak bagiku membagi pikiran
untuk laki-laki lain. Tapi bagaimana lagi... orang bilang, cinta pertama takkan pernah
terlupakan. Mungkin itulah yang terjadi padaku.
Aku
tak bisa
melupakan puisi yang ditulis Tomi ketika menyatakan cinta padaku. Kata demi
kata, bahkan tiap-tiap hurufnya, masih
melekat
di benakku.
Bahkan malam pun tertegun dalam
senyap
tatkala bulan menyingkap kabut yang menyaput wajahnya
Duhai, Purnama
Demikianlah daku tertegun memandang
wajahmu
yang bersinar bak bola kristal
dalam naungan kerlip bintang
...
dan selanjutnya masih panjang lagi.
Waktu
itu, benar kata orang, dunia serasa milik berdua. Masa depan terbuka lebar, hanya keindahan yang tampak. Siapa yang meragukan masa depan seorang
pemuda seperti Tomi?
Dia cakep, romantis, pintar (bahkan mendekati jenius, kata teman-teman), dan
anak orang kaya pula. Walau tak lama, aku sempat merasakan duduk di jok mobil
BMW milik papinya,
rasanya adem,
wangi, keren.
Tapi
sayang, kami hanya sempat tiga bulan berpacaran. Bahkan Novi dan teman-teman yang lain baru saja tahu kalau kami pacaran, ketika hal itu keburu tercium oleh ayahku.
Hadehhh... ayahku memang kolot. Dari awal sebenarnya beliau melarangku pacaran. Mengetahui aku pacaran sembunyi-sembunyi,
kontan saja kemarahannya meledak. Aku sempat dipukul dengan
rotan, dan hapeku disita. Alhasil, pacaran seumur jagung itu pun putus... tus.
Karena
tekanan ayahku, Tomi dipindahkan orang tuanya ke sekolah lain. Padahal saat itu
kurang empat bulan menjelang UNAS. Konsentrasi belajarku buyar. Masih untung
bisa lulus SMA, walau
nilai pas-pasan. Tapi usahaku lolos
seleksi PTN
gagal total. Celakanya—ini
lagi yang tak kusuka—ayah
melarangku ikut tes di perguruan
tinggi swasta. Buang-buang duit saja, katanya. Ih, sebel.
"Kalau
memang otak nggak mampu dipakai kuliah, ya sudah, nggak usah dipaksakan,"
ujar ayahku waktu itu. "Lebih baik kamu menikah saja."
Hah,
menikah? Sama sekali tak terbayangkan olehku. Lulus SMA langsung menikah...
aduh, apa kata dunia? Di
saat teman-temanku bertukar kabar gembira karena menjadi mahasiswa-mahasiswi,
aku hanya duduk termenung di rumah. Untung Novi sesekali datang menghiburku.
Dia juga tidak kuliah, lebih
asyik mengurus toko souvenir warisan mamanya daripada belajar.
Saat
itu aku berangan-angan
seandainya Tomi tiba-tiba datang
melamarku. Tapi
itu hanya angan-angan kosong, aku
tak pernah mendengar
kabar-beritanya lagi.
Lagipula, kecil kemungkinan ayahku mau menerimanya, sudah nggak respek.
Yang
muncul kemudian
malah... Bang Mahmud! Aku belum
pernah mengenalnya sama sekali. Kabarnya dia lulusan pesantren, nun di Ponorogo sana. Bang Mahmud juga tak mengenalku, bahkan tidak tahu seperti apa diriku, cantik atau jelek. Ia hanya tahu dari gurunya bahwa ayahku sedang mencari
menantu. Aku mengintip dari dalam kamar waktu dia datang melamar diantar
pamannya. Ehm... refleks otakku langsung membandingkannya dengan Tomi.
Rambutnya ikal, berjenggot, dan selalu pakai
celana cingkrang. Aih, sorry men, bukan tipeku banget!
Bandingkan dengan Tomi yang rambutnya selalu berminyak gaya Superman The Movie. Parfum Tomi juga
selalu cool, membuat cewek-cewek
terkiwir-kiwir dibuatnya. Sedangkan yang ini... emh, dari dalam kamar saja aku sudah
bisa meraba aroma parfumnya.
Bau bunga melati, khas parfum yang biasa
dijual di pasar malam (kemudian hari aku tahu, ternyata doi memang jualan parfum
semacam itu, hiks!).
