"Ilalang Berbisik akan memberimu jawaban," ujar Paman Lenoch. Laki-laki cebol berjanggut putih itu mengatakannya setelah Akelia mengancam akan membeberkan rahasianya pada penduduk desa.
Gadis berambut
coklat itu membuntuti laki-laki cebol yang oleh penduduk desa disebut Paman
Lenoch, Si Pencuri Lentera, hingga ke tempat persembunyiannya. Ternyata orang
aneh itu tinggal di bawah sebuah
pohon
beringin raksasa. Dengan menggaruk batangnya lantas mengucap, "Demi lentera Neptunus, bukalah!"
akar-akar pohon besar itu tiba-tiba bergerak. Pohon terangkat dan tampak lubang besar di tanah.
Pencuri lentera itu meloncat masuk dan lubangnya kembali tertutup pohon besar.
Malam sangat
gelap. Bahkan ini malam tergelap dalam sebulan. Tak secuil bulan pun bertengger di langit.
Ini malam ketika orang-orang tua berkata pada anak-anak, "Tidurlah
lekas-lekas, pejamkan matamu rapat-rapat, jangan sampai kau melihat Paman
Lenoch mencuri lentera."
Penduduk desa menandai kalender,
supaya tidak terlewat akan tibanya malam gelap ini. Bila saatnya tiba, mereka memasang lentera di depan rumah masing-masing. Tengah malam, Paman
Lenoch akan datang mencuri salah satu lentera itu, dan keesokan harinya, salah satu penghuni rumah yang
kehilangan lentera akan jatuh sakit. Demam berkepanjangan, kadang sembuh dan kadang meninggal.
Bagaimana bila
seluruh desa kompak tidak memasang lentera? Konon, wabah penyakit justru akan
menyebar ke seluruh penduduk desa.
"Jangan
pernah memergoki Paman Lenoch mencuri lentera, karena ia akan membawamu pergi. Siapapun yang dibawanya pergi, takkan
pernah kembali," begitu kata orang-orang tua.
Nenek Humbia,
perempuan paling tua di desanya, pernah bercerita bahwa laki-laki cebol itu
dulu juga penduduk
desa ini. Karena
merasa diperlakukan buruk, ia menjual jiwanya pada setan untuk membalas dendam pada penduduk desa.
Walau takut,
Akelia merasa senasib dengan Paman Lenoch. Orang-orang sering mengolok-olok
rambutnya yang coklat dan asal-usulnya yang tidak jelas. Sejak kecil ia tinggal bersama keluarga Gurnish. Tapi walau ia menyebut mereka paman dan
bibi, mereka tak memperlakukannya sebagai keponakan. Di rumah itu, Akelia
diperlakukan lebih rendah dari keledai
penarik pedati.
Setiap malam
tergelap itu datang, ia berharap Paman Lenoch mengambil lentera keluarga
Gurnish. Harapan itu pernah terwujud sekali, beberapa tahun lalu, sehingga
Paman Gurnish jatuh sakit. Pamannya sembuh setelah membeli obat-obat yang
mahal, tapi meninggal kemudian
akibat mabuk dan jatuh
dari kereta.
Akelia tidur di
gudang jerami, menempel tapi tidak satu rumah dengan Bibi Gurnish. Tengah
malam, ketika ia terjaga antara takut dan penasaran, terdengar suara denting
lonceng kecil di luar pondoknya. Itu dia! Menurut cerita, Paman Lenoch
mengenakan kalung berlonceng kecil, yang berdenting-denting bila ia berjalan
terpincang-pincang.
Akelia mengintip
dari celah pintu. Dilihatnya orang cebol berkerudung hitam itu berjalan menenteng
sebuah lentera. Pasti
itu lentera Bibi Gurnish! Besok, jika bukan bibinya, bisa jadi dirinya yang terkapar sakit. Tak mungkin Bibi Gurnish mau membelikannya obat. Pasti ia akan dibiarkan saja mati.
Tiba-tiba timbul
ide di benak Akelia. Ia harus pergi meninggalkan
rumah ini agar kutukan itu tidak mengenai dirinya. Ke mana? Mungkin mengikuti Paman Lenoch. Jika benar
orang aneh itu dulu penduduk desa ini, pasti dia telah hidup sangat lama. "Mungkin
dia tahu rahasia-rahasia tentang
asal-usulku," pikir Akelia.
Akelia berjalan
mengendap-endap sambil meraba-raba, membuntuti orang cebol yang menenteng
lentera itu. Malam sangat gelap, gadis remaja itu berkali-kali terantuk batu dan tergores duri
semak-semak. Walau
kesakitan, ia menahan mulutnya agar tak bersuara. Nyanyian burung hantu
mengalun bersama desau angin, membuat suasana malam semakin mencekam.
