5.8.14

Ilalang Berbisik dan Lentera Bibi Gurnish




"Ilalang Berbisik akan memberimu jawaban," ujar Paman Lenoch. Laki-laki cebol berjanggut putih itu mengatakannya setelah Akelia mengancam akan membeberkan rahasianya pada penduduk desa.
Gadis berambut coklat itu membuntuti laki-laki cebol yang oleh penduduk desa disebut Paman Lenoch, Si Pencuri Lentera, hingga ke tempat persembunyiannya. Ternyata orang aneh itu tinggal di bawah sebuah pohon beringin raksasa. Dengan menggaruk batangnya lantas mengucap, "Demi lentera Neptunus, bukalah!" akar-akar pohon besar itu tiba-tiba bergerak. Pohon terangkat dan tampak lubang besar di tanah. Pencuri lentera itu meloncat masuk dan lubangnya kembali tertutup pohon besar.
Malam sangat gelap. Bahkan ini malam tergelap dalam sebulan. Tak secuil bulan pun bertengger di langit. Ini malam ketika orang-orang tua berkata pada anak-anak, "Tidurlah lekas-lekas, pejamkan matamu rapat-rapat, jangan sampai kau melihat Paman Lenoch mencuri lentera."
Penduduk desa menandai kalender, supaya tidak terlewat akan tibanya malam gelap ini. Bila saatnya tiba, mereka memasang lentera di depan rumah masing-masing. Tengah malam, Paman Lenoch akan datang mencuri salah satu lentera itu, dan keesokan harinya, salah satu penghuni rumah yang kehilangan lentera akan jatuh sakit. Demam berkepanjangan, kadang sembuh dan kadang meninggal.
Bagaimana bila seluruh desa kompak tidak memasang lentera? Konon, wabah penyakit justru akan menyebar ke seluruh penduduk desa.
"Jangan pernah memergoki Paman Lenoch mencuri lentera, karena ia akan membawamu pergi. Siapapun yang dibawanya pergi, takkan pernah kembali," begitu kata orang-orang tua.
Nenek Humbia, perempuan paling tua di desanya, pernah bercerita bahwa laki-laki cebol itu dulu juga penduduk desa ini. Karena merasa diperlakukan buruk, ia menjual jiwanya pada setan untuk membalas dendam pada penduduk desa.
Walau takut, Akelia merasa senasib dengan Paman Lenoch. Orang-orang sering mengolok-olok rambutnya yang coklat dan asal-usulnya yang tidak jelas. Sejak kecil ia tinggal bersama keluarga Gurnish. Tapi walau ia menyebut mereka paman dan bibi, mereka tak memperlakukannya sebagai keponakan. Di rumah itu, Akelia diperlakukan lebih rendah dari keledai penarik pedati.
Setiap malam tergelap itu datang, ia berharap Paman Lenoch mengambil lentera keluarga Gurnish. Harapan itu pernah terwujud sekali, beberapa tahun lalu, sehingga Paman Gurnish jatuh sakit. Pamannya sembuh setelah membeli obat-obat yang mahal, tapi meninggal kemudian akibat mabuk dan jatuh dari kereta.
Akelia tidur di gudang jerami, menempel tapi tidak satu rumah dengan Bibi Gurnish. Tengah malam, ketika ia terjaga antara takut dan penasaran, terdengar suara denting lonceng kecil di luar pondoknya. Itu dia! Menurut cerita, Paman Lenoch mengenakan kalung berlonceng kecil, yang berdenting-denting bila ia berjalan terpincang-pincang.
Akelia mengintip dari celah pintu. Dilihatnya orang cebol berkerudung hitam itu berjalan menenteng sebuah lentera. Pasti itu lentera Bibi Gurnish! Besok, jika bukan bibinya, bisa jadi dirinya yang terkapar sakit. Tak mungkin Bibi Gurnish mau membelikannya obat. Pasti ia akan dibiarkan saja mati.
Tiba-tiba timbul ide di benak Akelia. Ia harus pergi meninggalkan rumah ini agar kutukan itu tidak mengenai dirinya. Ke mana? Mungkin mengikuti Paman Lenoch. Jika benar orang aneh itu dulu penduduk desa ini, pasti dia telah hidup sangat lama. "Mungkin dia tahu rahasia-rahasia tentang asal-usulku," pikir Akelia.
Akelia berjalan mengendap-endap sambil meraba-raba, membuntuti orang cebol yang menenteng lentera itu. Malam sangat gelap, gadis remaja itu berkali-kali terantuk batu dan tergores duri semak-semak. Walau kesakitan, ia menahan mulutnya agar tak bersuara. Nyanyian burung hantu mengalun bersama desau angin, membuat suasana malam semakin mencekam.
