20.1.13

PERAHU USANG



Kemasilah remah-remah harapanmu itu
penuhkan dalam buntalan kumalmu

Tinggalkan saja pulau yang telah menulikan nuraninya ini
dayunglah perahu usangmu itu melintas batas cakrawala

Mungkin ada, entah di bagian samudera yang mana
satu pulau yang mau mendengar hatimu berpuisi

MALANG, 27/04/2012
Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN  

19.1.13

CERPEN PILIHAN FLP MALANG #3



MENGUAK HARAPAN BARU

Hai, Teman... Sudah tahu FLP Malang menerbitkan buku kumpulan cerpen terbarunya: Perempuan Merah dan Lelaki Haru?



Judul Buku : Perempuan Merah & Lelaki Haru (Kumpulan Cerpen berkualitas)
Penulis : Mashdar Zainal, Ai El Afif, dkk.
Editor : Gusti Aisyah Putri dan Diah Wulandari
Penerbit : Ide Kreatif, Surabaya, Cetakan Pertama, November 2012
Tebal : vi + 158 halaman
Harga : Rp. 40.000,-

EBooknya bisa didownload gratis di http://pustaka-ebook.com/e-book-antologi-flp-malang-2-perempuan-merah-dan-lelaki-haru-kumpulan-cerpen/

Versi cetaknya bisa dipesan dengan menghubungi 085649505617 (Fauziah Rachmawati)

Hmm... sebuah antologi cerpen lagi? Entahlah, ada yang menyadari atau tidak, jenis buku antologi cerpen adalah yang paling digemari oleh penulis, tapi paling dihindari oleh penerbit (mayor label). Lihat saja, hampir semua komunitas kepenulisan, baik di dunia nyata maupun dunia maya (fesbuk) berlomba-lomba untuk menerbitkan kumpulan cerpen, atau istilah kerennya: antologi. Padahal, di sisi lain, penerbit pada umumnya menulis dengan tegas di websitenya: untuk saat ini tidak menerima naskah berbentuk kumpulan cerpen. Nah, lho?
Cerpen, alias cerita pendek, umumnya kita jumpai di koran dan majalah, sebagai suatu selipan diantara artikel-artikel lain. Jarang dalam bentuk buku tersendiri.
Dalam hal ini, tampaknya FLP Malang tidak tampil beda dengan komunitas-komunitas kepenulisan yang lain. FLP Malang ikut-ikutan juga menerbitkan kumpulan cerpen, bahkan ini yang ketiga kalinya. Eits... apa benar begitu?
Sebentar... rugi kalau teman-teman menilai sesederhana itu. Jujur, saya yang semula merasa “biasa-biasa saja” ketika mendengar FLP Malang akan meluncurkan buku kumpulan cerpen terbarunya, menjadi “wah” ketika melihat bukunya. Apa istimewanya?
Bukan soal istimewa atau tidak istimewa. Tapi ini soal kreativitas. Setahu saya, ini buku pertama di dunia yang memuat proses kreatif kepenulisan di balik naskah-naskah cerpennya. Iya, pertama di dunia, men!
Itu penting karena menjadikan buku ini punya sasaran khusus. Pangsa pasar unik yang belum dimaksimalkan oleh komunitas kepenulisan lain, yaitu para penulis. Atau lebih tepatnya, mereka yang sedang belajar menulis. Sengaja saya tidak menggunakan istilah penulis pemula. Saya tidak suka istilah itu. Dikotomi penulis pemula dan senior adalah sesuatu yang dibuat-buat, rancu, tidak ada batasan jelas, dan memicu efek negatif. Yang “merasa” senior menepuk dada, dan yang “merasa” pemula rendah diri. Penyebutan mereka yang sedang belajar menulis lebih tepat, tak peduli sudah berapa lama mereka berkiprah di bidang kepenulisan dan apapun prestasinya.
Para penulis (yang sedang belajar menulis) umumnya adalah juga pembaca yang potensial. Mereka akan selalu mencari buku-buku yang bisa meningkatkan kemampuannya menulis. Nah, cocok sekali! Buku ini sangat berguna untuk mereka yang sedang belajar menulis cerpen.
Bagaimana bisa begitu?
Semua juga tahu, tantangan pertama seorang penulis adalah mencari ide tulisan. Walaupun sudah tersedia laptop canggih, cukup waktu luang, badan sedang fit, suasana ruangan juga sepi dan nyaman... tapi kalau tidak ada ide untuk ditulis, sampai kiamat pun cerpennya tidak akan jadi, walau cuma separagraf.
Lalu apa hubungannya dengan buku ini?
Super sekali, Teman. Buku ini memuat proses kreatif di balik terciptanya cerpen-cerpen yang dimuat. Dengan begitu pembaca bisa merunut bagaimana penulis memperoleh “ide” untuk menulis, dan tentu saja, kemudian bagaimana caranya “ide” itu dituangkan ke dalam cetakan loyang pembentuk cerpen.
Uniknya, banyak proses mendapatkan ide itu muncul dari hal-hal biasa, simpel, dan tak terduga sama sekali. Sebut saja contohnya:

  • Mashdar Zainal mendapat ide saat Sholat Jumat, ketika seorang bilal menyebut nama khotib lengkap dengan rentetan gelarnya. Peristiwa “sepele” dan kita juga sering melihatnya sehari-hari ini telah mengilhami seorang Mashdar Zainal untuk menulis cerpennya yang berjudul Gelar di Atas Batu Nisan. Cerpen ini menjadi Juara I Lomba Cerpen KAMMI Universitas Negeri Malang.