Jauh di luar
desa, akhirnya ia melihat pohon beringin raksasa itu, dan bagaimana Paman Lenoch masuk ke dalam lubang
di bawahnya. Akelia sempat termangu-mangu, antara
takut dan penasaran. Ia
hendak berbalik pulang ke rumah Bibi Gurnish, tapi hatinya memaksa untuk kembali ke
pohon besar
itu. Lagipula hampir mustahil menemukan jalan pulang di malam segelap ini tanpa
lentera.
Akhirnya rasa
penasaran mengalahkan rasa takutnya.
"Demi
lentera Neptunus, bukalah!" serunya setelah menggaruk batang pohon
beringin itu seperti dilakukan Paman Lenoch. Berderak-derak, pohon besar itu
terangkat. Sebuah lubang besar menganga di bawahnya.
Terdengar
seseorang mengomel dengan suara serak. Orang
cebol itu merangkak
keluar dari dalam lubang. Ketika tangan dan kepalanya muncul di permukaan
tanah, Akelia terkejut. Orang itu begitu hitam dan berbulu. Lentera Bibi
Gurnish menerangi wajahnya yang hampir seperti monyet.
"Siapa
kau?" bentak Paman Lenoch sambil mengangkat lenteranya tinggi-tinggi,
menyinari wajah Akelia yang jauh lebih tinggi darinya.
"Namaku
Akelia."
"Mau apa
kau menggangguku di sini?"
"Aku sudah
mengetahui persembunyianmu di sini.
Kalau kuberitahu penduduk desa, besok
pagi mereka akan mencarimu."
"Owh, jangan lakukan itu!"
"Baiklah,
tapi lakukan sesuatu untukku. Aku ingin tahu asal-usulku, dan aku ingin
penduduk desa tidak lagi berlaku buruk padaku."
"Aku tidak
bisa, tapi Ilalang Berbisik akan memberimu jawaban."
"Ilalang
Berbisik? "
"Berjalanlah
ke arah barat, kau akan menemukan padang ilalang di antara dua kuil Neptunus. Kau akan menemukan jawaban yang
kauinginkan."
"Baiklah,
aku akan ke sana, tapi
berikan lentera bibiku itu padaku!"
Paman Lenoch
merengut, tapi ia terpaksa memberikan lentera itu pada Akelia.
"Hati-hati
dengan kucing-kucing hitam," gumam orang cebol itu.
Akelia berjalan
ke arah barat.
Lama ia berjalan menembus semak-belukar, hingga kemudian sampai ke padang
ilalang yang luas. Di kejauhan, sedikit disinari bintang-bintang redup di
langit, dua buah kuil berdinding putih teronggok di ujung-ujung cakrawala.
"Itukah
kuil Neptunus?" pikir Akelia. "Tapi di mana Ilalang Berbisik?"
Ia terus
berjalan, tidak menyadari bahwa suara yang dikiranya desau angin itu terdengar
lebih mirip suara perempuan terisak. Bukan satu, tapi mungkin ratusan atau
ribuan. Ia baru menyadari keanehan ketika mendengar suara perempuan
bercakap-cakap diselingi tawa cekikikan. Suara-suara yang dilantunkan pelan-pelan, seperti takut
terdengar oleh orang yang tak diinginkan. Betul, itu suara bisikan!
"Hai,
kaliankah itu, Ilalang Berbisik?" teriak Akelia penasaran.
Suara-suara itu
seketika terdiam. Sunyi-senyap. Akelia mengulangi teriakannya.
"Ssttt...
Diam! Mengapa kau berteriak-teriak?" terdengar suara bisikan lirih di
belakangnya. Akelia menoleh, tapi ia tak melihat apa-apa selain rumput-rumput
ilalang yang bergoyang-goyang diterpa angin malam.
"Kaliankah
itu, Ilalang Berbisik?" Akelia mencoba bertanya dengan berbisik.
"Ya, kami.
Mengapa kau datang mengganggu?" Ada lagi yang berbisik, tapi Akelia tak
melihat dari mana suara itu datang.
"Maaf, tapi
Paman Lenoch menyuruhku ke sini. Aku ingin tahu asal-usulku dan aku ingin
penduduk desa tidak memperlakukanku dengan buruk."
Suara cekikikan terdengar di mana-mana
ketika Akelia menyebut nama Lenoch.
"Siapa
namamu?" tanya sebuah bisikan.
"Akelia."
"Akelia? Oh
ya, ada
suami-istri berambut coklat lewat
di sini beberapa tahun yang lalu,
mereka membawa bayi perempuan bernama Akelia."
