Kisah Fiksi Kehidupan
KEHIDUPAN bisa menjelma dalam berbagai wajah. Darinya bisa terangkai berbagai macam KISAH. FIKSI atau kenyataan, kadang sulit dibedakan.
5.10.15
22.12.14
Jangan Biarkan Anakmu Mengail Bintang di Langit
"Hai,
mau ke mana, Adit?"
"Mengail
bintang di langit, Ayah."
"Hah?"
*
* *
Namanya
Adit. Umurnya belum genap sembilan tahun. Ia anakku yang kedua. Gurunya di
sekolah menyebutnya anak yang aneh.
"Kemarin
kita dipanggil wali kelasnya," cerita istriku suatu hari. Memang selama
ini dialah yang menangani urusan apapun di sekolah anak-anak.
"Ada
apa?" tanyaku.
"Gurunya
bilang ia sedikit... aneh."
"Aneh
bagaimana?"
"Di
sekolah ia sering melamun, tidak memperhatikan guru yang sedang mengajar,
bahkan kadang-kadang bergumam sendiri."
"Apa
pelajarannya di sekolah terganggu?" tukasku khawatir.
"Tidak,
nilai-nilainya selalu bagus," jawab istriku, jadi kupikir belum terlalu mencemaskan.
Aku
teringat, waktu aku masih SD, ibuku pun sempat dipanggil ke sekolah gara-gara
aku suka bicara sendiri alias mengkhayal. Guruku bilang, jangan-jangan aku
punya bakat sakit jiwa. Hi hi hi... ibuku pulang sambil mengomel
panjang-pendek. "Masa iya, anakku dibilang sakit jiwa. Itu guru sinting
'kali ya?" Dan saran untuk membawaku ke psikiater sama
sekali tak dihiraukan, malah aku mendapat dua jeweran di kuping, dan beberapa
hari harus mendengar omelan tentang jangan bertingkah memalukan orang tua.
Namanya juga
anak, wajar kalau tingkah-lakunya tidak beda jauh dengan bapaknya.
Kali ini pun
sama, wali kelas Adit menyarankan kami berkonsultasi dengan psikolog anak.
Bahkan sudah diberikannya kartu nama psikolog itu dan tarifnya.
Bisa pula diundang
ke sekolah untuk konsultasi secara kolektif. Aku mengiyakan saja. Paling tidak,
Bu Guru anakku ini lebih pintar bicara daripada
guruku dulu, buktinya istriku sama sekali tidak tersinggung, bahkan mau pula
keluar uang gara-gara itu.
Gara-gara
omongan gurunya itu, aku jadi lebih memperhatikan tingkah laku Adit. Setiap ada
kesempatan di rumah, walau tidak lama, aku selalu mengamatinya dengan curiga,
kira-kira keanehan apa yang dilakukannya.
Mungkin
gurunya betul juga. Setelah kuamat-amati dengan seksama, anakku sepertinya menunjukkan
tanda-tanda keanehan. Kemarin ia memanaskan sabun colek di atas wajan. Katanya
ia ingin tahu apakah sabun colek itu bisa dipakai untuk menggoreng, karena
warnanya sama dengan margarine. Itu mengingatkanku pada kejadian sebelumnya, ia
menumbuk obat nyamuk bakar yang berwarna coklat, lalu mencampurnya dengan air,
dan membalurkannya ke kaki adiknya yang keseleo. Katanya itu param kocok,
warnanya sama coklatnya.
Suatu hari,
kebetulan pulang kantor agak cepat, aku melihat Adit sedang bermain masak-masakan
dengan beberapa anak perempuan di sudut lorong menuju rumahku. Mereka memasak
batu kerikil, pecahan genting, serta gumpalan tanah liat yang dibulat-bulat.
Adit kulihat membuat cairan berwarna coklat-kehitaman dan dimasukkannya ke
dalam botol bekas Coca-Cola. Sepertinya itu air comberan yang dicampur sisa cat
bekas, karena kulihat ada beberapa kaleng bekas cat di situ. Ketika kutanya
untuk apa itu, ia menjawab itu pura-puranya minyak untuk memasak. Syukurlah,
tadinya kukira ia sedang membuat Coca-Cola sendiri.
Tapi karena
masih curiga ia menyembunyikan ide lain tentang cairan itu, maka kusuruh anak
itu cepat pulang, meninggalkan permainan dan kawan-kawannya. Aku khawatir ia
akan benar-benar meminum "Coca-cola" yang dibuatnya itu. Hm,
entahlah, jangan-jangan aku sudah jadi paranoid gara-gara omongan gurunya.
Hari ini aku
pulang telat, seperti biasa. Jamaah sholat magrib baru saja bubar ketika aku
lewat di depan musholla dekat rumahku itu. Hampir aku bertabrakan dengan Adit
di depan pintu ketika anak itu berlari keluar, seperti terburu-buru. Kulihat ia
memegang gelas plastik bekas air mineral, berisi beras hampir penuh.
