22.12.14

Jangan Biarkan Anakmu Mengail Bintang di Langit




"Hai, mau ke mana, Adit?"
"Mengail bintang di langit, Ayah."
"Hah?"
 * * *




 Namanya Adit. Umurnya belum genap sembilan tahun. Ia anakku yang kedua. Gurunya di sekolah menyebutnya anak yang aneh.
"Kemarin kita dipanggil wali kelasnya," cerita istriku suatu hari. Memang selama ini dialah yang menangani urusan apapun di sekolah anak-anak.
"Ada apa?" tanyaku.
"Gurunya bilang ia sedikit... aneh."
"Aneh bagaimana?"
"Di sekolah ia sering melamun, tidak memperhatikan guru yang sedang mengajar, bahkan kadang-kadang bergumam sendiri."
"Apa pelajarannya di sekolah terganggu?" tukasku khawatir.
"Tidak, nilai-nilainya selalu bagus," jawab istriku, jadi kupikir belum terlalu mencemaskan.
Aku teringat, waktu aku masih SD, ibuku pun sempat dipanggil ke sekolah gara-gara aku suka bicara sendiri alias mengkhayal. Guruku bilang, jangan-jangan aku punya bakat sakit jiwa. Hi hi hi... ibuku pulang sambil mengomel panjang-pendek. "Masa iya, anakku dibilang sakit jiwa. Itu guru sinting 'kali ya?" Dan saran untuk membawaku ke psikiater sama sekali tak dihiraukan, malah aku mendapat dua jeweran di kuping, dan beberapa hari harus mendengar omelan tentang jangan bertingkah memalukan orang tua.
Namanya juga anak, wajar kalau tingkah-lakunya tidak beda jauh dengan bapaknya.
Kali ini pun sama, wali kelas Adit menyarankan kami berkonsultasi dengan psikolog anak. Bahkan sudah diberikannya kartu nama psikolog itu dan tarifnya. Bisa pula diundang ke sekolah untuk konsultasi secara kolektif. Aku mengiyakan saja. Paling tidak, Bu Guru anakku ini lebih pintar bicara daripada guruku dulu, buktinya istriku sama sekali tidak tersinggung, bahkan mau pula keluar uang gara-gara itu.
Gara-gara omongan gurunya itu, aku jadi lebih memperhatikan tingkah laku Adit. Setiap ada kesempatan di rumah, walau tidak lama, aku selalu mengamatinya dengan curiga, kira-kira keanehan apa yang dilakukannya.
Mungkin gurunya betul juga. Setelah kuamat-amati dengan seksama, anakku sepertinya menunjukkan tanda-tanda keanehan. Kemarin ia memanaskan sabun colek di atas wajan. Katanya ia ingin tahu apakah sabun colek itu bisa dipakai untuk menggoreng, karena warnanya sama dengan margarine. Itu mengingatkanku pada kejadian sebelumnya, ia menumbuk obat nyamuk bakar yang berwarna coklat, lalu mencampurnya dengan air, dan membalurkannya ke kaki adiknya yang keseleo. Katanya itu param kocok, warnanya sama coklatnya.