  • Ai El Afif mendapat ide ketika melihat ibu kosnya bergincu. Gincunya terpatah dan warna merah melebar melewati bibir. Terpikirkankah oleh teman-teman bahwa pemandangan seperti itu bisa memicu ide untuk menulis cerpen? Begitulah, bagi Ai El Afif itu bisa mengilhaminya menulis cerpen Perempuan Merah yang kemudian dimuat di koran Radar Sulteng.

Ada 15 cerpen dalam buku ini, semuanya dilatarbelakangi proses kreatif yang berbeda-beda. Dan semuanya unik. Membaca buku ini, siapa saja akan langsung sadar bahwa tidak sepantasnya seorang penulis beralasan “tidak ada ide” atau “kehabisan ide”, karena ide-ide itu banyak bertebaran di sekitar kita. Hanya saja, kita memang harus membuka mata dan hati lebar-lebar untuk bisa menangkapnya. Bagaimana caranya? Belajarlah dari buku ini.
Kelimabelas cerpen itu, tentu juga bukan cerpen biasa-biasa saja. Kalau kita belajar dari cerpen yang biasa-biasa saja, tidak aneh bila hasilnya tulisan kita juga akan biasa-biasa saja. Tampaknya hal itu disadari betul oleh FLP Malang. Maka cerpen-cerpen tersebut bukanlah hasil dari proyek antologi “semua karya dibukukan” (seperti banyak di fesbuk), atau hasil event lomba di grup yang bahkan jurinya sendiri belum pernah karyanya dimuat di media (ini juga banyak). Cerpen-cerpen itu disaring dan dipilih dari karya-karya yang pernah memenangkan lomba yang kredibel atau pernah dimuat di media cetak. Jadi, kualitasnya sedikit-banyak cukup teruji.
Kalaupun ada yang sedikit mengganggu dalam buku ini, sepertinya editor tidak punya batasan tertentu dalam proporsi antara naskah cerpennya sendiri dengan naskah proses kreatif sebagai pendukungnya. Ini menjadi aneh dalam cerpen Demokrasi Batagor (pernah dimuat di majalah Hai) yang mengambil tempat sebanyak 8 halaman, sedangkan proses kreatifnya justru makan tempat 9 halaman!
Tapi itu sama sekali tidak merusak kenyamanan pembaca dalam menikmati suguhan-suguhan cerpen dalam buku ini.
Ayo, tunggu apalagi. Silakan membacanya dan cepatlah belajar membuat cerpen. Kenapa membuat cerpen? Karena... bertentangan dengan pemeo yang saya singgung di awal tulisan ini, dalam minggu-minggu terakhir ini saya (yang rajin mengamati website penerbit-penerbit mayor) melihat ada harapan baru mulai terkuak. Satu demi satu penerbit mayor mulai membuka diri terhadap naskah berupa kumpulan cerpen. Tampaknya pasar mulai bergerak untuk mengapresiasi buku berupa cerpen-cerpen, bukan hanya novel yang makan waktu membacanya, terutama bagi pembaca yang waktu luangnya sedikit (dan semakin hari makin banyak pembaca semacam ini). Nah, nanti ketika buku-buku cerpen sedang booming, pastikan diri Anda sudah menjadi penulis cerpen yang handal.

Selamat menguak harapan baru.

AKHIRNYA



Akhirnya
Kuteguk jua pahit salam perpisahanmu itu
dan kutelan hingga ke lambung hati

Malam-malam yang ternoda getir asam empedu itu
kini tinggal bekas luka yang mengering di hati yang gersang

Aduhai, benih rindu di batu cadas
yang kutelantarkan tanpa air, tanpa matahari
mengapa masih tumbuh lebat meracuni jiwa yang merana  

MALANG, 27/04/2012
Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN 

RANTING KERING



Angin  kemarau meluruhkan daun-daun kering
dan membilas teriknya siang dengan air mata

Mengapa kaucabut juga ranting kering itu
sedang usianya tinggal setusuk duri

Mengapa kau masih juga mengais-ngais luka
dari wajah-wajah yang telah kehilangan sinarnya


MALANG, 24/04/2012

Ditulis oleh Rahadi W. untuk KISAH FIKSI KEHIDUPAN