"Hai,
mau kemana, Adit?" Sergahku sambil menahan bahunya. Sudah lewat magrib,
harusnya ia tidak boleh keluar rumah.
"Aku
mau mengail bintang di langit, Ayah."
"Hah?"
Aku
mengernyitkan dahi. Jawaban yang aneh.
"Maksudmu?"
"Mengail
bintang... di langit," ulangnya, tidak ada penjelasan lain selain
tangannya yang menunjuk ke atas.
"Ah,
mana ada orang mengail bintang? Dan mengapa pula bawa-bawa beras?"
"Oh,
Ayah pasti belum tahu, mengail bintang di langit itu pakai secanting beras. Itu
ada di buku, Yah."
Aku melongo.
"Buku apa?"
Adit berlari
masuk ke dalam kamar. Aku mengikutinya. Ia membongkar tumpukan buku-buku dalam
tas sekolahnya, lantas mengambil sebuah buku dengan sampul bernuansa kecoklatan
bergambar pohon besar.
"Kubilang
akan mengail bintang di langit dengan secanting beras...." Adit membacanya
dengan irama khas anak SD.
"Mana.... Ayah lihat!"
sahutku sambil menyambar buku itu dari tangannya.
Dentang Kesunyian, begitu judul yang tertulis di sampul depan.
Ah, ternyata ini buku kumpulan puisi. Tidak terlalu tebal, hanya 100
halaman. Nama penerbitnya tidak kukenal, mungkin penerbit baru. Juga nama-nama
penulisnya yang ada lima puluh lebih itu, tak satu pun yang pernah kudengar.
Ah, memang aku bukanlah pembaca tulen. Terakhir kali aku membaca puisi sudah
dua puluhan tahun lalu, ketika masih SMP, itu pun terpaksa karena mengerjakan
tugas Bahasa Indonesia.
"Ini
kan buku puisi? Apa hubungannya dengan...."
"Baca
ini, Yah... yang tentang mengail bintang," sela Adit sambil menunjuk
halaman yang tadi dibacanya.
Puisi itu
berjudul Di Langit pun Ada Kapitalisme.
Ah, judulnya saja sudah aneh. Tapi kuteruskan juga membacanya.
Mereka tertawa
waktu kubilang akan mengail bintang di langit
dengan umpan secanting beras
Entahlah,
Apa harus kusediakan sebongkah berlian
untuk menarik bintang-bintang itu turun ke bumi
Baru kutahu,
di langit pun ada kapitalisme.
"Secanting
itu seberapa, Ayah?"
Aku
terkejut. Ketika sedang tercenung memikirkan makna puisi itu, pertanyaan Adit
mengagetkanku. Secanting? Aku lupa itu seberapa, sepertinya itu perangkat
ukuran jaman kuno.
"Mmm...
mungkin sebaskom itu," jawabku asal saja sambil menunjuk baskom plastik di
atas meja.
"Ups, berarti
ini kurang," sahut Adit. Ia segera menyambar baskom plastik itu dan lari
ke dapur, tempat ibunya menyimpan beras.
"Hai,
mau kemana?" panggilku.
"Ke
lapangan sebelah musholla itu, Ayah. Aku mau mengail bintang."
"Jangan,
ini sudah lewat maghrib."
"Besok
libur... kenapa nggak boleh main?" Raut wajahnya memelas.
"Ya,
tapi jangan jauh-jauh, di belakang rumah saja."
"Banyak pohon
di belakang rumah, Ayah. Apa bintang-bintang bisa melihat umpan ini?"
Huh,
seharusnya anak ini kuberi penjelasan, sebesar apa sebenarnya bintang-bintang
itu, dan bahwa tidak mungkin mengailnya seperti mengail ikan. Puisi itu hanya
kiasan, tentu penulisnya punya maksud lain yang susah dicerna anak SD. Tapi
sayang, waktunya tidak tepat, aku sedang terlalu capek untuk membicarakan hal
itu.
"Ah, coba saja
dulu!" kataku akhirnya.
Adit
langsung lari ke belakang rumah. Ada sepetak
halaman kosong di sana, cukup lapang untuk bermain anak-anak. Masalahnya
tidak jauh dari situ ada saluran irigasi yang kadang-kadang airnya cukup dalam,
serta deretan rumpun bambu yang rimbun di sepanjang tepiannya. Aku sudah memagari
halaman belakang itu dengan bilah-bilah bambu, tapi aku tahu
anak-anak bisa menerobosnya.
"Jangan
keluar pagar, Adit!" Teriakku
memperingatkan.
"Iya,
Yah!"