Suatu hari, kebetulan pulang kantor agak cepat, aku melihat Adit sedang bermain masak-masakan dengan beberapa anak perempuan di sudut lorong menuju rumahku. Mereka memasak batu kerikil, pecahan genting, serta gumpalan tanah liat yang dibulat-bulat. Adit kulihat membuat cairan berwarna coklat-kehitaman dan dimasukkannya ke dalam botol bekas Coca-Cola. Sepertinya itu air comberan yang dicampur sisa cat bekas, karena kulihat ada beberapa kaleng bekas cat di situ. Ketika kutanya untuk apa itu, ia menjawab itu pura-puranya minyak untuk memasak. Syukurlah, tadinya kukira ia sedang membuat Coca-Cola sendiri.
Tapi karena masih curiga ia menyembunyikan ide lain tentang cairan itu, maka kusuruh anak itu cepat pulang, meninggalkan permainan dan kawan-kawannya. Aku khawatir ia akan benar-benar meminum "Coca-cola" yang dibuatnya itu. Hm, entahlah, jangan-jangan aku sudah jadi paranoid gara-gara omongan gurunya.
Hari ini aku pulang telat, seperti biasa. Jamaah sholat magrib baru saja bubar ketika aku lewat di depan musholla dekat rumahku itu. Hampir aku bertabrakan dengan Adit di depan pintu ketika anak itu berlari keluar, seperti terburu-buru. Kulihat ia memegang gelas plastik bekas air mineral, berisi beras hampir penuh.
"Hai, mau kemana, Adit?" Sergahku sambil menahan bahunya. Sudah lewat magrib, harusnya ia tidak boleh keluar rumah.
"Aku mau mengail bintang di langit, Ayah."
"Hah?"
Aku mengernyitkan dahi. Jawaban yang aneh.
"Maksudmu?"
"Mengail bintang... di langit," ulangnya, tidak ada penjelasan lain selain tangannya yang menunjuk ke atas.
"Ah, mana ada orang mengail bintang? Dan mengapa pula bawa-bawa beras?"
"Oh, Ayah pasti belum tahu, mengail bintang di langit itu pakai secanting beras. Itu ada di buku, Yah."
Aku melongo. "Buku apa?"
Adit berlari masuk ke dalam kamar. Aku mengikutinya. Ia membongkar tumpukan buku-buku dalam tas sekolahnya, lantas mengambil sebuah buku dengan sampul bernuansa kecoklatan bergambar pohon besar.
"Kubilang akan mengail bintang di langit dengan secanting beras...." Adit membacanya dengan irama khas anak SD.
"Mana.... Ayah lihat!" sahutku sambil menyambar buku itu dari tangannya.
Dentang Kesunyian, begitu judul yang tertulis di sampul depan. Ah, ternyata ini buku kumpulan puisi. Tidak terlalu tebal, hanya 100 halaman. Nama penerbitnya tidak kukenal, mungkin penerbit baru. Juga nama-nama penulisnya yang ada lima puluh lebih itu, tak satu pun yang pernah kudengar. Ah, memang aku bukanlah pembaca tulen. Terakhir kali aku membaca puisi sudah dua puluhan tahun lalu, ketika masih SMP, itu pun terpaksa karena mengerjakan tugas Bahasa Indonesia.
"Ini kan buku puisi? Apa hubungannya dengan...."
"Baca ini, Yah... yang tentang mengail bintang," sela Adit sambil menunjuk halaman yang tadi dibacanya.
Puisi itu berjudul Di Langit pun Ada Kapitalisme. Ah, judulnya saja sudah aneh. Tapi kuteruskan juga membacanya.