Jauh di luar desa, akhirnya ia melihat pohon beringin raksasa itu, dan bagaimana Paman Lenoch masuk ke dalam lubang di bawahnya. Akelia sempat termangu-mangu, antara takut dan penasaran. Ia hendak berbalik pulang ke rumah Bibi Gurnish, tapi hatinya memaksa untuk kembali ke pohon besar itu. Lagipula hampir mustahil menemukan jalan pulang di malam segelap ini tanpa lentera.
Akhirnya rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya.
"Demi lentera Neptunus, bukalah!" serunya setelah menggaruk batang pohon beringin itu seperti dilakukan Paman Lenoch. Berderak-derak, pohon besar itu terangkat. Sebuah lubang besar menganga di bawahnya.
Terdengar seseorang mengomel dengan suara serak. Orang cebol itu merangkak keluar dari dalam lubang. Ketika tangan dan kepalanya muncul di permukaan tanah, Akelia terkejut. Orang itu begitu hitam dan berbulu. Lentera Bibi Gurnish menerangi wajahnya yang hampir seperti monyet.
"Siapa kau?" bentak Paman Lenoch sambil mengangkat lenteranya tinggi-tinggi, menyinari wajah Akelia yang jauh lebih tinggi darinya.
"Namaku Akelia."
"Mau apa kau menggangguku di sini?"
"Aku sudah mengetahui persembunyianmu di sini. Kalau kuberitahu penduduk desa, besok pagi mereka akan mencarimu."
"Owh, jangan lakukan itu!"
"Baiklah, tapi lakukan sesuatu untukku. Aku ingin tahu asal-usulku, dan aku ingin penduduk desa tidak lagi berlaku buruk padaku."
"Aku tidak bisa, tapi Ilalang Berbisik akan memberimu jawaban."
"Ilalang Berbisik? "
"Berjalanlah ke arah barat, kau akan menemukan padang ilalang di antara dua kuil Neptunus. Kau akan menemukan jawaban yang kauinginkan."
"Baiklah, aku akan ke sana, tapi berikan lentera bibiku itu padaku!"
Paman Lenoch merengut, tapi ia terpaksa memberikan lentera itu pada Akelia.
"Hati-hati dengan kucing-kucing hitam," gumam orang cebol itu.
Akelia berjalan ke arah barat. Lama ia berjalan menembus semak-belukar, hingga kemudian sampai ke padang ilalang yang luas. Di kejauhan, sedikit disinari bintang-bintang redup di langit, dua buah kuil berdinding putih teronggok di ujung-ujung cakrawala.
"Itukah kuil Neptunus?" pikir Akelia. "Tapi di mana Ilalang Berbisik?"
Ia terus berjalan, tidak menyadari bahwa suara yang dikiranya desau angin itu terdengar lebih mirip suara perempuan terisak. Bukan satu, tapi mungkin ratusan atau ribuan. Ia baru menyadari keanehan ketika mendengar suara perempuan bercakap-cakap diselingi tawa cekikikan. Suara-suara yang dilantunkan pelan-pelan, seperti takut terdengar oleh orang yang tak diinginkan. Betul, itu suara bisikan!
"Hai, kaliankah itu, Ilalang Berbisik?" teriak Akelia penasaran.
Suara-suara itu seketika terdiam. Sunyi-senyap. Akelia mengulangi teriakannya.
"Ssttt... Diam! Mengapa kau berteriak-teriak?" terdengar suara bisikan lirih di belakangnya. Akelia menoleh, tapi ia tak melihat apa-apa selain rumput-rumput ilalang yang bergoyang-goyang diterpa angin malam.
"Kaliankah itu, Ilalang Berbisik?" Akelia mencoba bertanya dengan berbisik.
"Ya, kami. Mengapa kau datang mengganggu?" Ada lagi yang berbisik, tapi Akelia tak melihat dari mana suara itu datang.
"Maaf, tapi Paman Lenoch menyuruhku ke sini. Aku ingin tahu asal-usulku dan aku ingin penduduk desa tidak memperlakukanku dengan buruk."
Suara cekikikan terdengar di mana-mana ketika Akelia menyebut nama Lenoch.
"Siapa namamu?" tanya sebuah bisikan.
"Akelia."
"Akelia? Oh ya, ada suami-istri berambut coklat lewat di sini beberapa tahun yang lalu, mereka membawa bayi perempuan bernama Akelia."