Selesai
mandi dan sholat magrib, aku duduk ruang tengah, menunggu istriku menyiapkan
makan malam. Semula aku hendak membaca koran, tapi kemudian perhatianku kembali
terpaut
pada buku puisi yang tadi diperlihatkan Adit. Kubuka-buka lagi buku itu,
penasaran. Ada cap perpustakaan sekolah, berarti Adit
meminjamnya dari sana. Tapi seharusnya ini
bukan untuk anak SD, mestinya petugas perpustakaan memilah buku
apa saja yang boleh dipinjam anak umur sembilan tahun.
Mengail
bintang di langit... apa yang dimaksud oleh penulisnya? Hm, bagi orang dewasa
mungkin tak sulit menebak maknanya. Bintang di langit itu bisa diartikan para
petinggi. Mereka bisa pemerintah, anggota dewan, penegak hukum, atau yang
semacam itu. Mengail bintang? Dengan secanting beras? Mungkin maksudnya menarik
perhatian mereka terhadap kesengsaraan rakyat kecil, atau bisa juga diartikan
menyuap.
Ternyata di langit pun ada kapitalisme....
Di lembaga
tinggi negara, misalnya Mahkamah Agung, atau Mahkamah Konstitusi, yang
keputusannya bersifat final dan mengikat... Ya ampun, final dan mengikat?
Seperti firman Tuhan saja! Harusnya tak boleh ada kesalahan.
Ya,
keputusan "langit" tak boleh salah. Tapi bagaimana kalau ternyata
langit bisa disuap? Ketua Mahkamah Kontitusi pun ternyata bisa disuap. Ternyata
dia memang manusia biasa, bukan malaikat. Kalau tak bisa disuap dengan
secanting beras, bawakanlah segenggam berlian. Kalau tak mempan dengan duit
semilyar, bawakanlah sepuluh milyar. Akhirnya toh takluk juga.
"Ayah!
Ayah!" Tiba-tiba Adit menghambur masuk sambil berteriak-teriak. Aku
tersentak. Anak itu pucat-pasi ketakutan sambil tangannya
menunjuk-nunjuk belakang rumah.
"Ada
apa, Adit?" tanyaku heran. Adit berusaha menjawab, tapi suaranya
terbata-bata tak jelas. Di luar mulai terdengar suara gemeretak
sambung-menyambung.
"Astaga...
Yah! Bambu-bambu itu terbakar!" teriak istriku.
Aku
menghambur keluar. Betul, rumpun bambu di tepi saluran irigasi itu sedang
berkobar oleh api yang dengan cepat menjalar. Sudah hampir enam bulan tidak
turun hujan, rumpun bambu itu memang sedang kering. Aku berteriak mengingatkan
para tetangga. Ini sangat berbahaya. Beberapa rumah di komplek kami sangat
dekat dengan rumpun bambu itu.
Suasana
petang yang semula hampir menggelap itu mendadak berubah heboh. Langit menjadi
benderang lagi akibat kobaran api dari rumpun bambu itu. Orang-orang
berhamburan keluar rumah. Semua membawa ember, timba, gayung, atau apa saja
yang bisa dibawa. Untung masih ada cukup air di saluran irigasi itu, jadi
walaupun sempat cemas, akhirnya api berhasil dipadamkan.
Beberapa saat
setelah api padam, aku masih sempat mengobrol dengan para tetangga sambil
memeriksa kalau-kalau masih ada sisa bara api. Tidak ada yang tahu bagaimana
asal mulanya timbul api, tapi kebanyakan menduga ada orang ceroboh membuang
puntung rokok atau anak-anak bermain kembang api di sekitar situ.
Ketika
kembali masuk ke rumah, aku terkejut melihat Adit meringkuk di pangkuan ibunya.
Bibirnya gemetar, mukanya pucat. Ibunya berusaha menenangkannya, tapi kelihatan
ia masih ketakutan. Adiknya yang berumur lima tahun ikut-ikutan memegangi kaki
kakaknya dengan raut muka antara takut dan bingung.
"Tidak
apa-apa, Adit. Apinya sudah padam," ujarku menghiburnya.
"Aku
tidak akan mengail bintang lagi, Ayah," katanya dengan suara gemetar.
"Oh
iya, memang bintang itu tidak bisa dikail begitu saja seperti...."
"Harusnya
aku tidak mengail bintang yang merah!" sahutnya.
"Maksudmu?"
"Bintang
itu jatuh di bambu-bambu, untung bukan di rumah kita." Ia mengatakan itu
sambil menggelengkan kepala, seperti takut membayangkan sesuatu.
"Adit
melihat orang membuang puntung rokok atau anak-anak bermain api?" tanyaku
untuk meluruskan.
"Bukan
Ayah, bintang merah itu jatuh dan menimpa bambu-bambu!" sahutnya meyakinkan.
"Bintang
merah apa?"
"Yang
kita lihat kemarin. Bintang yang kutunjukkan pada Ayah itu... yang merah."