Mereka tertawa
waktu kubilang akan mengail bintang di langit
dengan umpan secanting beras
Entahlah,
Apa harus kusediakan sebongkah berlian
untuk menarik bintang-bintang itu turun ke bumi
Baru kutahu,
di langit pun ada kapitalisme.

"Secanting itu seberapa, Ayah?"
Aku terkejut. Ketika sedang tercenung memikirkan makna puisi itu, pertanyaan Adit mengagetkanku. Secanting? Aku lupa itu seberapa, sepertinya itu perangkat ukuran jaman kuno.
"Mmm... mungkin sebaskom itu," jawabku asal saja sambil menunjuk baskom plastik di atas meja.
"Ups, berarti ini kurang," sahut Adit. Ia segera menyambar baskom plastik itu dan lari ke dapur, tempat ibunya menyimpan beras.
"Hai, mau kemana?" panggilku.
"Ke lapangan sebelah musholla itu, Ayah. Aku mau mengail bintang."
"Jangan, ini sudah lewat maghrib."
"Besok libur... kenapa nggak boleh main?" Raut wajahnya memelas.
"Ya, tapi jangan jauh-jauh, di belakang rumah saja."
"Banyak pohon di belakang rumah, Ayah. Apa bintang-bintang bisa melihat umpan ini?"
Huh, seharusnya anak ini kuberi penjelasan, sebesar apa sebenarnya bintang-bintang itu, dan bahwa tidak mungkin mengailnya seperti mengail ikan. Puisi itu hanya kiasan, tentu penulisnya punya maksud lain yang susah dicerna anak SD. Tapi sayang, waktunya tidak tepat, aku sedang terlalu capek untuk membicarakan hal itu.
"Ah, coba saja dulu!" kataku akhirnya.
Adit langsung lari ke belakang rumah. Ada sepetak halaman kosong di sana, cukup lapang untuk bermain anak-anak. Masalahnya tidak jauh dari situ ada saluran irigasi yang kadang-kadang airnya cukup dalam, serta deretan rumpun bambu yang rimbun di sepanjang tepiannya. Aku sudah memagari halaman belakang itu dengan bilah-bilah bambu, tapi aku tahu anak-anak bisa menerobosnya.
"Jangan keluar pagar, Adit!" Teriakku memperingatkan.
"Iya, Yah!"
Selesai mandi dan sholat magrib, aku duduk ruang tengah, menunggu istriku menyiapkan makan malam. Semula aku hendak membaca koran, tapi kemudian perhatianku kembali terpaut pada buku puisi yang tadi diperlihatkan Adit. Kubuka-buka lagi buku itu, penasaran. Ada cap perpustakaan sekolah, berarti Adit meminjamnya dari sana. Tapi seharusnya ini bukan untuk anak SD, mestinya petugas perpustakaan memilah buku apa saja yang boleh dipinjam anak umur sembilan tahun.
Mengail bintang di langit... apa yang dimaksud oleh penulisnya? Hm, bagi orang dewasa mungkin tak sulit menebak maknanya. Bintang di langit itu bisa diartikan para petinggi. Mereka bisa pemerintah, anggota dewan, penegak hukum, atau yang semacam itu. Mengail bintang? Dengan secanting beras? Mungkin maksudnya menarik perhatian mereka terhadap kesengsaraan rakyat kecil, atau bisa juga diartikan menyuap.
Ternyata di langit pun ada kapitalisme....
Di lembaga tinggi negara, misalnya Mahkamah Agung, atau Mahkamah Konstitusi, yang keputusannya bersifat final dan mengikat... Ya ampun, final dan mengikat? Seperti firman Tuhan saja! Harusnya tak boleh ada kesalahan.
Ya, keputusan "langit" tak boleh salah. Tapi bagaimana kalau ternyata langit bisa disuap? Ketua Mahkamah Kontitusi pun ternyata bisa disuap. Ternyata dia memang manusia biasa, bukan malaikat. Kalau tak bisa disuap dengan secanting beras, bawakanlah segenggam berlian. Kalau tak mempan dengan duit semilyar, bawakanlah sepuluh milyar. Akhirnya toh takluk juga.
"Ayah! Ayah!" Tiba-tiba Adit menghambur masuk sambil berteriak-teriak. Aku tersentak. Anak itu pucat-pasi ketakutan sambil tangannya menunjuk-nunjuk belakang rumah.
"Ada apa, Adit?" tanyaku heran. Adit berusaha menjawab, tapi suaranya terbata-bata tak jelas. Di luar mulai terdengar suara gemeretak sambung-menyambung.
"Astaga... Yah! Bambu-bambu itu terbakar!" teriak istriku.
Aku menghambur keluar. Betul, rumpun bambu di tepi saluran irigasi itu sedang berkobar oleh api yang dengan cepat menjalar. Sudah hampir enam bulan tidak turun hujan, rumpun bambu itu memang sedang kering. Aku berteriak mengingatkan para tetangga. Ini sangat berbahaya. Beberapa rumah di komplek kami sangat dekat dengan rumpun bambu itu.
Suasana petang yang semula hampir menggelap itu mendadak berubah heboh. Langit menjadi benderang lagi akibat kobaran api dari rumpun bambu itu. Orang-orang berhamburan keluar rumah. Semua membawa ember, timba, gayung, atau apa saja yang bisa dibawa. Untung masih ada cukup air di saluran irigasi itu, jadi walaupun sempat cemas, akhirnya api berhasil dipadamkan.