"Oh, apa
yang terjadi dengan mereka?" seru Akelia penasaran.
"Ssttt...
Jangan keras-keras. Kucing-kucing hitam mengabarkan, mereka dibunuh oleh
penduduk desa dan bayinya dijual untuk dijadikan budak."
"Oh, kejam
sekali!" Akelia menggigit bibir karena geramnya.
"Ya,
penduduk desa itu jahat-jahat. Mereka juga jahat kepada Lenoch. Kau mau membalas
dendam?" tanya bisikan yang lain.
Akelia
menggeleng. "Sudah kubilang, aku hanya ingin tahu asal-usulku. Dan aku ingin penduduk desa tidak lagi
memperlakukanku dengan buruk. Bagaimana caranya?"
"Bagaimana
caranya? Entahlah. Nasehati mereka. Kalau mereka berkelakuan baik, tak ada kutukan
apapun yang bisa menyentuh penduduk desa itu."
"Kutukan?
Ah ya, kutukan pencuri lentera. Jadi kalau mereka berkelakuan baik, kutukan itu
tak berlaku lagi, bukan? Kuharap Nenek Humbia bisa membantu menasehati
orang-orang."
Terdengar suara
tawa di mana-mana.
"Mengapa?"
tanya Akelia.
"Penduduk
desa itu tak bisa dinasehati, mereka jahat. Lebih baik kaubalaskan dendammu pada mereka."
"Untuk apa aku membalas dendam?"
"Juallah
jiwamu pada kami. Kami akan membelinya dengan kutukan yang membuat penduduk
desa itu tak pernah hidup tenang selama-lamanya."
"Lalu
aku...?"
"Kau akan
hidup abadi dalam pemeliharaan kami."
"Seperti
Paman Lenoch?"
"Begitulah."
"Tidak,
bukan hidup seperti Paman Lenoch yang kuinginkan. Hidup sendiri dalam lubang di
bawah pohon beringin. Terasing, mendendam
seumur hidup. Itu lebih menderita daripada menahan kekejaman orang dengan
sabar. Begitu
kata Nenek Humbia padaku," ujar Akelia.
"Jangan
kaudengar omongan perempuan tua itu!"
"Tapi aku
percaya padanya."
"Kurang
ajar! Pergilah kau kembali padanya. Coba saja menyadarkan penduduk desa itu
kalau bisa. Tapi itu bila kau bisa melewati kucing-kucing hitam."
"Kucing-kucing
hitam?"
Kucing-kucing
hitam itu tiba-tiba bermunculan dari delapan penjuru mata angin. Mereka
menggeram-geram seperti kucing yang siap bertarung. Akelia berteriak ngeri,
lantas berlari ketakutan. Kucing-kucing itu mengejar. Padang ilalang itu
menjadi ribut oleh suara geraman kucing yang semakin buas.
Akelia
terkepung. Kucing-kucing itu mencabik-cabik tubuhnya dengan cakar dan taring
mereka yang tajam. Putus asa dan kesakitan, Akelia roboh ke tanah sambil
melemparkan lentera yang masih menyala itu ke rimbunan ilalang.
Lentera Bibi
Gurnish itu pecah, minyaknya tumpah, dan api langsung menyambar ilalang kering
di sekitarnya. Dalam waktu sekejap, padang ilalang itu berubah menjadi lautan
api. Suara lolongan yang menyayat dari ribuan ilalang memenuhi langit malam
yang menjadi terang-benderang.
Akelia tak
pernah kembali ke desa Bibi Gurnish. Seperti kata orang, siapapun yang melihat
Paman Lenoch mencuri lentera, takkan pernah kembali. Nenek Humbia bercerita,
seekor kucing hitam — yang hampir mati karena seluruh tubuhnya
terbakar — datang
padanya dan bercerita tentang Akelia. Gadis itu telah membakar habis Ilalang
Berbisik dan kuil-kuil
Neptunus. Ia menyampaikan pesan untuk Nenek Humbia agar menasehati penduduk
desa. Tapi tak ada orang yang mendengarkan cerita perempuan tua itu, selain
seorang anak kecil.
Bila malam tergelap dalam sebulan tiba,
penduduk desa masih memasang lentera untuk Paman Lenoch. Tapi Si Pencuri Lentera itu tak pernah muncul lagi.
Oh ya, tentang
Bibi Gurnish... perempuan gemuk itu jatuh sakit keesokan harinya setelah Akelia
menghilang. Ia enggan membeli obat, dan meninggal beberapa hari kemudian. Harta
peninggalannya diperebutkan oleh tetangga-tetangganya.(*)
Rahadi W. Pandoyo