Sejenak aku
berusaha mengingat-ingat.... Ah ya, beberapa hari lalu ketika kami sedang
duduk-duduk di beranda rumah, Adit
menunjuk sebuah bintang di langit, lantas bertanya mengapa
bintang itu berwarna merah. Aku tidak
tahu mengapa. Soal bintang-bintang bukanlah urusanku. Tentunya ada orang yang
berwenang mengurusnya, bukan aku. "Bacalah buku IPA-mu, mungkin ada
tertulis di sana," jawabku asal saja. Aku lupa kalau ia masih kelas 3 SD.
Apakah ilmu perbintangan ada di buku pelajaran kelas 3 SD? Ah, tak tahulah.
"Apa
makan malam sudah siap?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Adit,
makanlah. Sudah itu bobok, ya. Besok bangun pagi-pagi, kita jalan-jalan."
Adit hanya
diam tak bereaksi, tapi adiknya bersorak sambil meloncat-loncat kegirangan. Aku
memang jarang meluangkan waktu berjalan-jalan dengan anak-anak, walau aku tahu
mereka menyukainya. Kakak Adit yang hampir lulus SD melongok sebentar dari
kamar mendengar sorakan adiknya, lalu kembali sibuk dengan permainan game online-nya.
Malam ini
Adit makan sedikit sekali, itu pun setelah dipaksa-paksa ibunya. Aku sempat
khawatir dia menjadi stres gara-gara kejadian tadi. Tapi kekhawatiran itu
kukira tak beralasan ketika kemudian adiknya menghidupkan TV, serial favorit mereka, Spongebob Squarepants. Kedua anak itu tertawa terkekeh-kekeh
menonton episode yang mungkin sudah ratusan kali mereka tonton. Syukurlah,
kuharap ia sudah melupakan soal bintang jatuh itu.
"Cari apaan
sih?" tanyaku penasaran melihat istriku sibuk mencari-cari sesuatu.
"Baskom
plastik, perasaan tadi kutaruh di sini," jawabnya sambil menunjuk meja.
Hah, aku
jadi teringat. Baskom kecil itu tadi dibawa Adit ke belakang rumah untuk
mewadahi beras. Bergegas aku pergi ke belakang, jangan-jangan Adit
meninggalkannya di sana. Kalau hilang, pasti aku yang kena marah.
Betul,
baskom itu tergeletak di halaman belakang, pasti Adit meninggalkannya karena
lari ketakutan. Tapi yang aneh... tak sebutir beras pun ada di baskom itu. Juga
tak ada bekas tumpahan beras di sekitarnya. Penasaran, aku mengambil senter dan
menyoroti seluruh sudut halaman belakang rumahku, sampai ke balik pagar dan
rumpun bambu yang masih sedikit mengepulkan asap itu. Betul-betul tak kutemukan
sebutir beras pun. Kemana anak itu membuangnya?
Aku tak bisa
menanyakan pada Adit. Tak ada gunanya mengungkit-ungkit kejadian yang telah
membuat anak itu ketakutan. Kupandangi
langit yang kelam. Jutaan bintang bertaburan di sana. Aku mencari-cari bintang
merah yang beberapa hari lalu kusaksikan bersama Adit, tapi aku tak
menemukannya. Bintang merah itu tidak ada lagi.
* * *
Jam sepuluh malam. Aku berada di dalam kamar Adit,
meminjam meja belajarnya untuk mengetik tugas yang kubawa dari kantor. Aku
biasa begitu, karena hanya lampu kamar Adit yang kami biarkan menyala sepanjang
malam. Anak itu memang tak bisa tidur dengan lampu dimatikan.
Selesai mengetik, laptop kumatikan dan aku bersiap
hendak tidur,
ketika kudengar anakku memanggil dengan berbisik, "Ayah...."
Aku menoleh,
kulihat Adit sedang duduk di atas tempat tidurnya.
"Hai,
kamu belum tidur, Adit?"
Raut mukanya
aneh, seperti menyimpan pertanyaan besar.
"Ayah...."
"Ya?"
"Kalau
kita panggil bulan, apakah ia akan datang?"
Aku
terhenyak.
Mataku
seketika tersangkut pada sebuah buku yang tergeletak di meja belajarnya. Dari
tadi aku melihatnya, tapi tak menarik perhatianku. Seperti buku
pertama yang membikin masalah itu, sepertinya ini juga buku puisi. Judulnya tak
kalah aneh: Bulan, Datanglah.
"Hus! Ini masih malam,
Adit. Tidurlah!"
Anak itu
merebahkan tubuhnya ke atas kasur seraya menutup
mukanya dengan bantal. (*)
Ditulis oleh Rahadi W. Pandoyo untuk Kisah Fiksi Kehidupan.
Langganan:
Postingan (Atom)