Beberapa saat setelah api padam, aku masih sempat mengobrol dengan para tetangga sambil memeriksa kalau-kalau masih ada sisa bara api. Tidak ada yang tahu bagaimana asal mulanya timbul api, tapi kebanyakan menduga ada orang ceroboh membuang puntung rokok atau anak-anak bermain kembang api di sekitar situ.
Ketika kembali masuk ke rumah, aku terkejut melihat Adit meringkuk di pangkuan ibunya. Bibirnya gemetar, mukanya pucat. Ibunya berusaha menenangkannya, tapi kelihatan ia masih ketakutan. Adiknya yang berumur lima tahun ikut-ikutan memegangi kaki kakaknya dengan raut muka antara takut dan bingung.
"Tidak apa-apa, Adit. Apinya sudah padam," ujarku menghiburnya.
"Aku tidak akan mengail bintang lagi, Ayah," katanya dengan suara gemetar.
"Oh iya, memang bintang itu tidak bisa dikail begitu saja seperti...."
"Harusnya aku tidak mengail bintang yang merah!" sahutnya.
"Maksudmu?"
"Bintang itu jatuh di bambu-bambu, untung bukan di rumah kita." Ia mengatakan itu sambil menggelengkan kepala, seperti takut membayangkan sesuatu.
"Adit melihat orang membuang puntung rokok atau anak-anak bermain api?" tanyaku untuk meluruskan.
"Bukan Ayah, bintang merah itu jatuh dan menimpa bambu-bambu!" sahutnya meyakinkan.
"Bintang merah apa?"
"Yang kita lihat kemarin. Bintang yang kutunjukkan pada Ayah itu... yang merah."
Sejenak aku berusaha mengingat-ingat.... Ah ya, beberapa hari lalu ketika kami sedang duduk-duduk di beranda rumah, Adit menunjuk sebuah bintang di langit, lantas bertanya mengapa bintang itu berwarna merah. Aku tidak tahu mengapa. Soal bintang-bintang bukanlah urusanku. Tentunya ada orang yang berwenang mengurusnya, bukan aku. "Bacalah buku IPA-mu, mungkin ada tertulis di sana," jawabku asal saja. Aku lupa kalau ia masih kelas 3 SD. Apakah ilmu perbintangan ada di buku pelajaran kelas 3 SD? Ah, tak tahulah.
"Apa makan malam sudah siap?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Adit, makanlah. Sudah itu bobok, ya. Besok bangun pagi-pagi, kita jalan-jalan."
Adit hanya diam tak bereaksi, tapi adiknya bersorak sambil meloncat-loncat kegirangan. Aku memang jarang meluangkan waktu berjalan-jalan dengan anak-anak, walau aku tahu mereka menyukainya. Kakak Adit yang hampir lulus SD melongok sebentar dari kamar mendengar sorakan adiknya, lalu kembali sibuk dengan permainan game online-nya.
Malam ini Adit makan sedikit sekali, itu pun setelah dipaksa-paksa ibunya. Aku sempat khawatir dia menjadi stres gara-gara kejadian tadi. Tapi kekhawatiran itu kukira tak beralasan ketika kemudian adiknya menghidupkan TV, serial favorit mereka, Spongebob Squarepants. Kedua anak itu tertawa terkekeh-kekeh menonton episode yang mungkin sudah ratusan kali mereka tonton. Syukurlah, kuharap ia sudah melupakan soal bintang jatuh itu.
"Cari apaan sih?" tanyaku penasaran melihat istriku sibuk mencari-cari sesuatu.
"Baskom plastik, perasaan tadi kutaruh di sini," jawabnya sambil menunjuk meja.
Hah, aku jadi teringat. Baskom kecil itu tadi dibawa Adit ke belakang rumah untuk mewadahi beras. Bergegas aku pergi ke belakang, jangan-jangan Adit meninggalkannya di sana. Kalau hilang, pasti aku yang kena marah.
Betul, baskom itu tergeletak di halaman belakang, pasti Adit meninggalkannya karena lari ketakutan. Tapi yang aneh... tak sebutir beras pun ada di baskom itu. Juga tak ada bekas tumpahan beras di sekitarnya. Penasaran, aku mengambil senter dan menyoroti seluruh sudut halaman belakang rumahku, sampai ke balik pagar dan rumpun bambu yang masih sedikit mengepulkan asap itu. Betul-betul tak kutemukan sebutir beras pun. Kemana anak itu membuangnya?
Aku tak bisa menanyakan pada Adit. Tak ada gunanya mengungkit-ungkit kejadian yang telah membuat anak itu ketakutan.  Kupandangi langit yang kelam. Jutaan bintang bertaburan di sana. Aku mencari-cari bintang merah yang beberapa hari lalu kusaksikan bersama Adit, tapi aku tak menemukannya. Bintang merah itu tidak ada lagi.

* * *

Jam sepuluh malam. Aku berada di dalam kamar Adit, meminjam meja belajarnya untuk mengetik tugas yang kubawa dari kantor. Aku biasa begitu, karena hanya lampu kamar Adit yang kami biarkan menyala sepanjang malam. Anak itu memang tak bisa tidur dengan lampu dimatikan.
Selesai mengetik, laptop kumatikan dan aku bersiap hendak tidur, ketika kudengar anakku memanggil dengan berbisik, "Ayah...."
Aku menoleh, kulihat Adit sedang duduk di atas tempat tidurnya.
"Hai, kamu belum tidur, Adit?"
Raut mukanya aneh, seperti menyimpan pertanyaan besar.
"Ayah...."
"Ya?"
"Kalau kita panggil bulan, apakah ia akan datang?"
Aku terhenyak.
Mataku seketika tersangkut pada sebuah buku yang tergeletak di meja belajarnya. Dari tadi aku melihatnya, tapi tak menarik perhatianku. Seperti buku pertama yang membikin masalah itu, sepertinya ini juga buku puisi. Judulnya tak kalah aneh: Bulan, Datanglah.
"Hus! Ini masih malam, Adit. Tidurlah!"
Anak itu merebahkan tubuhnya ke atas kasur seraya menutup mukanya dengan bantal. (*)