Aku
sempat berharap ayahku menolak lamarannya. Tapi ternyata tidak, ayahku justru kesengsem
dengan gaya santrinya itu.
Mungkin beliau pikir cocok untuk
menjinakkanku yang nyaris liar ini.
Aku pun gelagapan waktu ditanya, mau apa nggak menikah sama dia. Aduh,
pikirku, kalau aku menolak sampai kapan aku membusuk di kamar seperti ini.
Tapi... entahlah. Akhirnya,
karena aku diam saja,
maka lamaran itu pun diterima. Aku pun menikah, dan jadilah si Dafa ini.
Sempat
syok juga waktu diajak Bang Mahmud ke rumah kontrakan yang mungil, dalam gang
sempit pula. Lebih terkejut lagi waktu mengetahui pekerjaannya sehari-hari,
jualan cilok keliling naik motor. Aduh, terbayang
masa depanku bakalan suram. Tapi paling
tidak
dia masih mampu membelikanku pulsa, hingga aku masih bisa ber-chatting ria dengan teman-temanku.
Sebenarnya
Bang Mahmud bisa kaya,
lho. Doi sering diundang ceramah, maklum lulusan pesantren. Gayanya tidak kalah keren dengan ustadz Uje,
ustadz Solmed, dll yang ngetop itu. Pengetahuannya luas, buku-buku bacaannya
menggunung di kamar, sebagian besar berbahasa Arab. Bahkan beberapa buku
kulihat nama penulisnya adalah ia sendiri, Mahmud Arifin. Sebagai istrinya, aku
ikut bangga juga. Tapi sayang, dia selalu
menolak
amplop yang disodorkan
orang padanya selepas ceramah.
Pernah
kutanyakan hal itu, tapi dia langsung marah. Katanya, "Rasulullah saja
tidak pernah meminta upah atas ilmu yang diajarkannya. Apa hakku, dengan ilmu
yang sedikit ini, meminta bayaran?"
"Tapi...."
Aku menyanggah. "Kebanyakan ustadz
begitu, apa salahnya?"
"Tidak
ada salahnya," jawab Bang Mahmud. "Aku hanya malu kepada Rasulullah. Wahai,
Annisa istriku, bersabarlah. Ummul mukminin Aisyah r.a. pernah berkata, 'Tidak
pernah kenyang keluarga Muhammad dari roti gandum selama dua hari terus
menerus'. Apa yang kita jalani sekarang ini sudah terlalu mewah dibanding
keluarga Rasulullah!"
Aku terdiam, dan tak pernah menyinggung-nyinggung hal itu
lagi.
* * *
Dafa melonjak-lonjak gembira ketika Novi datang menjemput
kami. Anak itu memang suka diajak Novi jalan-jalan dengan mobil Honda Jazz-nya.
Tiba di rumah Mitha, tempat reuni itu digelar, suasana sudah ramai. Walau
memang tidak semua datang, hanya 26 dari keseluruhan 40 orang teman sekelasku.
Benar juga kata Novi, rugi kalau aku tidak datang.
Acaranya cukup menyenangkan. Apalagi ternyata Meiske, otak geng rival kami yang
mulutnya suka kurang ajar itu tidak datang. Aku aman, tidak ada yang mengungkit-ungkit
statusku. Bahkan Dafa menjadi bintang acara karena dialah satu-satunya anak
kecil yang lucu di acara itu. Novi sibuk pe-de-ka-te sama Rio, cowok baby face berkacamata yang sekarang
kuliah di fakultas kedokteran itu.
Seharusnya hari itu berakhir menyenangkan, kalau saja
tidak ada mobil Toyota Alphard yang tiba-tiba memasuki halaman rumah Mitha. Semua
memandang penasaran, siapa gerangan yang datang dengan mobil itu. Seseorang
berbadan tinggi-besar dengan setelan jas warna hitam dan kacamata hitam keluar
dari pintu depan mobil, tapi dia bukan teman kami. Ternyata dia membukakan
pintu untuk tamu terhormat sebenarnya... Tomi!
Serrr... jantungku langsung menggelepar. Kok dia datang, bukankah kata Novi dia masih
di luar negeri? Aku menarik Dio dan memangkunya sambil mengambil tempat di
sudut yang tak menyolok. Semoga dia tidak melihatku.
"Maaf terlambat, teman-teman. Saya langsung ke sini dari
bandara. Kemarin masih ada meeting di
Melbourne,"
ujarnya lantang sekali, hampir seperti berteriak. Ia mengenakan jas dan dasi
yang langsung dilepasnya, gerah pasti karena tidak ada AC di rumah Mitha, hanya
kipas angin.