"Oh, apa yang terjadi dengan mereka?" seru Akelia penasaran.
"Ssttt... Jangan keras-keras. Kucing-kucing hitam mengabarkan, mereka dibunuh oleh penduduk desa dan bayinya dijual untuk dijadikan budak."
"Oh, kejam sekali!" Akelia menggigit bibir karena geramnya.
"Ya, penduduk desa itu jahat-jahat. Mereka juga jahat kepada Lenoch. Kau mau membalas dendam?" tanya bisikan yang lain.
Akelia menggeleng. "Sudah kubilang, aku hanya ingin tahu asal-usulku. Dan aku ingin penduduk desa tidak lagi memperlakukanku dengan buruk. Bagaimana caranya?"
"Bagaimana caranya? Entahlah. Nasehati mereka. Kalau mereka berkelakuan baik, tak ada kutukan apapun yang bisa menyentuh penduduk desa itu."
"Kutukan? Ah ya, kutukan pencuri lentera. Jadi kalau mereka berkelakuan baik, kutukan itu tak berlaku lagi, bukan? Kuharap Nenek Humbia bisa membantu menasehati orang-orang."
Terdengar suara tawa di mana-mana.
"Mengapa?" tanya Akelia.
"Penduduk desa itu tak bisa dinasehati, mereka jahat. Lebih baik kaubalaskan dendammu pada mereka."
"Untuk apa aku membalas dendam?"
"Juallah jiwamu pada kami. Kami akan membelinya dengan kutukan yang membuat penduduk desa itu tak pernah hidup tenang selama-lamanya."
"Lalu aku...?"
"Kau akan hidup abadi dalam pemeliharaan kami."
"Seperti Paman Lenoch?"
"Begitulah."
"Tidak, bukan hidup seperti Paman Lenoch yang kuinginkan. Hidup sendiri dalam lubang di bawah pohon beringin. Terasing, mendendam seumur hidup. Itu lebih menderita daripada menahan kekejaman orang dengan sabar. Begitu kata Nenek Humbia padaku," ujar Akelia.
"Jangan kaudengar omongan perempuan tua itu!"
"Tapi aku percaya padanya."
"Kurang ajar! Pergilah kau kembali padanya. Coba saja menyadarkan penduduk desa itu kalau bisa. Tapi itu bila kau bisa melewati kucing-kucing hitam."
"Kucing-kucing hitam?"
Kucing-kucing hitam itu tiba-tiba bermunculan dari delapan penjuru mata angin. Mereka menggeram-geram seperti kucing yang siap bertarung. Akelia berteriak ngeri, lantas berlari ketakutan. Kucing-kucing itu mengejar. Padang ilalang itu menjadi ribut oleh suara geraman kucing yang semakin buas.
Akelia terkepung. Kucing-kucing itu mencabik-cabik tubuhnya dengan cakar dan taring mereka yang tajam. Putus asa dan kesakitan, Akelia roboh ke tanah sambil melemparkan lentera yang masih menyala itu ke rimbunan ilalang.
Lentera Bibi Gurnish itu pecah, minyaknya tumpah, dan api langsung menyambar ilalang kering di sekitarnya. Dalam waktu sekejap, padang ilalang itu berubah menjadi lautan api. Suara lolongan yang menyayat dari ribuan ilalang memenuhi langit malam yang menjadi terang-benderang.
Akelia tak pernah kembali ke desa Bibi Gurnish. Seperti kata orang, siapapun yang melihat Paman Lenoch mencuri lentera, takkan pernah kembali. Nenek Humbia bercerita, seekor kucing hitam yang hampir mati karena seluruh tubuhnya terbakar datang padanya dan bercerita tentang Akelia. Gadis itu telah membakar habis Ilalang Berbisik dan kuil-kuil Neptunus. Ia menyampaikan pesan untuk Nenek Humbia agar menasehati penduduk desa. Tapi tak ada orang yang mendengarkan cerita perempuan tua itu, selain seorang anak kecil.
Bila malam tergelap dalam sebulan tiba, penduduk desa masih memasang lentera untuk Paman Lenoch. Tapi Si Pencuri Lentera itu tak pernah muncul lagi.
Oh ya, tentang Bibi Gurnish... perempuan gemuk itu jatuh sakit keesokan harinya setelah Akelia menghilang. Ia enggan membeli obat, dan meninggal beberapa hari kemudian. Harta peninggalannya diperebutkan oleh tetangga-tetangganya.(*)
Rahadi W. Pandoyo

T A M A T