Tomi menyapa semuanya, kemudian asyik mengobrol, terutama
dengan teman-teman laki-laki. Semua diam mendengarnya bicara. Ia bercerita
tentang bisnisnya di Australia, Singapore, dan Taiwan. Ia bicara tentang pasar
modal, harga minyak, dan investasi apa yang terbaik tahun ini. Aku tidak paham
sama sekali.
"Hai, hampir aku lupa. Apakah Nisa datang juga?" sergah Tomi tiba-tiba.
Hampir jantungku berhenti karena aku tersedak oleh
ludahku sendiri.
"Ya ampun, Nisa. Kau duduk di situ, pantas aku tidak
melihatmu dari tadi!" teriak Tomi. Ia menghampiriku dan mengulurkan tangan
untuk berjabatan. "Biarpun kamu berjilbab aku nggak akan lupa, kamu tetap
cantik dan makin cantik saja."
Mukaku terasa panas, pasti sudah memerah seperti kepiting
rebus.
"Mas Tomi, jangan ganggu dia," tukas Novi. "Nisa sudah kawin, lihat tuh jagoannya ikut mengawal."
Hhh,
begitu sempat nanti akan kulempar sendal si Novi itu.
"Iya, iya, sudah tahu. Aku cuma mau mengucapkan selamat,
nggak apa-apa kan biarpun terlambat?" Tomi menatapku tajam. Sesaat pandangan kami bertemu,
desir ombak yang dulu biasa berdebur di dadaku tiba-tiba muncul lagi. Ah,
potongan rambutnya masih bergaya Superman
The Movie seperti dulu.
"Iya, terimakasih," kataku sambil menundukkan wajah.
"Suamimu mana, tidak ikut ke sini?" tanyanya.
"Tidak," aku menggeleng. "Ia sedang bekerja."
"Oh, hari Minggu masih bekerja, bisnisman yang sibuk
rupanya. Bisnis apa dia?" Tomi masih menatapku dengan pandang mata menyelidik.
"Mm... tidak, tidak ada bisnis. Kami jualan makanan saja,
dagang kecil-kecilan," kataku. Entah mengapa, aku jadi ingin menangis. Kutahan
kuat-kuat agar air mataku tidak menggelinding keluar. Tak mungkin aku berkata
bohong, pasti akan disangkal oleh temanku yang tahu. Aku juga tidak tahu
mengapa jadi begitu malu dengan keadaanku sendiri. Seharusnya tidak perlu
begini. Seharusnya Novi menyelamatkanku dari suasana seperti ini.
Gedubrak! Krompyang! Gedebruk!
Aku terkejut. Semua mata menengok ke beranda depan.
Astaga! Tukang sate yang di-booking
Mitha untuk acara ini tiba-tiba meringkus pengawal Tomi dan mengamankan sebuah
pistol yang terselip di balik jasnya.
"Maaf, aku harus pergi," kata Tomi seraya berlari menuju pintu belakang.
Brak! Pintu belakang tiba-tiba didobrak. Dua orang
berbadan tegap menerobos masuk. Tomi mencabut pistol kecil dari saku celananya.
Tapi orang-orang itu lebih sigap, mereka menjatuhkan Tomi dan merebut
pistolnya.
Suasana berubah gaduh. Ada yang menjerit-jerit histeris.
Dafa menangis ketakutan. Aku memeluk anakku erat-erat. Takut. Ngeri. Cemas.
Bingung.
"Polisi!" teriak seseorang dengan lantang. "Semua tetap di tempat masing-masing. Tiarap. Tangan di
atas kepala!"
Aku menjatuhkan badan ke lantai sambil memeluk Dafa.
Kupejamkan mata karena ketakutan. Tangis Dafa terus melengking. Entah apa yang
terjadi dalam suasana hiruk-pikuk itu.
Beberapa saat kemudian seseorang menepuk bahuku. Ada
tulisan BNN di jaketnya. Ia menyuruhku naik ke atas mobil tahanan bersama
teman-teman yang lain. Entah dari mana mereka datang, rumah Mitha sudah
dipenuhi polisi.
* * *
Tak seorang pun diantara kami yang paham apa yang
sebenarnya terjadi, termasuk Mitha si pemilik rumah. Tapi semua menduga ini ada
hubungannya dengan Tomi dan pengawalnya itu. Hanya mereka berdua yang
bersenjata. Polisi memeriksa kami satu per satu, bahkan tes urin juga. Karena
Dafa terus menangis, akhirnya kami dipisahkan dari yang lain dan dibawa ke
ruang Kapoltabes.
Dafa baru berhenti
menangis ketika seorang polwan cantik mengajaknya bermain dengan mainan balok
kayu. Itu memberi kesempatan polisi yang lain melakukan pemeriksaan terhadapku.
Aku dicecar pertanyaan seputar hubunganku dengan Tomi. Kemudian tentang diriku
sendiri, lalu tentang suamiku.
Polisi tidak percaya begitu saja waktu kubilang suamiku
penjual cilok. Ia terus mendesak. Dengan takut-takut, kubilang Bang Mahmud terkadang
diundang ceramah, juga menulis beberapa buku agama. Kusebutkan beberapa judul
bukunya yang kutahu. Polisi itu membelalakkan mata. Aku makin ketakutan. Apakah suamiku ternyata seorang teroris?
pikirku cemas.
"Jadi Ibu ini istrinya ustadz Mahmud Arifin?" sergahnya. "Duh, kenapa nggak bilang dari tadi, Bu. Maaf, maaf."
Aku melongong heran. Polisi itu sibuk menelepon. Tak lama
kemudian datang beberapa orang. Ada kapoltabes, ada pula anggota DPRD. Mereka
semua mengenal Bang Mahmud. Aku mendapat penjelasan bahwa polisi menangkap Tomi
Saputra yang sudah lama menjadi target operasi sebagai bandar narkoba. Intel
BNN mulai mengendus kemungkinan bisa menangkapnya sejak Mitha punya ide
mengadakan reuni dan mengumumkannya di internet. Seorang reserse ditugaskan menyamar
jadi tukang sate. Kepada polisi Tomi akhirnya mengaku, ia keluar dari
persembunyian karena ingin bertemu denganku di acara reuni itu.
"Maaf atas ketidaknyamanan ini, Bu. Kami berterimakasih
karena Ibu sudah membantu tertangkapnya gembong narkoba yang sudah lama kami
cari," ujar Pak Kapoltabes dengan ramah. "Kami sudah menghubungi ustadz Mahmud, sebentar lagi
beliau menuju ke sini."
Aku hanya mengangguk-angguk, bingung mau berkata apa. Semua
ini terjadi begitu cepat, membuatku jadi bingung. Ah, bagaimana mungkin terjadi?
Tomi yang begitu kukagumi, kok bisa jadi bandar narkoba. Tak percaya aku
rasanya, walau seorang polwan kemudian menceritakan padaku bahwa Tomi mulai
berubah sejak orangtuanya mengalami kebangkrutan, sedang dia tidak bisa
melepaskan diri dari kebiasaan hidup mewahnya.
Dan Bang Mahmud, siapa suamiku itu sebenarnya? Mengapa
orang-orang berpangkat itu menyebut namanya dengan begitu hormat? Padahal di
mataku, istrinya sendiri, dia tak lebih dari seorang penjual cilok keliling. Orang-orang
itu yang tertipu, atau aku yang selama ini buta?
"Assalamualaikum," kudengar suara yang sangat kukenal. Laki-laki berambut
ikal, berjenggot, dan bercelana cingkrang
itu.
"Waalaikumsalaam, Bang Mahmuuud..." Aku menghambur memeluk suamiku. Tak peduli beberapa
orang melotot memandang kami. Aku menangis sesenggukan, melepas beban
ketegangan yang sudah beberapa jam mencekam.
Menjelang petang, kami bertiga berboncengan pulang naik
motor Honda Astrea Star Tahun 1993 yang mesinnya kadang terbatuk-batuk itu. Pak
Kapoltabes menawari kami untuk diantar dengan mobil, tapi Bang Mahmud menolak
dengan halus. Bahkan ia menitipkan gerobak ciloknya di Mapoltabes, yang nanti
akan diambilnya setelah mengantar kami pulang.
Aku tak memikirkan lagi tentang Tomi, mobil BMW-nya, atau
Toyota Alphard-nya. Entahlah, baru kali ini aku merasakan bahagia dibonceng
motor butut. I love you, Bang Mahmud,
mmuuach....
Terimakasih, Ayah.
Alhamdulillah, Ya Robbii.
Tapi aku takkan lupa untuk melempar sendal pada si Novi
itu.
He he....